KORAN-PIKIRAN RAKYAT – Kementerian Haji dan Umrah (Kemenhaj) berencana merombak sistem antrean haji agar masa tunggunya menjadi sekitar 26-27 tahun untuk seluruh Indonesia. Aturan itu menggantikan sistem yang lama yang masa tunggunya bisa bervariasi hingga lebih dari 40 tahun, tergantung daerah.
Perubahan ini didasarkan pada undang-undang yang baru disahkan, bertujuan untuk menciptakan keadilan dan pemerataan. Perubahan mendasar ini diklaim bakal menghapus disparitas masa tunggu haji yang selama ini bisa mencapai puluhan tahun.
Menteri Haji dan Umrah Mochamad Irfan Yusuf mengatakan, pembagian kuota haji per provinsi dengan menyetarakan masa tunggu untuk melaksanakan ibadah haji menjadi 26,4 tahun merupakan upaya menciptakan keadilan bagi masyarakat. Menurut Gus Irfan, sapaan akrab Menteri Haji dan Umrah Mochamad Irfan Yusuf, pembagian kuota dengan menyetarakan masa antrean bertujuan untuk membuat mekanisme penyelenggaraan ibadah haji berjalan sesuai dengan undang-undang.
“Selama ini, pembagian kuota tidak sesuai dengan undang-undang dan kami upaya supaya sesuai. Untuk pembagian kuota per provinsi sesuai antrean, dengan begitu akan sama dari Aceh sampai Papua 26,4 tahun. Jadi, ada keadilan di sana,” kata Gus Irfan, beberapa waktu lalu.
Dengan skema ini, ungkap Gus Irfan, masyarakat juga akan memperoleh lebih banyak manfaat dari penyelenggaraan pelayanan haji yang dijalankan oleh pemerintah melalui Kementerian Haji dan Umrah pimpinannya. Usia lansia dengan jumlah sekitar 7% pun merupakan kalangan yang diusahakan mendapatkan prioritas dari kebijakan ini.
Sebelumnya, daerah dengan masa tunggu keberangkatan haji paling panjang ada di wilayah Sulawesi Tengah, yakni 40 tahun. “Terpanjang tahun ini Sulawesi Selatan 40 tahun. Kalau yang untuk Jawa Timur masih sekitar 30 tahun,” ucapnya.
Selain dengan pembagian masa tunggu haji, Gus Irfan mengungkapkan, sebenarnya ada metode lain yang bisa digunakan untuk memangkas antrean keberangkatan ibadah haji, yakni menggunakan metode campuran. Namun, metode itu dinilainya belum menghadirkan nilai keadilan bagi masyarakat.
“Sebagian menggunakan antrean dan sebagian menggunakan jumlah penduduk. Tapi, itu belum mencerminkan keadilan sesungguhnya,” ujar dia.
Masa tunggu
Tenaga Ahli Kementerian Haji dan Umrah, Ichsan Marsha, mengatakan, pilihan angka 26 tahun didasarkan pada prinsip keadilan dan kepastian bagi seluruh calon jemaah. “Rujukan kami sebenarnya kenapa muncul 26 tahun itu, merujuk sepenuhnya pada undang-undang. Opsi yang paling berkeadilan itu adalah menggunakan masa tunggu, bukan populasi Muslim di tiap daerah,” katanya, Jumat 24 Oktober 2025.
Menurut Ichsan, undang-undang memberi dua dasar penghitungan alokasi kuota jemaah, yakni berdasarkan jumlah populasi Muslim di daerah atau berdasarkan lamanya masa tunggu pendaftar. Hal ini sesuai Pasal 13 Ayat (2) dalam UU No. 14 Tahun 2025.
Setelah dikaji, ungkap Ichsan, pemerintah menilai pendekatan masa tunggu lebih adil karena mencerminkan antrean riil masyarakat yang sudah mendaftar. “Kalau pakai populasi Muslim, bisa saja daerah dengan jumlah Muslim besar mendapat kuota besar, padahal pendaftar hajinya tidak terlalu signifikan. Itu menimbulkan ketidakadilan,” kata Ichsan.
Dengan penyeragaman masa tunggu menjadi 26 tahun, katanya, pemerintah berupaya menghadirkan kepastian keberangkatan bagi calon jemaah dari seluruh daerah. Sebelumnya, masa antrean di Indonesia sangat timpang. Beberapa provinsi mencapai lebih dari 50 tahun, sementara di daerah lain hanya sekitar 15 tahun.
