Free Gift

Kasus Silfester Matutina, Dosen Hukum Unhas: Putusan Pengadilan Wajib Dilaksanakan

TERPIDANA kasus pencemaran nama baik, Silfester Matutina, kembali menuai perhatian publik karena hingga kini masih bebas, meski telah divonis 1 tahun 6 bulan penjara atas penghinaan terhadap Jusuf Kalla. Bahkan, pada 18 Maret 2025, Menteri BUMN Erick Thohir mengangkatnya sebagai Komisaris Independen PT Rajawali Nusantara Indonesia (Persero) atau ID Food.

Dosen Hukum Tata Negara Universitas Hasanuddin (Unhas) Fajlurrahman Jurdi, memberikan tanggapannya terhadap kasus tersebut. Ia menilai, putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap atau inkrah, bersifat wajib untuk dilaksanakan. Dalam sistem hukum, apabila pihak yang kalah tidak menjalankan eksekusi secara sukarela, maka negara melalui pengadilan berhak melakukan eksekusi paksa, seperti pembongkaran paksa dan tindakan lainnya.

Fajlurrahman mengatakan, seharusnya langkah yang diambil penegak hukum sangat sederhana, yaitu Silfester harus ditangkap dan ditahan sesuai putusan. “Tidak perlu teori yang rumit. Pertanyaannya, apakah ada political will untuk penegakan hukum yang harus segera dilakukan? Jangan sampai ada orang-orang tertentu yang kebal hukum. Putusan pengadilan sudah jelas, vonisnya juga jelas, tetapi dia tetap bisa ke mana-mana, bebas melenggang tanpa hambatan,” katanya, saat dihubungi Tempo pada Sabtu, 16 Agustus 2025.

Kemudian, Fajlurrahman menjelaskan, hukum kerap kali diintervensi oleh kekuatan politik, di mana politik justru lebih dominan daripada hukum. Dalam kasus Silfester, ia beranggapan, besar kemungkinan Silfester pernah, bahkan hingga kini, berada dalam lingkaran kekuasaan. Kondisi inilah yang diduga membuatnya sulit tersentuh oleh hukum.

“Seharusnya, jika ia memahami hukum dan kewajiban setiap orang untuk taat hukum, maka mestinya ia menyerahkan diri dan menyelesaikan persoalan sesuai putusan pengadilan, bukan justru mengabaikannya,” ujar Dosen Unhas tersebut.

Ia takut apabila kasus ini dibiarkan, masyarakat bisa beranggapan bahwa kedekatan dengan kekuasaan membuat seseorang kebal hukum, bahkan ketika kejahatan sudah jelas terlihat. “Inilah yang menjadi persoalan sesungguhnya,” kata Fajlurrahman.

Sebelumnya, Mantan Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan, Anang Supriatna, mengungkapkan ia sudah menerbitkan surat eksekusi terhadap terpidana Silfester Matutina ketika masih menjabat sebagai Kajari Jaksel. “Sudah, tapi pada saat itu kemudian tidak bisa dilakukan karena sempat hilang dan keburu Covid,” kata Anang yang kini menjabat Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung saat ditemui di Kejagung, Kamis, 14 Agustus 2025.

Menurut Anang, pada masa Covid justru banyak orang dikeluarkan dari tahanan, sehingga saat itu tidak memungkinkan untuk menahan tersangka, terdakwa, maupun terpidana.

Menanggapi hal itu, Fajlurrahman menilai, alasan yang dikemukakan memang terdengar klise dan tidak masuk akal. “Logikanya sederhana, jika saat pandemi alasan itu bisa diterima, maka setelah bertahun-tahun pandemi usai, seharusnya eksekusi bisa dilakukan. Artinya, alasan tersebut menjadi tidak masuk akal,” kata dia.

Ia menambahkan, dengan melihat kasus Silfester, hukum sudah berada di bawah intervensi kekuasaan. “Menurut saya, ini bukan lagi soal buruk, tapi betul-betul hukum dikendalikan oleh kekuasaan. Dalam kajian politik hukum, kondisi ini dikenal sebagai politik yang determinan terhadap hukum,” ujar dosen Hukum Tata negara Unhas tersebut.

