Free Gift

Ketika Ayah di Rumah Hanya Patung, Sebuah Ironi Fatherless Nation

“Ironi Fatherless Nation, di mana ayah hadir di rumah hanya untuk dipuja sebagai patung ATM, bukan sebagai bapak.”

Kita ini bangsa yang katanya menjunjung tinggi nilai-nilai keluarga, gemar sekali bicara tentang sakinah mawaddah warahmah, tapi di saat yang sama, kita didaulat menjadi “Fatherless Nation” peringkat ketiga di dunia. Tentu saja, julukan itu bukan sesuatu yang membanggakan, apalagi jika ditukar dengan klaim bahwa kita adalah negara dengan penduduk paling sopan di seluruh jagat raya. Ini ironi yang kelewatan manis.

Bagaimana mungkin, sebuah bangsa yang mayoritas penduduknya menganut sistem kekerabatan patrilineal (garis keturunan ditarik dari bapak) justru mencatat kegagalan masif dalam urusan bapak-bapak? Ini bukan sekadar masalah anak yatim yang kehilangan sosok ayah karena dipanggil Tuhan, ini masalah anak-anak yang memiliki ayah, yang tiap malam pulang ke rumah, tapi kehadirannya terasa hampa, kosong, layaknya patung yang dipajang di ruang tamu hanya untuk dipuja sebagai dewa pencari nafkah.

Masalahnya, banyak yang keliru memahami arti fatherless. Mereka pikir, kalau ayah masih hidup, masih tidur satu atap, berarti aman. Padahal, fatherless itu adalah penyakit jiwa, sebuah kondisi di mana yang hilang bukan fisiknya, melainkan peran fungsional sang ayah dalam pengasuhan, bimbingan emosional, dan pembangunan karakter. Ayah, dengan segala hormat, telah berubah fungsi menjadi Automatic Teller Machine alias ATM berjalan yang hanya bisa mengeluarkan uang, tapi tidak bisa mengeluarkan waktu, pelukan, atau sekadar cerita tentang bagaimana rasanya menjadi laki-laki yang bertanggung jawab di luar urusan setoran bulanan.

Dilansir dari artikel Institut Teknologi Sepuluh Nopember, isu fatherless ini muncul karena ketidakseimbangan peran antara ayah dan ibu, di mana anak tidak merasakan keutuhan dalam pengasuhan. Figur ayah yang hadir secara fisik namun absen secara psikologis ini ternyata memberikan pengaruh buruk yang tidak kalah parah dari ketiadaan ayah seutuhnya. Kita sedang menimbun bom waktu psikologis yang kelak meledak di tengah masyarakat.

Mengapa yang Ayah Sibuk Adalah Ayah yang Gagal?

Lalu, apa yang membuat para ayah ini sibuk sekali? Tentu saja uang, uang, dan uang. Demi menafkahi, demi memenuhi kebutuhan materiil yang semakin tinggi, demi label sukses yang dipasang oleh masyarakat dan bahkan oleh keluarganya sendiri. Mereka bekerja siang malam, menukarkan waktu emas bersama anak dengan lembaran rupiah, dengan harapan anak-anaknya kelak tidak perlu merasakan kesusahan yang sama.

Ironisnya, saat si anak tumbuh dan mendapatkan semua fasilitas materiil, mereka justru kekurangan satu hal yang paling mendasar, yaitu model peran pria sejati. Mereka kehilangan kesempatan untuk diajari bagaimana menghadapi kegagalan, bagaimana mengelola amarah, bagaimana menghormati perempuan—semua hal yang seyogyanya diajarkan oleh figur ayah melalui interaksi sehari-hari, bukan melalui transfer bank.

Fenomena ini, mengacu pada artikel Bakti.or.id, adalah ironi dalam citra keluarga ideal Indonesia. Peran ayah dianggap minim, dan akar masalahnya adalah budaya patriarki yang begitu kuat. Budaya ini memberi label mulia kepada ayah sebagai pencari nafkah, dan sekaligus membebaskannya dari tugas-tugas “remeh” pengasuhan. Ayah pulang, lelah, harus istirahat, dan segala urusan anak adalah domain mutlak sang ibu. Ini adalah kontrak sosial yang keliru, yang diam-diam disepakati oleh seluruh penghuni rumah. Kontrak inilah yang pada akhirnya membuat anak kehilangan role model yang seimbang.

Ayah sejati, seharusnya, adalah dia yang mengajari anak untuk memecahkan masalah dengan solusi yang tepat, bukan dia yang hanya sibuk mencari masalah dengan tidak pernah hadir. Kesibukan finansial yang berlebihan, yang dilegitimasi oleh budaya, adalah bentuk kelalaian yang dihiasai dengan pita kemuliaan.

Kita Sedang Mencetak Generasi Rapuh Berlabel Harga Diri Murah

Dampak fatherless ini, bukanlah hal sepele yang bisa diselesaikan dengan ucapan selamat hari ayah di media sosial. Ini adalah cetak biru kegagalan sebuah generasi.

