Saat fajar menyingsing di ufuk timur, burung surga itu bertengger di pucuk batang kayu minyak tanpa daun. Bak menari, sang burung mengibaskan ekor belakangnya yang mirip antena berjumlah 12.
Tubuhnya berbulu kuning dan hitam dengan paruh yang lancip. Dia berkoak-koak dengan suara khas memanggil pasangan betina di hutan Belempe di Kampung Adat Malasigi, Sorong, Papua Barat Daya, pada awal Oktober lalu.
Itulah si burung cenderawasih kawat 12 atau twelve wire bird of paradise (Seleucidis melanoleucus) yang legendaris. Kecantikan cenderawasih membuat spesies dilindungi ini dijuluki burung surga oleh penjelajah Eropa sejak abad ke-16.
Untuk bisa menyaksikan keajaibannya, perjalanan masuk hutan Belempe – yang artinya suci – dimulai sejak dini hari. Pada pukul 04.30 WIT, saya bersama beberapa rekan meninggalkan penginapan di Kampung Adat Malasigi, menyusuri hutan yang berudara dingin dan lembap dengan cahaya senter di kepala sebagai penuntun jalan di kegelapan.
Cenderawasih tak mudah ditemui, mereka punya ritme kehidupan unik. Mereka keluar dari sarang saat fajar hingga sebelum matahari meninggi atau sekitar pukul 09.00. Lalu kembali muncul menjelang senja sebelum matahari terbenam. Para pemandu lokal paham benar irama itu, sehingga persiapan memasuki hutan menyesuaikan ritme sang burung.
Empat pemandu lokal mendampingi kami, yakni Joshua Fami, Edison Fami dan dua orang bernama Luther. Joshua yang tubuhnya paling besar, memimpin perjalanan sejauh tiga kilometer. Di beberapa titik kami menemukan pegangan kayu dan juga batang pohon sebagai jembatan penyeberang anak sungai. Butuh waktu satu jam menelusuri hutan dengan tanah berlumpur hingga akhirnya kami tiba di pos pertama tempat pengamatan cenderawasih kawat 12.
Sekitar 500 meter dari pos pertama, seekor cenderawasih ekor kuning atau lesser bird of paradise (Paradisaea minor) tampak di antara dahan pohon Merbau. Lewat teropong, terlihat tubuhnya berpadu warna kuning cerah, cokelat kemerahan, dengan hijau di bagian kepala. Ekornya berbulu kuning dan putih menjuntai panjang menyerupai pita.
Petualangan berlanjut ke titik ketiga—tempat burung belah rotan atau magnificient bird of paradise (Cicinnurus magnificus) biasa menampakkan diri. Tepat di depan bilik pemantauan, pemandu membersihkan ranting-ranting untuk memancing kehadiran si burung. “Dia dikenal sebagai burung pembersih, tak mau tempatnya kotor,” kata Joshua Fami.
Kami menunggu dalam diam di bilik pemantauan hingga si burung turun dari ketinggian. Dia datang sesaat, kemudian kembali melesat terbang. Bila beruntung, sang burung menunjukkan tarian menawan mengepakan ekornya yang mirip rotan terbelah.
Ada lima jenis burung cenderawasih yang menghuni hutan Belempe. Selain tiga burung yang kami jumpai, ada dua jenis lainnya yakni Toowa Cemerlang atau magnificent riflebird ( Ptiloris magnificus) dan cenderawasih raja atau king of paradise (Cicinnurus regius).
Sejak 2021, Kampung Adat Malasigi membuka ekowisata untuk kegiatan pengamatan burung (birdwatching) di hutan Belempe. Selain cenderawasih, terdapat 131 jenis satwa liar yang terdiri dari 95 jenis burung, 13 jenis mamalia, 13 jenis amfibi dan 10 jenis reptil.
Pesona alam lain yang menarik di Malasigi adalah gua horizontal sepanjang 350 meter yang dinamai gua Wo’batiwala. Gua ini memiliki ruang yang luas sebagai rumah ribuan kelelawar, dipenuhi stalaktit dan stalakmit. Selain itu terdapat sumber air panas yang muncul dari celah batu dan mengalir ke sungai Klaguluk. Pemandian air panas ini digunakan untuk pengobatan tradisional masyarakat.
Para pengunjung juga bisa merasakan keramahan warga kampung adat, mengikuti tarian dan menikmati produk kerajinan tangan berbahan hasil hutan. Setidaknya sudah ada turis dari 43 negara dengan minat khusus ini mengunjungi Malasigi.
Keistimewaan ekowisata Malasigi membuat penduduk, kampung dan organisasi yang terlibat mendapatkan penghargaan. Kampung Adat Malasigi ini meraih juara 1 Desa Wisata Rintisan dalam ajang Anugerah Desa Wisata Indonesia (ADWI) 2024.