“Kebijakan ini membuat yang masa tunggunya 51 tahun akan turun menjadi 26 tahun, dan yang tadinya 15 tahun otomatis naik menjadi 26 tahun. Jadi, ada daerah yang berkurang, ada yang bertambah,” ujarnya.
Ichsan menyebut, kebijakan ini akan menimbulkan perbedaan dampak di setiap provinsi. Jawa Barat, misalnya, diproyeksikan mengalami penurunan kuota sekitar 9.000 orang. Di sisi lain, kuota haji Jawa Timur dan Jawa Tengah justru berpotensi mengalami kenaikan.
“Pro dan kontra yang pasti muncul. Tapi, dasar kebijakannya tetap asas keadilan dan kepastian,” katanya.
Dampak
Kepala Bidang Penyelenggara Haji dan umrah Kementerian Haji dan Umrah Kanwil Jawa Barat Boy Hari Novian mengatakan, perhitungan antrean haji hingga didapat rerata 26,4 tahun itu berdasarkan daftar tunggu nasional sekitar 5,3 juta orang. Jumlah itu dibagi dengan kuota reguler tahun 2025 sebanyak 203.320 orang, sehingga didapat angka 26,4 tahun.
“Perhitungan berdasar waiting list ini sesuai dengan amanat undang-undang. Jika ditanya kelebihan dengan sistem perhitungan ini, maka akan ada keadilan bagi para jemaah calon haji terdaftar di seluruh indonesia tanpa ada kesenjangan dalam antrean masa tunggu,” ucap Boy.
Meskipun demikian, kata Boy, perhitungan ini bersifat dinamis dan akan ada perhitungan setiap tahun berdasarkan jumlah pendaftar. Jika pendaftar dalam suatu provinsi pada tahun berikutnya bertambah, maka akan berubah pula jumlah kuota tahun berjalannya.
Dampak lainnya, Boy mengatakan, aturan itu akan berpengaruh kepada persiapan musim haji sudah semakin dekat.
“Ada sekitar 20 provinsi di Indonesia belum siap dalam hal sosialisasi kepada masyarakat, terutama yang sudah mengetahui bahwa mereka termasuk dalam estimasi keberangkatan tahun ini,” ungkapnya.
Boy menilai, pemerintah pusat perlu melakukan pendekatan dan penjelasan secara personal dan masif kepada masyarakat di provinsi terdampak penyesuaian jumlah kouta ini.
Bagi Jawa Barat, dengan adanya rencana penyeragaman masa tunggu haji tersebut, akan ada dampaknya bagi jemaah. Jawa Barat kemungkinan akan berkurang sekitar 9.000 kuota. Kuota Jawa Barat kemungkinan akan menjadi sekitar 29.000-30.000 orang.
Kuota haji 2026 untuk Jawa Barat, hingga kini belum ada kepastian, karena ada penyamarataan daftar tunggu secara nasional. Kanwil Kementerian Haji dan Umrah Jabar masih mengacu pada kuota haji tahun lalu, yaitu 38.723 jemaah.
“Jadi, verifikasi 80% ini mengacu ke kuota tahun lalu. Kami masih menunggu dari pusat,” katanya.
Agus Komarudin Hidayat dari Biro Perjalanan Wisata (BPW) Asro Ibad Haramain menyambut positif perombakan antrean haji. ”Alhamdulillah, kalau dipangkas antrean hajinya, bagus itu. Dari 40 tahun jadi 26 tahun rerata. Jadi, jemaah haji tak perlu menunggu lebih lama lagi,” ujar Agus.
Pemilik Albahri Haramain Tour and Travel Andi Syamsul Bahri pun menilai, perombakan antrean waktu haji tentunya sangat dinanti jemaah. Terlebih, akibat adanya korupsi di tubuh Kemenag beberapa waktu lalu, membuat banyak jemaah yang makin lama waktu berangkatnya.
Namun, kata Andi, hal ini bukanlah semudah membalikkan telapak tangan karena kuota Indonesia yang terbatas, maka harus ada instruksi yang jelas dari Kementerian Haji dan Umrah bagaimana mekanismenya.
“Apalagi kuota pun kembali dipotong sehingga hal ini harus dijelaskan lebih lanjut melalui Kementerian Haji dan Umrah. Seperti diketahui, kementerian tersebut yang kini sedang melakukan lobi dengan Pemerintah Arab Saudi terkait mekanismenya,” katanya. (Moch Iqbal Maulud, Muhammad Ashari, Novianti Nurulliah/”PR”)***