Dikutip dari Jurnal Pengabdian Masyarakat dan Riset Pendidikan, fenomena fatherless memberikan dampak signifikan terhadap perkembangan kepercayaan diri dan kesejahteraan psikososial pada anak, terutama saat memasuki fase dewasa awal. Anak-anak ini, yang tumbuh dengan kekosongan peran ayah, seringkali menghadapi kesulitan serius. Yaitu kesulitan mengambil keputusan, masalah kecemasan sosial, hingga krisis identitas yang membuat mereka gampang terombang-ambing.

Mereka adalah target empuk. Dalam politik, mereka mudah dihasut karena tidak memiliki fondasi psikologis yang kuat. Dalam kehidupan, mereka cenderung memiliki harga diri yang rendah (low self-esteem), merasa minder, dan kesulitan membangun relasi sosial yang sehat. Kerentanan ini sangat berbahaya, karena individu yang insecure cenderung mencari pelarian atau pengakuan yang salah.

Masalahnya, banyak orang tua yang mengira “cukup dengan uang”. Padahal, seorang anak perempuan butuh ayah untuk mengajarinya star seorang pria yang baik, dan anak laki-laki butuh ayah untuk menjadi model bagaimana menjadi pria yang dewasa dan bertanggung jawab. Ketika model itu absen, mereka mencari contoh di jalanan, di media sosial, atau di tempat-tempat yang tidak menjanjikan masa depan yang baik.

Dari Prestasi Akademik Jeblok Sampai Risiko Narkoba

Jika kita menganggap masalah psikologis itu terlalu mewah untuk dibahas, mari kita bicara angka dan kenakalan remaja. Dampak fatherless ini ternyata menjangkau hal-hal yang paling nyata, yaitu performa di sekolah dan perilaku.

Halodoc menuliskan, dampak fatherless juga terstruktur pada aspek kognitif dan sosial. Secara kognitif, anak-anak yang tumbuh tanpa kehadiran ayah yang fungsional seringkali mengalami kesulitan berkonsentrasi dan mencatat prestasi akademik yang lebih rendah. Sekolah dan guru hanya bisa menambal, tapi pondasi mentalnya sudah bermasalah dari rumah.

Lebih mengerikan lagi adalah dampak sosialnya. Anak-anak ini memiliki risiko lebih tinggi untuk terlibat dalam perilaku berisiko seperti penggunaan narkoba, tawuran maupun alkohol. Ketika kebutuhan akan keamanan, bimbingan, dan kasih sayang emosional tidak terpenuhi di rumah, mereka akan mencari kompensasi di luar. Ayah sejatinya adalah penangkal pertama kenakalan remaja dan kriminalitas. Ketika penangkal itu tidak berfungsi, wajar jika masalah sosial terus menghantui kita.

Kita sering menghabiskan anggaran besar untuk menanggulangi kenakalan remaja, narkoba, atau tawuran. Tapi kita lupa, akar masalahnya ada di meja makan yang sepi dari obrolan seorang bapak, ada di ruang keluarga yang hanya diisi tontonan televisi atau layar HP masing-masing, sementara sang ayah sibuk rebahan setelah lelah mencari nafkah. Uang mungkin membeli kenyamanan, tapi tidak pernah bisa membeli waktu yang hilang dan role model yang absen.

Sampai Kapan Kita Akan Menganggap Ayah Cuma Mesin Pencetak Rupiah?

Kita tidak bisa terus-menerus menyalahkan para ibu yang sudah pontang-panting mengambil alih dua peran sekaligus. Kita tidak bisa terus-menerus memaafkan para ayah hanya karena alasan klise “lelah bekerja”. Solusi radikalnya bukan cuma seminar parenting atau workshop kecil-kecilan tentang pentingnya peran ayah.

Solusi radikalnya adalah, kita harus mengubah budaya. Kita harus memaksa, melalui kesadaran kolektif dan mungkin kebijakan negara (cuti ayah yang benar-benar wajib dan lama), agar para ayah menyadari bahwa tugas mereka di dunia ini bukan hanya mencari uang, melainkan juga mencari makna dalam hidup anak-anaknya.

Para ayah, jika kalian membaca ini, renungkanlah. Kapan terakhir kali kalian benar-benar hadir, bukan hanya duduk di sofa yang sama? Kapan terakhir kali kalian mengajari anak perempuan kalian tentang etika, atau mengajari anak laki-laki kalian cara memperbaiki sesuatu? Jika jawabannya adalah lupa atau bulan lalu, maka kalian, dengan segala kesibukan kalian, adalah bagian dari masalah besar ini. Kita adalah Fatherless Nation, dan yang paling bertanggung jawab adalah bapak-bapak yang ada di rumah tapi jiwanya tertinggal di tempat kerja. Sampai kapan patung pemuja rupiah itu akan berdiri kaku di ruang tamu kita?

Want a free donation?

Click Here

Related Post

Tinggalkan komentar