Dominggus Absalom Kalami, pemuda yang menginisiasi pengembangan ekowisata dan pemberdayaan di Kampung Adat Malasigi ini meraih juara 1 Local Hero Inspirations Awards Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) 2024. Selain itu, penghargaan Asia Responsible Enterprise Award (AREA) 2025 diraih Pertamina EP Papua Field yang menjalankan program pendampingan di Kampung Adat Malasigi.
Membangun Ekowisata untuk Melindungi Hutan
Menase Fami (40) merupakan kepala kampung dari generasi keempat di Malasigi. Menase menjelaskan Malasigi berasal dari dua kata yakni mala dan sigi yang menjelaskan asal usul mereka. Mala artinya gunung merujuk pada pegunungan di belakang kampung yang menjadi tempat asal nenek moyang. Sedangkan sigi berarti udang yang terdapat di sungai Klaguluk.
Generasi pertama yang bermigrasi ke Kampung Adat Malasigi merupakan suku Moi Kelim yang kawin silang antara marga Fami dan Su. Saat ini jumlah penduduk Malasigi sebanyak 54 orang dengan 15 kepala keluarga terdiri dari campuran marga Fami dan Su dan juga marga Komigi. Jumlah penduduk tak banyak karena banyak yang keluar dari kampung dan memilih untuk merantau ke kawasan lain.
Pengembangan wisata di Kampung Adat Malasigi ini terinspirasi keberhasilan pengembangan ekowisata di Malagufuk, Distrik Makbon, Kabupaten Sorong. Ekowisata Malagufuk menawarkan wisata untuk memantau burung cenderawasih dan juga berbagai jenis hewan lain asal Papua.
Absalom Dominggus Kalami (38), pemuda suku Moi Kelim yang mengembangkan ekowisata di Malagufuk, mengatakan idenya bermula dari kekhawatiran dengan berbagai macam kerusakan hutan. “Kalau (kerusakan hutan) terus terjadi, pasti masyarakat tidak akan mendapatkan apa yang hari ini menjadi milik masyarakat.“
Berdasarkan data Forest Watch Indonesia, luas deforestrasi di Papua Barat Daya kurun 2017-2021 sebesar 159.849 hektare.
Absalom membuktikan ekowisata di Malagufuk membuat masyarakat bisa mempertahankan hutan adat mereka dan mencegah dikuasai kelompok lain. Kesadaran itu pun menular kepada saudaranya, Riki Fami, pemuda asal Malasigi yang bekerja bersamanya selama lima tahun di Malagufuk. “Riki merasakan ketika kita menjaga dan tak merusak hutan, kita mendapatkan manfaat langsung yang bisa menunjang kehidupan ekonomi kami,” kata Absalom dihubungi lewat telepon.
Riki menyampaikan ide mengembangkan ekowisata di Malasigi kepada kepala kampung dan para tetua pada 2019. Absalom lalu mulai membantu mengeksplorasi dan menggali potensi kawasan di Kampung Adat Malasigi pada 2020. Selama enam bulan mengeksplorasi, Absalom dan warga Malasigi menemukan lima jenis cenderawasih. Padahal di daerah-daerah lain paling banyak empat jenis cenderawasih dalam satu kawasan. “Malasigi begitu luar biasa,” kata Absalom.
Langkah awal masyarakat membangun ekowisata di Malasigi dengan modal gotong royong. Menase mengatakan warga kampung patungan untuk membangun pos pengamatan burung. “Modal awal kami dari hasil berburu rusa di hutan,” kata Menase.
Mereka juga mengubah balai kampung menjadi homestay, dan menggunakan rumah penduduk sebagai penginapan tambahan. “Pesan pertama saya saat membangun ekowisata Malasigi, jangan berpatokan pada uang,” kata Absalom.
Warga kampung mempromosikan Kampung Adat Malasigi bekerja sama dengan agen travel mulai 2021. Pada Agustus 2021, mereka kedatangan turis pertama, dan terus berlanjut sampai sekarang. Seperti halnya di Malagufuk, turis dengan minat khusus ini datang dari luar negeri seperti Eropa, Amerika dan Australia.
Ekowisata Malasigi terus berkembang dengan datangnya berbagai lembaga pendampingan. Pada 2022, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Fauna dan Flora Papua membantu pendampingan di Malasigi. Kemudian, Pertamina memberikan pendampingan melalui LSM Kasuari Tanah Papua pada 2023.
Keterlibatan Pertamina bermula ketika Officer Communication Relations and Community Involvement and Development Zona 14 Pertamina EP Cepu, Hariyanto, mengunjungi Malasigi pada 2023. Ketika itu dia penasaran dengan sumber air panas di sungai Klaguluk, dan menyempatkan berkunjung menjelang masa mutasi kerja dari Papua Barat Daya ke Jakarta.
