Free Gift

Kemensos Bidik Penyandang Disabilitas Jadi Koki Profesional dalam Program MBG

Sabo— Di sebuah dapur pelatihan di jantung ibu kota, aroma roti panggang dan saus krim bercampur menggugah selera. Di balik meja stainless steel, tangan-tangan cekatan menata hidangan dengan penuh konsentrasi. Mereka bukan sekadar siswa kuliner biasa — mereka adalah penyandang disabilitas yang sedang mempersiapkan masa depan baru di dunia kerja.

Kementerian Sosial RI kini menaruh harapan besar pada mereka. Menteri Sosial Saifullah Yusuf mengatakan pemerintah tengah menyiapkan langkah strategis untuk memberdayakan penyandang disabilitas sebagai tenaga kerja di bidang kuliner, termasuk sebagai koki di Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG), bagian dari Program Makan Bergizi Gratis yang diinisiasi pemerintah.

Inspirasi itu, kata Saifullah, berawal dari kunjungannya ke LSPR Institute of Communication and Business, salah satu lembaga pendidikan tinggi yang dikenal dengan program pelatihan kuliner inklusif. Di sana, ia menyaksikan langsung bagaimana mahasiswa penyandang disabilitas mampu menghasilkan hidangan profesional setara koki hotel bintang lima.

“Pendidikan itu penting,” ujar Saifullah saat ditemui di Jakarta, Jumat. “Kami ingin melihat hasil dari pelatihan ini, dan kalau terbukti efektif, kami akan perluas kerja samanya, termasuk ke unit SPPG yang tersebar di berbagai daerah.”

Bagi Saifullah, pelatihan kuliner semacam ini lebih dari sekadar program pendidikan. Ia melihatnya sebagai jembatan nyata menuju kemandirian ekonomi bagi penyandang disabilitas. “Mereka bukan objek belas kasihan. Mereka punya potensi besar yang hanya perlu diberi kesempatan,” katanya.

Program ini akan dimulai dengan kerja sama antara Kementerian Sosial dan LSPR Institute, di mana para pegawai dan instruktur dari unit-unit pelatihan sosial akan mendapat kesempatan belajar langsung tentang metode pelatihan ramah disabilitas. Diharapkan, pendekatan ini dapat diterapkan secara nasional dalam waktu dekat.

Sistem pelatihan di LSPR, yang mengacu pada standar internasional, tidak hanya mengajarkan teknik memasak, tetapi juga membentuk kepercayaan diri, disiplin, dan rasa tanggung jawab. “Keterampilan itu hanya pintu masuk. Yang lebih penting adalah membangun rasa percaya bahwa mereka mampu bersaing,” ujar salah satu instruktur kuliner di kampus tersebut.

Langkah Kementerian Sosial ini bukan yang pertama dalam upaya membangun inklusivitas ekonomi. Sebelumnya, berbagai lembaga seperti Jamkrindo dan Baznas juga meluncurkan program serupa, seperti Kreasi Kopi Sunyi dan Disabilitas Berdaya, yang memberikan ruang bagi penyandang disabilitas untuk berwirausaha di sektor kreatif dan kuliner.

Namun, program baru ini memiliki dimensi yang lebih luas: menyediakan akses langsung ke lapangan kerja publik, termasuk di fasilitas sosial milik negara. “Jika berhasil, ini bisa jadi model nasional untuk pemberdayaan yang berkelanjutan,” ujar Saifullah.

Kementerian Sosial mencatat, lebih dari satu juta penyandang disabilitas di Indonesia telah menerima perlindungan dan layanan rehabilitasi, baik sosial maupun medis. Kini, tahap berikutnya adalah memastikan mereka mendapat ruang nyata untuk bekerja dan hidup mandiri. “Rehabilitasi sudah berjalan. Saatnya kita bicara pemberdayaan,” tegasnya.

Di dapur pelatihan itu, suara tawa ringan terdengar di sela-sela denting panci. Seorang peserta pelatihan tuna rungu menulis di papan kecil, “Saya ingin jadi koki di hotel suatu hari nanti.” Kalimat sederhana itu mencerminkan mimpi besar — dan dengan dukungan pemerintah, mungkin kali ini, mimpi itu tidak sekadar wacana.

Bagi Indonesia, langkah kecil ini bisa menjadi awal revolusi besar dalam melihat potensi disabilitas: bukan lagi keterbatasan, melainkan kekuatan yang siap diolah — seperti resep rahasia yang menunggu waktu untuk dinikmati dunia.***

Want a free donation?

Click Here

Related Post

Tinggalkan komentar