Free Gift

Keanehan Harga Beras dari Petani, Penggilingan, hingga Konsumen, Dimana Salahnya?

Sabo.CO.ID, INDRAMAYU – Harga beras tidak ada turunnya di saat stok menggunung dan kesiapan swasembada pangan. Namun kenapa petani sebagai ujung tombak produksi dan konsumen sebagaiend user tidak bisa berada di ‘perahu’ yang sama?

Ditambah lagi, kondisi di lapangan menunjukkan anomali. Saat petani dan penggilingan seharusnya berada di ‘kapal’ yang sama, kondisi di lapangan menunjukkan realitas yang berbeda.

Harga gabah di tingkat petani pada musim tanam gadu di Kabupaten Indramayu saat ini melambung. Kondisi itu membuat petani sumringah karena bisa memberi mereka keuntungan.

Namun di sisi lain, tingginya harga gabah membuat pemilik penggilingan padi, terutama yang berskala kecil, menjadi gigit jari. Pasalnya, tingginya harga gabah tidak sebanding dengan harga beras di pasaran.

Ketua Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Kabupaten Indramayu, Sutatang, menyebutkan, harga gabah kering panen (GKP) di tingkat petani di Kabupaten Indramayu saat ini di kisaran Rp7.500 – Rp8.500 per kilogram. Harga itu jauh diatas harga pembelian pemerintah (HPP) GKP yang hanya Rp6.500 per kilogram.

Sedangkan harga gabah kering giling (GKG) di tingkat petani di Kabupaten Indramayu, ada di kisaran Rp8.500 – Rp9.000 per kilogram.

“Petani sekarang ini senang, sedang menikmati harga gabah yang tinggi,” ujar Sutatang kepada Sabo, Senin (18/8/2025).

Sutatang menjelaskan, tingginya harga gabah saat ini dikarenakan masih minimnya areal persawahan yang sudah panen. Ia menyebutkan, di Kabupaten Indramayu, daerah yang sudah panen baru sebatas di wilayah Kecamatan Kroya, Gantar, Haurgelis dan Pasekan.

Sutatang pun memperkirakan, masa panen raya di musim tanam gadu ini tidak akan mengalami masa puncak. Hal itu dikarenakan tidak meratanya panen di seluruh daerah.

“Dulu tanamnya tidak serentak karena terkendala pasokan air. Jadi panennya juga tidak serentak,” ucap Sutatang.

Sutatang mengatakan, gabah hasil panen petani itu dibeli oleh para tengkulak yang langsung mendatangi areal sawah. Bahkan, adapula tengkulak yang sudah memberikan uang muka kepada petani sebelum panen agar gabahnya tidak dijual ke orang lain.

Sementara itu, keuntungan yang sedang dinikmati petani saat ini berbeda dengan para pemilik penggilingan padi, terutama yang berskala kecil. Bahkan, banyak di antaranya yang tutup maupun beralih fungsi karena mahalnya harga gabah tidak sebanding dengan harga jual beras di pasaran.

Ketua Persatuan Pengusaha Penggilingan Padi dan Beras Indonesia (Perpadi) Kabupaten Indramayu, Fuad, menyebutkan, semula jumlah penggilingan padi di Kabupaten Indramayu mencapai sekitar 1.200 penggilingan. Namun saat ini, jumlahnya diperkirakan tinggal sekitar 800 – 900 penggilingan.

“Banyak yang tutup, ada juga yang buka tutup, bahkan ada penggilingan padi yang beralih fungsi jadi gudang, distributor sembako dan snack, bahkan bengkel,” kata Fuad kepada Sabo, Senin (18/8/2025).

Fuad mengatakan, kondisi itu utamanya akibat harga gabah di tingkat petani yang mahal dan tidak sebanding dengan harga beras di pasar. Ia menyebutkan, harga gabah di tingkat petani saat ini sudah di kisaran Rp 8.500 per kilogram.

Ia mencontohkan, dengan harga gabah Rp 8.500 per kilogram, dan tingkat rendemen beras 60, maka seharusnya harga jual beras di pasaran mencapai Rp 14.200 per kilogram. Namun di pasaran, harga beras hanya di kisaran Rp 13.400 – Rp 13.500 per kilogram untuk kualitas beras tersebut.

“Jadi ya harganya nggak ketemu. Itu juga belum termasuk risiko giling, upah pekerja, karung, ongkos kendaraan,” terang Fuad.

Fuad menambahkan, kesulitan yang dialami para pemilik penggilingan padi, terutama yang berskala kecil, sudah terjadi sejak sekitar tiga sampai empat tahun terakhir. Untuk tetap bertahan, para pemilik penggilingan padi harus mencari berbagai cara.

Salah satu caranya, kata Fuad, pemilik penggilingan beras langsung menjual berasnya ke pasaran di Jakarta. Padahal dulu, produk mereka dijual/ditampung ke pabrik besar terlebih dahulu sebelum dibawa ke Jakarta.

“Sekarang mereka langsung jual ke Jakarta,” katanya.  