Kedatangan ke Malasigi memberikan kesan mendalam, bukan hanya hanya pada pesona alam, tapi juga keramahan penduduk. “Karakter penduduknya ramah dan sopan. Mereka biasa menyesuaikan dengan kebutuhan tamu, ketika datang saya disajikan opor ayam yang enak,” kata dia.
Haryanto pun mengusulkan agar Malasigi mendapatkan pendampingan dalam program perhutanan sosial. Usulan ini bersambut, Pertamina EP Cepu lalu menggandeng LSM Kasuari yang merupakan organisasi non-pemerintah dalam kegiatan pelestarian lingkungan sebagai mitra pendampingan di Malasigi. “Kami menganalisis dulu, di mana kekuatan, kelemahan dan tantangannya,” kata Manajer Field Pertamina EP Cepu Ardi.
Pada 2023, Kampung Adat Malasigi mendapat legitimasi melalui Surat Keputusan Pengelolaan Hutan Kampung Nomor SK.8557/MENLHK- PSKL/PKPS/PSL.0/8/2023. Keputusan tersebut membuat warga yang menghuni kampung seluas 1.750 hektar itu mendapat legitimasi hukum dalam mengelola kawasan hutan kampung.
Tenaga Surya Menyinari Kampung Adat Malasigi
Cahaya terang berpendar di Kampung Adat Malasigi saat malam hari. Lampu-lampu tak hanya menerangi penginapan tamu yang terdiri dari sepuluh unit tenda glamping dan homestay, tapi juga perkampungan.
Listrik mengalir berkat Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) yang beroperasi sejak Januari 2025. Kampung Adat Malasigi menerima program Desa Energi Berdikari (DEB) dari PT Pertamina Hulu Energi (PHE) sebagai Subholding Upstream Pertamina.
Kehadiran PLTS ini membuat tak hanya terang di saat malam, tapi menjadi kunci bagi pengembangan wisata di Kampung Adat Malasigi. Hariyanto, mengatakan kondisi Malasigi berbeda ketika dia berkunjung pertama kali pada 2023.
Kampung Adat Malasigi yang berjarak 55 kilometer dari pusat Kota Sorong, ketika itu belum ada listrik dan tak ada sinyal telekomunikasi. “Hilang dari peradaban ketika berada di sana saat itu,” kata Hariyanto.
Ketika itu sumber listrik berasal dari genset berbahan bakar bensin yang mengeluarkan deru bising dan mengusik istirahat para tamu. Sejak hadirnya PLTS berkapasitas berkapasitas 8,7 kwp dengan baterai 10 kwh, bukan hanya malam menjadi tenang, tetapi warga juga menghemat biaya pengganti bensin Rp 36 juta per tahun.
Kehadiran PLTS ini juga memudahkan akses air bersih, yang menggerakkan pompa untuk mengalirkan mata air ke lokasi penyaringan hingga ke penginapan dan rumah penduduk. “Sehingga masyarakat bisa mendapat air bersih sekitar 15 liter per dua hari,” ujar Absalom.
Penyaringan air ini menggunakan teknologi pelepah pisang buatan Pertamina yang pernah digunakan untuk menyaring solar. “Jadi, sekarang baik hujan dan panas, airnya tetap bening bersih,“ kata Ardi.
Warga desa bisa menggunakan PLTS selama 24 jam. Mereka mengatur penggunaan pompa air saat siang hari, sehingga malam hari untuk penggunaan listrik.
Vice President Corporate Communication PT Pertamina (Persero) Fadjar Djoko Santoso mengatakan terdapat 176 program DEB yang berjalan dan tersebar di seluruh Indonesia per Oktober 2025. Setiap program dirancang sesuai karakteristik daerahnya, terdiri dari 106 DEB Ketahanan Pangan, 31 DEB Pesisir Modern, dan 39 DEB Wisata Energi. Melalui pendekatan tersebut, energi terbarukan diharapkan dapat memberikan manfaat langsung bagi ekonomi dan kesejahteraan masyarakat desa.
Ekonomi Bergerak Berkat Ekowisata
Di bawah gapura bertuliskan bahasa suku Moi Kelim: ‘Bok Feden Paukiwi Adat Malasigi” yang artinya “Selamat Datang di Malasigi”, sekitar 16 pria dan wanita Malasigi berbaris dalam dua kelompok. Mereka bersiap menyambut para tamu dengan Tarian Alen khas suku Moi.
Para pria bertelanjang dada, berkalung, berkain merah dari pinggang ke betis, dengan membawa pedang. Sedangkan kaum perempuan tampil dengan kain adat yang menutup dada hingga kaki, dihiasi kalung manik-manik. Anak-anak yang turut memeriahkan barisan pun berpakaian adat dengan nuansa merah.
