JAKARTA, Sabo Gerbong khusus perempuan di rangkaian Kereta Rel Listrik (KRL) semula dirancang sebagai ruang aman bagi penumpang wanita.
Namun, bagi sebagian pengguna, kenyamanan di gerbong ini justru dirasakan semakin menurun, terutama pada jam sibuk ketika arus penumpang membludak.
Widya (33), penumpang asal Stasiun Cikoya, mengaku lebih memilih gerbong umum karena suasananya terasa lebih tertib.
“Walaupun saya perempuan, saya lebih nyaman di gerbong umum soalnya perempuan itu suka lebih ganas,” ujar Widya saat ditemui di Stasiun Tanah Abang, Jakarta Pusat, Kamis (23/10/2025).
Menurutnya, situasi di gerbong khusus perempuan sering kali tidak kondusif saat jam sibuk.
“Mungkin sama-sama enggak mau ngalah kali ya, jadi suasananya cepet-cepetan masuk,” tambahnya.
Meski demikian, Widya tidak menampik bahwa keberadaan gerbong perempuan tetap penting.
Namun, efektivitasnya menurun saat kepadatan penumpang meningkat akibat keterlambatan perjalanan.
“Sebenarnya efektif, cuman karena padet akibat keterlambatan jadi mereka enggak ada yang mau ngalah,” katanya.
Pandangan serupa disampaikan Nurin (20), penumpang dari Rangkasbitung.
Ia menilai gerbong khusus perempuan memberikan rasa aman lebih baik, namun lokasi gerbong di ujung rangkaian membuatnya sulit dijangkau, terutama saat stasiun sedang padat.
“Kalau saya biasanya sih tetap di gerbong umum ya soalnya kalau wanita itu harus jalan lagi ke ujung, jadi jauh,” kata Nurin.
Ia berharap PT Kereta Commuter Indonesia (KCI) dapat menambah jumlah gerbong agar penumpang lebih tersebar dan tidak saling berebut ruang.
“Berharap KRL itu ditambahin lagi gerbongnya, jadi lebih banyak lagi,” ujarnya.
Suasana Riuh di Jalur Green Line
Tim Sabo yang menjajal langsung KRL green line pada Kamis (23/10/2025) pagi di Stasiun Pondok Ranji, Ciputat, menemukan kondisi padat yang hampir tak tertahankan.
Hingga pukul 08.00 WIB, penumpang terus berdesakan untuk masuk ke kereta yang sudah penuh bahkan sebelum tiba di peron.
Petugas keamanan tampak mendorong penumpang agar bisa masuk ke gerbong terakhir sebelum pintu tertutup.
Begitu berada di dalam, udara panas bercampur keringat segera terasa menyengat, sementara pendingin udara tak mampu menandingi rapatnya tubuh-tubuh yang berdiri.
Beberapa penumpang hanya bisa bertahan sambil berpegangan pada tiang, sementara lainnya bahkan tak sempat berpegangan karena ruang yang begitu sempit.
Kepadatan semakin parah ketika kereta berhenti di Stasiun Kebayoran. Meski petugas berulang kali mengimbau agar penumpang tidak memaksakan diri naik, antrean tetap tak surut.
“Hati-hati bagi penumpang dan tidak memaksakan diri saat menaiki kereta,” bunyi pengumuman dari pengeras suara stasiun.
Namun, imbauan itu sulit diindahkan. “Kalau enggak maksa sekarang, bisa telat banget sampai kantor,” ujar Dita (27), pegawai swasta yang setiap hari harus menempuh perjalanan dari selatan Jakarta ke pusat kota.
Yeni (29), penumpang lain, mengaku sudah menunggu hampir satu jam sebelum akhirnya berhasil naik.
“Dari jam 07.10 WIB baru naik tadi. Hampir sejam nunggu, enggak tahu ini kenapa, biasanya juga enggak kayak gini,” katanya.
Ia yang bekerja di Matraman menyebut, keterlambatan dan kepadatan berulang membuat perjalanan terasa semakin melelahkan.
“Enggak buru-buru cumanya kalau enggak maksa masuk, bisa telat sampai kantor,” ujar Yeni.
Harapan agar KRL Lebih Manusiawi
Bagi pengguna KRL green line, desakan dan antrean panjang sudah menjadi rutinitas. Iqbal (34), penumpang dari Ciputat, mengatakan situasi serupa terjadi hampir setiap hari.
“Setiap pagi begini. Apalagi kalau mau ke arah Tanah Abang, pasti padat banget,” ucapnya.
Ia berharap pemerintah dan KAI Commuter segera menambah rangkaian kereta agar kapasitas lebih memadai.
“Kalau bisa ada penambahan gerbong biar enggak numpuk-numpuk gini,” ujarnya.
Keluhan serupa disampaikan kembali oleh Widya. Menurutnya, sejumlah titik seperti Stasiun Rawabuntu dan Sudimara sering menyebabkan antrean panjang karena gangguan sistem tap in.
“Kadang tap-nya itu suka lama, kaya jadi telat begitu, enggak tahu karena enggak ada sinyal atau gimana. Jadi, dia numpuk di stasiun tersebut,” jelasnya.
Ia menambahkan, waktu tempuhnya bisa molor hingga 30 menit dari biasanya. Meski begitu, ia tetap mengandalkan KRL sebagai moda transportasi tercepat.
“Cukup puas sih, cuma memang harus siap desak-desakan. Paling riskannya itu kalau keterlambatan kereta, sekarang sudah tiga hari gini terus,” katanya.
(Reporter: Intan Afrida Rafni | Editor: Tim Redaksi)






