Free Gift

Kiprah Ustadz Muhammad Syafiq SHI MH di Bidang Dakwah,Sebar Ilmu hingga ke Pegunungan Meratus

Sabo – Menjadi seorang dai dan berdakwah, tidak mengenal tempat. Baik di kampus pun dijalankan. Termasuk Ustadz muda Muhammad Syafiq SHI MH yang merupakan Wakil Dekan Fakultas Syariah IAI Darussalam Martapura Bidang Kemahasiswaan dan Kerja Sama serta Ketua Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH) IAI Darussalam Martapura.

Pria yang lahir di Martapura, Kalimantan Selatan, tanah kelahiran Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari ini ditengarai telah menempuh pendidikan dari pesantren (Hidayatullah, Darussalam, Muro’atul Lughoh dan madrasah Qira’ah wa Tahqiq) selama kurang lebih 12 tahun.

Kemudian, melanjutkan kuliah di Kalimantan, S1 STAI Darussalam Martapura, S2 UIN Antasari Banjarmasin pada Prodi Hukum Keluarga Islam. Kini, menempuh S3 di UIN Sultan Syarif Kasim Riau.

Dan Ustadz Syafiq menjabat Wakil Dekan Fakultas Syariah Bidang Kemahasiswaan dan Ketua LKBH di IAI Darussalam Martapura. Banyak kisah dan kenangan ketika dia berdakwah. Berikut kutipan wawancaranya.

Apa yang menginspirasi Ustadz untuk berperan aktif di masyarakat?.

Inspirasi utama adalah Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari (1710-1812) yang merantau ke Makkah 20 tahun, pulang dengan kitab Sabilal Muhtadin yang dirujuk hingga Mesir. Guru Sekumpul (1942-2005) mengajarkan, ulama sejati turun menyelesaikan persoalan umat. Menyaksikan tingginya angka perceraian dan konflik keluarga Muslim menggerakkan saya mendalami Hukum Keluarga Islam hingga doktoral. Merantau lebih 2 tahun, meninggalkan kampus dan keluarga di Kalimantan adalah pengamalan nasihat Imam Syafi’i yakni Berdiam diri bukanlah istirahat bagi pemilik akal dan adab, maka tinggalkan negerimu demi ilmu.

Apakah ada peristiwa atau pengalaman khusus yang membuat Ustadz tergerak untuk berdakwah dan menebar kebaikan?

Pengalaman mengabdi di desa-desa terpencil Kalimantan Selatan. Saya pernah mengajar di Paramasan-Banjar, Loksado-Hulu Sungai Selatan, melintasi Pegunungan Meratus, yang hanya bisa dicapai dengan kendaraan pribadi karena jarang angkutan umum, melintasi jalan sempit berbatu 2-3 jam. Di sana saya bertemu keluarga mualaf Suku Dayak Meratus yang baru memeluk Islam. Mereka belajar thaharah, salat dan puasa dengan sungguh-sungguh. Meski harus berjalan jauh ke masjid. Pengalaman serupa saya rasakan saat mengajar di Karang Intan, Aranio dan Tanahlaut. Menyaksikan masyarakat yang minim akses pendidikan Islam, namun sangat haus ilmu, membuka mata saya, ilmu harus turun ke akar rumput.

Saya juga pernah berkunjung ke Malaysia, Thailand dan Singapura. Di sana saya melihat, problem hukum keluarga Islam seperti perceraian, kekerasan rumah tangga, konflik warisan masih banyak ditemukan. Ini menguatkan tekad saya mendalami Hukum Keluarga Islam hingga doktoral untuk memberikan solusi akademis yang kokoh.

Bagaimana teladan dan nilai yang diajarkan dalam kehidupan sehari-hari?

Sebagai pengajar dan Ketua Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH) IAI Darussalam, Saya menekankan empat nilai utama.

Pertama, takhassus (spesialisasi mendalam). Berdasarkan kitab Ta’limul Muta’allim karya Al-Zarnuji, saya ajarkan mahasiswa agar menjadi sumur yang dalam, airnya jernih dan tidak mudah kering, bukan genangan dangkal yang cepat menguap.