Barisan penari ini menggamit tamu, mengajak menari dan menyanyi dalam bahasa Moi sembari berlari-lari kecil mulai dari gerbang hingga ke dekat rumah panggung pendopo. Sebuah pengalaman unik, melampaui sekadar ucapan selamat datang.
Menase mengatakan tarian Alen merupakan peninggalan nenek moyang suku Moi. Anak-anak diajak serta sebagai upaya melestarikan adat.
Aktivitas tarian ini dikelola oleh Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis), organisasi yang mengelola kegiatan wisata di bawah Lembaga Pengelola Hutan Kampung (LPHK) Belempe. LPHK Belempe ini dibentuk sejak 2023, sejak Malasigi mendapatkan pengakuan mengelola hutan kampung.
Bendahara LPHK Belempe Kampung Adat Malasigi, Hagar Fami (31), mengatakan Pokdarwis membuka kesempatan buat setiap warga kampung bekerja melancarkan kegiatan wisata,“Setiap yang bekerja mendapatkan upah,” kata Hagar.
Kegiatan wisata di Malasigi ini membutuhkan penari, pemandu (guide), porter hingga juru masak. Seorang juru masak mendapatkan upah Rp 200 ribu untuk memasak satu hari. Para penari Alen mendapatkan upah yang bervariasi tergantung umurnya.
Adapun pemandu tamu mendapatkan upah Rp 200 ribu. Salah satu pemandu, Edison Fami, mengatakan bisa mendapatkan upah Rp 5 juta sebulan sebagai pemandu turis pada kurun 2023-2024. Namun, sejak jalan masuk ke Malasigi rusak parah dan para tamu berkurang, pendapatannya berkurang drastis.
Selain itu Pok Darwis mengelola perputaran dana wisata. Misalnya, retribusi kampung per hari Rp50.000 per kelompok tamu, biaya homestay Rp250.000 per malam, sewa glamping Rp150.000 per malam dan porter Rp100.000 per hari.
Kegiatan Pok Darwis ini berbeda dengan LPHK yang bersifat sukarelawan. Hagar dan anggota organisasi LPHK ini tak mendapatkan gaji. “Saya baru mendapatkan upah ketika saya bekerja menjadi juru masak,” kata Hagar yang merupakan ibu dengan dua anak.
LPHK bekerja untuk mengelola dana pembangunan kampung. Setiap dana yang masuk untuk pengembangan kampung tak bisa diutak-atik untuk urusan lain. “Kami menggunakan rekening khusus untuk pembangunan infrastruktur,” kata dia.
Hagar mencontohkan mereka pernah mendapatkan dana Rp 100 juta dari pemerintah provinsi Papua Barat Daya. Dana tersebut lalu digunakan untuk membangun tiga buah pos pengamatan burung dan membeli genset.
LPHK juga membentuk Smart Patrol yang menjalankan patroli hutan. Petugas smart patrol ini pun tak dibayar. Namun, kebutuhan akomodasi untuk patroli menggunakan dana LPHK.
Absalom mengatakan pengaturan kelembagaan di Kampung Adat Malasigi berkat pendampingan yang melibatkan kolaborasi berbagai pihak, seperti dari FFI, Kasuari, Pertamina, BKSDA dan lembaga lain. Dia mengatakan lembaga-lembaga pendamping memberikan pelatihan mulai dari manajemen organisasi, manajemen keuangan, pengelolaan wisata, patroli hutan hingga pengembangan ekonomi kampung.
Proses pemberdayaan masyarakat, kata Absalom, butuh waktu yang panjang. Dia menghitung, berbagai pelatihan mulai diberikan sejak 2022, dan terus berproses hingga sekarang. “Jadi itu benar-benar proses yang panjang karena melibatkan banyak orang,” ujarnya.
Absalom mengatakan proses pengembangan ekowisata di Malasigi agar bisa terus berkelanjutan perlu ada regenerasi. Dia mewaspadai potensi konflik yang kemungkinan terjadi pada generasi mendatang. “Potensi seperti keributan masalah pembagian pendapatan. Itu harus ada pemimpin yang kuat,” kata dia.
Absalom kerap mengingatkan dan mendampingi agar warga Kampung Adat Malasigi untuk terus bekerja sama dengan tujuan merawat hutan. “Tantangan utama bagaimana melindungi hutan dan mencegah peralihan hutan yang akan merugikan masyarakat,” kata dia.
Ekowisata di Kampung Adat Malasigi memang punya makna yang mendalam, bukan sekedar mendatangkan turis, tapi bagaimana merawat hutan yang merupakan warisan nenek moyang. “Hutan adalah ibu kami, nilai-nilai itu yang berusaha kami tanamkan ke anak-cucu,” kata Menase.