AA1KIWJ2

Beras premium di ritel modern – (Sabo/Thoudy Badai)

Bagaimana Sebenarnya Distribusi Pasokan Beras dari Penggilingan?

Ketua Umum Perkumpulan Penggilingan Padi dan Pengusaha Beras Indonesia (Perpadi), Sutarto Alimoeso, memberi gambaran perihal struktur pasar beras di Indonesia. Ia mengatakan setiap pasar memiliki pemasok berbeda-beda.

Pertama, dimulai dari ritel modern. Penyuplai jenis pasar ini, kata Sutarto, berasal dari penggilingan padi menengah dan besar. Isinya beras premium.

Kedua, pasar tradisional. “Umumnya dipasok beras medium oleh penggilingan padi kecil, sekalipun di beberapa tempat juga tersedia beras premium,” kata Ketua Umum Perpadi kepada Sabo, Senin (18/8/2025).

Sutarto menerangkan, penggilingan padi besar bisa memproduksi beras premium dan medium. Sementara penggilingan kecil hanya memproduksi beras medium.

Penjelasan Ketua Umum Perpadi di atas, sehubungan dengan pernyataan Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman baru-baru ini. Amran mengklaim penggilingan kecil “berpesta” karena, kata dia, terjadi perubahan struktur pasar beras. Konsumen ritel modern, menurutnya, banyak yang beralih membeli beras ke pasar tradisional atau eceran.

Pemasok beras ke pasar tradisional adalah penggilingan kecil. Isinya beras medium. Jika demikian, hal itu sejalan dengan pernyataan Ketua Perpadi. Ketika diminta secara spesifik merespons pernyataan Mentan, Sutarto enggan menjawab. Ia hanya memberi gambaran struktur pasar umumnya.

Sebelumnya, Amran menyatakan pasca kasus beras oplosan, terjadi pergeseran struktur pasar beras di Indonesia. Konsumen kini cenderung beralih dari pasar modern ke pasar tradisional dan eceran, yang pasokannya berasal dari penggilingan kecil dan menengah, sehingga penjualan mereka meningkat.

“Yang terjadi saat ini adalah ‘pesta’ penggilingan kecil karena pasokan melimpah. Terjadi hukum pasar. Pemerintah ingin agar usaha kecil tidak tertindas, sehingga ekonomi kerakyatan tetap berjalan,” ujar Mentan Amran pada konferensi pers di Kantor Pusat Kementerian Pertanian, Jakarta, Rabu (13/8/2025).

Sayangnya, lanjut Mentan, pabrik besar cenderung membeli gabah dengan harga lebih tinggi, Rp6.700–Rp 7.000 per kilogram, dibanding pabrik kecil yang membeli sekitar Rp6.500 (sesuai Harga Pembelian Pemerintah/HPP). Kondisi ini kerap membuat pabrik kecil kesulitan memperoleh gabah. Oleh karena itu, pemerintah berkomitmen menjaga keberlangsungan usaha penggilingan kecil.

Amran turut merespons isu soal banyaknya penggilingan padi kecil yang tutup. Menurut dia, informasi tersebut tidak sepenuhnya benar. Ia menyampaikan kondisi yang dialami penggilingan sebenarnya lebih terkait dengan struktur kapasitas yang tidak seimbang dengan produksi padi nasional.

Ia merinci jumlah tiga klaster penggilingan: kecil 161.000 unit, menengah 7.300 unit, besar 1.065 unit.

Amran mengurai lebih detail soal ketidakseimbangan tersebut. Kapasitas giling yang tersedia di penggilingan kecil saja sudah mencapai 116 juta ton per tahun, sementara produksi padi nasional hanya sekitar 65 juta ton. Artinya, kapasitas giling jauh melampaui jumlah produksi sehingga banyak mesin yang menganggur.

Faktor musiman juga ikut menjelaskan mengapa sebagian penggilingan tidak beroperasi. Produksi padi Indonesia didominasi pada semester pertama, yakni Januari hingga Juni, yang menyumbang sekitar 70 persen produksi nasional. Akibatnya, sebagian besar gabah sudah digiling di periode itu, sedangkan pada semester kedua pasokan bahan baku berkurang.

Menurut Mentan, ketimpangan harga antara penggilingan besar dan kecil turut menambah beban. Pemain besar mampu membeli gabah dengan harga lebih tinggi sehingga menggeser ruang gerak penggilingan kecil.

Meski begitu, Mentan melihat dinamika pasar belakangan justru membawa dampak positif. Penurunan penjualan beras premium di supermarket modern diikuti dengan peningkatan permintaan di pasar tradisional. Hal ini memberi kesempatan bagi penggilingan kecil untuk kembali mendapatkan pasokan.

Kemudian Mentan memastikan stok beras nasional saat ini dalam kondisi aman, dengan surplus mencapai 3,9 juta ton. Ada operasi pasar melalui Stabilitas Pasokan Harga Pangan (SPHP) sebanyak 1,3 juta ton. Pasokan akan terus digelontorkan ke pasar untuk menjaga stabilitas harga sekaligus mendukung pedagang kecil.

Want a free donation?

Click Here