Sabo.CO.ID, JAKARTA — Media Zionis memperingatkan pada hari Kamis (23/10/2025) bahwa Trump akan menghancurkan” Netanyahu jika pemimpin Israel itu membahayakan gencatan senjata Gaza dan kesepakatan pembebasan sandera, menurut laporanChannel 12.
“Netanyahu berada di jalur yang sangat tipis dengan Presiden Trump. Jika dia terus melakukannya, dia akan mengacaukan kesepakatan Gaza. Dan jika dia mengacaukan kesepakatan itu, Donald Trump akan mengacaukannya,” kata pejabat Israel yang enggan disebutkan namanya kepada koresponden Channel 12 Israel, Barak Ravid, sebagaimana diberitakan The Times of Israel.
“Dalam bahasa Inggris, kedengarannya lebih kasar,” kata pembawa berita Yonit Levi di akhir laporan Ravid.
Posisi Netanyahu di Tepi Jurang
Aneksasi Tepi Barat secara sepihak oleh Israel bukan hanya sebuah pergeseran kebijakan, melainkan sebuah titik balik bersejarah yang akan mengubah konflik Israel-Palestina secara permanen. Bagi Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, langkah ini mungkin memenuhi janji politiknya kepada basis pendukung nasionalis dan sayap kanannya.
Namun, di balik kemenangan politik jangka pendek itu, tersembunyi bahaya-bahaya besar yang justru mengancam posisinya, baik di tingkat domestik, regional, maupun internasional. Aneksasi akan membawa Netanyahu ke dalam medan ranjau yang penuh dengan konsekuensi tak terduga.
Di tingkat internasional, Netanyahu akan menghadapi isolasi diplomatik yang belum pernah terjadi sebelumnya. Selama ini, Israel masih menikmati dukungan, atau setidaknya perlindungan, dari sekutu-sekutu utamanya seperti Amerika Serikat.
Namun, aneksasi secara terang-terangan melanggar hukum internasional dan konsensus global tentang solusi dua negara. Negara-negara Eropa, yang selama ini bersikap lebih kritis, akan didesak untuk menjatuhkan sanksi yang lebih keras.
Bahkan dukungan dari Washington bisa saja goyah jika terjadi perubahan administrasi di AS. Netanyahu, yang selama ini mahir memanfaatkan panggung internasional, tiba-tiba akan menjadi pemimpin yang terpojok dan dikucilkan.
Keamanan Nasional
Ancaman yang lebih langsung datang dari aspek keamanan nasional. Aneksasi Tepi Barat hampir dipastikan akan memicu gelombang kekerasan dan ketidakstabilan yang baru. Hal ini bisa berkisar dari protes massal dan bentrokan bersenjata hingga memicu perlawanan bersenjata yang lebih terorganisir dari kelompok-kelompok Palestina.
Situasi keamanan yang memburuk akan langsung dianggap sebagai kegagalan kepemimpinan Netanyahu. Publik Israel, yang menghargai stabilitas dan keamanan, akan mempertanyakan kemampuannya sebagai “pelindung negara” jika kebijakannya justru menyeret Israel ke dalam konflik berdarah yang baru tanpa akhir yang jelas.
Di dalam negeri, langkah aneksasi justru berpotensi memecah belah koalisi pemerintahannya sendiri. Pemerintahan Netanyahu terdiri dari gabungan partai-partai dengan kepentingan yang sangat beragam, dari kanan jauh hingga partai tengah yang lebih pragmatis.
Aneksasi bisa menjadi batu ujian yang memicu perpecahan internal. Menteri-menteri dari partai yang lebih moderat mungkin akan mengancam hengkang dari koalisi, yang dapat menjatuhkan pemerintahan dan memaksa diadakan pemilu lebih cepat. Dengan demikian, upaya Netanyahu untuk mempertahankan kekuasaan dengan memuaskan sayap kanan justru bisa menjadi bumerang yang menggulingkannya.
Dari perspektif demografi, aneksasi adalah bom waktu. Dengan menganeksasi Tepi Barat, Israel akan secara resmi memasukkan populasi Palestina yang besar ke dalam wilayah kedaulatannya.
Netanyahu kemudian dihadapkan pada dua pilihan yang sama-sama buruk bagi visi negara Yahudi: memberikan kewarganegaraan penuh yang pada akhirnya akan mengikis karakter Yahudi Israel, atau mempertahankan sistem di mana jutaan orang hidup tanpa hak politik yang setara—sebuah realitas yang banyak digambarkan sebagai apartheid. Pilihan mana pun yang diambil, citra demokrasi Israel di mata dunia akan hancur, dan Netanyahu akan dicatat dalam sejarah sebagai arsitek dari kebijakan kontroversial ini.
Ekonomi Israel yang maju dan berbasis teknologi juga tidak kebal dari dampak aneksasi. Tekanan internasional dapat berwujud dalam bentuk sanksi ekonomi dan boikot yang lebih terorganisir. Perusahaan-perusahaan internasional dan dana investasi mungkin akan berpikir dua kali untuk beroperasi di atau mendanai sebuah negara yang dianggap melakukan pelanggaran hukum internasional secara terang-terangan.
Melemahnya perekonomian akan langsung mempengaruhi kehidupan sehari-hari warga Israel dan merusak narasi Netanyahu tentang kemakmuran dan kekuatan Israel di bawah kepemimpinannya. Ketidakpuasan ekonomi dapat dengan cepat menggerus dukungan publik yang selama ini ia andalkan.
Pada akhirnya, aneksasi akan mengukuhkan warisan politik Netanyahu sebagai pemimpin yang memilih jalan konfrontasi abadi daripada rekonsiliasi. Meski hal ini mungkin membuatnya dikenang sebagai pahlawan oleh para pendukung garis keras, bagi sebagian besar dunia dan sejarah, ia akan dicap sebagai tokoh yang menutup pintu perdamaian untuk generasi yang akan datang.
Warisan ini dapat mengisolasi Israel dalam jangka panjang dan justru membuat posisi Netanyahu dalam catatan sejarah menjadi sangat kontroversial dan rapuh.
Kesimpulannya, meski aneksasi Tepi Barat tampaknya selaras dengan retorika nasionalis Netanyahu, pelaksanaannya justru akan membahayakan posisinya dari segala sisi. Ia akan terjepit antara tekanan internasional, instabilitas keamanan, perpecahan koalisi, dilema demografi, dan risiko ekonomi.
Alih-alih mengukuhkan kekuasaannya, langkah tersebut justru berpotensi menjadi awal dari kejatuhannya, membuktikan bahwa dalam politik, langkah paling radikal sering kali membawa konsekuensi yang paling berbahaya bagi pelakunya.