Berdasarkan catatan Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, majelis hakim menyatakan Silfester Matutina bersalah melakukan tindak pidana fitnah terhadap Jusuf Kalla.

Dalam SIPP PN Jaksel tercatat pernyataannya: “Akar permasalahan bangsa ini adalah ambisi politik Jusuf Kalla. Mari kita mundurkan Jusuf Kalla karena Jusuf Kalla menggunakan rasisme, isu sara, untuk memenangkan Anies-Sandi ‘betul’ dan untuk kepentingan politik Jusuf Kalla tahun 2019 dan untuk kepentingan korupsi keluarga Jusuf Kalla.”

Pada 2017, keluarga Jusuf Kalla melaporkan Silfester ke Badan Reserse Kriminal Polri. Laporan itu terkait orasinya di depan Mabes Polri, Kebayoran Baru, Jakarta, pada pertengahan Mei 2017. Keluarga menilai Silfester telah melecehkan nama baik Kalla.

“Dia (Silfester) memfitnah keluarga Bapak Jusuf Kalla telah melakukan korupsi sehingga masyarakat Nusa Tenggara Timur menjadi miskin, masyarakat Bali menjadi miskin. Ini fitnah yang luar biasa,” ujar perwakilan tim pengacara keluarga Kalla, Muhammad Ihsan, saat mendatangi kantor Bareskrim Polri, Gambir, Jakarta, Senin, 29 Mei 2017.

Menurut Ihsan, keluarga JK bereaksi terhadap tudingan Silfester terkait Pilgub DKI Jakarta 2017. “Dia menuduh Pak JK (Kalla) menggunakan agama, menggunakan masjid untuk memenangkan pasangan Anies-Sandi (Anies Baswedan dan Sandiaga Uno),” ujarnya.

Vonis 1 tahun penjara terhadap Silfester dijatuhkan pada 30 Juli 2018, lalu dikuatkan di tingkat banding pada 29 Oktober 2018. Di tingkat kasasi, hukumannya diperberat menjadi 1 tahun 6 bulan penjara. Namun hingga Kamis, 7 Agustus 2025, putusan kasasi tersebut belum dieksekusi oleh Kejaksaan.

Silfester yang dikenal sebagai pendukung Joko Widodo, aktif membela Jokowi dan keluarganya di berbagai stasiun televisi, sekaligus memimpin Solidaritas Merah Putih dalam memberikan serangan balik kepada para pengkritik Jokowi.

Belakangan, pihak kejaksaan menyatakan akan segera mengeksekusi vonis Silfester. “Informasi dari pihak Kejari Jakarta Selatan hari ini diundang yang bersangkutan. Kalau dia enggak datang ya silakan saja, kami harus eksekusi,” ujar Anang Supriatna yang saat ini menjabat sebagai Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung, di Gedung Kejagung, Senin, 4 Agustus 2025.

Menanggapi rencana eksekusi tersebut, Silfester menyatakan siap menjalani proses hukum. “Enggak ada masalah (kalau akhirnya dipenjara),” katanya di Polda Metro Jaya pada hari yang sama. Namun, ia mengaku belum menerima surat penahanan dari kejaksaan.

Menurutnya, permasalahan dengan Jusuf Kalla sudah selesai di luar pengadilan. “Itu sudah selesai dengan adanya perdamaian. Bahkan saya beberapa kali bertemu dengan Jusuf Kalla dan kami berhubungan baik. Dan proses hukum juga sudah saya jalani,” kata Silfester.

Jusuf Kalla (JK) mengatakan tidak begitu memusingkan ucapan Silfester. “Hanya, keluarga yang keberatan soal omongannya Silfester itu,” kata mantan Ketua Umum Partai Golkar ini melalui sambungan telepon kepada Tempo pada Sabtu, 9 Agustus 2025.

Menurut JK, dia tidak pernah bertemu dengan Silfester untuk menyelesaikan persoalan fitnah. “Ke saya juga tidak ada minta maaf karena tidak pernah bertemu,” katanya. JK juga tidak pernah mendengarkan permintaan maaf Silfester yang disampaikan melalui orang terdekat.

Ananda Ridho Sulistya dan Jihan Ristiyanti ikut berkontribusi dalam penulisan artikel ini.

Want a free donation?

Click Here