Konsistensi saya menempuh pendidikan dari S1 hingga S3 dalam satu bidang (Hukum Keluarga Islam) adalah bukti nyata nilai ini. Saya sampaikan kepada mahasiswa: “Di era digital yang menawarkan ribuan topik, godaan untuk menjadi tahu sedikit tentang banyak hal sangat besar. Tapi Islam mengajarkan kedalaman. Imam Syafi’i menguasai hadis hingga ke level huffadz, bukan sekedar tahu nama-nama kitab hadis.

Kedua, adab kepada guru dan ilmu, merujuk pada Adabul ‘Alim wal Muta’allim karya KH Hasyim Asy’ari. Dalam setiap perkuliahan, saya ciptakan atmosfer penghormatan timbal balik. Menghargai setiap pertanyaan mahasiswa, tidak pernah meremehkan kemampuan mereka. Bahkan ketika mahasiswa bertanya hal yang menurut saya dasar, saya jawab dengan penuh kesabaran karena saya ingat bagaimana para kyai di pesantren memperlakukan saya dulu. Saya juga ajarkan bahwa menghormati guru bukan berarti tidak boleh kritis. Dalam tradisi pesantren, kami diajarkan ta’dhim (penghormatan), tetapi juga tadabbur (pemikiran mendalam). Keduanya harus seimbang.

Ketiga, integritas akademik dan spiritual. Saya tekankan kejujuran intelektual dalam riset, selalu mencantumkan rujukan yang akurat, tidak mengklaim karya orang lain, berani mengakui keterbatasan pengetahuan. Saya pernah menjawab ‘wallahu a’lam, saya belum menemukan jawaban yang memuaskan untuk pertanyaan ini’ di depan mahasiswa. Itu bukan kelemahan, tapi kejujuran.

Penuntut Ilmu sejati tahu batas ilmunya. Integritas spiritual berarti konsisten antara yang diajarkan dengan yang diamalkan jika mengajar tentang pentingnya shalat berjamaah, maka saya harus rajin ke masjid.

Keempat, kepedulian sosial konkret. Ilmu tanpa pengamalan adalah pohon tanpa buah. Melalui LKBH, saya dan tim memberikan konsultasi hukum keluarga gratis, mendampingi kasus perceraian, dan menyelesaikan konflik warisan. Ada pasangan yang hampir bercerai karena salah paham tentang hak dan kewajiban dalam Islam. Setelah konseling dan pemahaman fiqh yang benar, keluarga mereka utuh kembali.

Bagaimana cara Ustadz menanamkan nilai-nilai tersebut kepada jemaah, murid atau masyarakat?

Penanaman nilai ini saya lakukan melalui tiga pendekatan yang saling melengkapi. Pertama, Keteladanan Personal (Uswah Hasanah). Saya tidak pernah memerintahkan mahasiswa untuk rajin membaca artikel dan buku jika saya sendiri tidak melakukannya.

Seperti contoh setiap awal semester, saya membagikan daftar bacaan wajib sekaligus membuat komitmen untuk membaca buku yang sama. Kadang mahasiswa bertanya, “Ustadz sudah baca buku ini?’ Saya jawab jujur: sudah atau belum. Jika belum, saya bilang “Baik, kita baca bersama minggu ini, lalu kita diskusikan minggu depan.” Mereka melihat bahwa saya juga terus belajar.

Kedua, Pembelajaran Partisipatif dan Kontekstual, Saya menerapkan metode learning by doing. Dalam mata kuliah Hukum Keluarga Islam, saya tidak hanya mengajarkan teori dari kitab klasik. Saya bawa pendekatan kasus dengan identitas disamarkan, lalu mahasiswa diminta menganalisis apa masalahnya, bagaimana pandangan mazhab Syafi’i, Hanafi, Maliki, Hanbali, lalu solusi apa yang paling maslahat?

Saya juga menerapkan sistem peer teaching. Mahasiswa yang memahami topik tertentu dengan baik, saya minta mengajarkan temannya yang belum paham. Ini melatih mereka menjadi pengajar sekaligus menanamkan nilai berbagi ilmu, bahwa ilmu tidak boleh disimpan sendiri. Untuk menanamkan adab kepada ilmu, setiap awal semester ia mengadakan tasyakuran (doa bersama) dan membaca kitab Ta’limul Muta’allim bersama mahasiswa. Kami baca bab tentang niat menuntut ilmu, adab kepada guru, dan pentingnya konsistensi. Ini mengingatkan bahwa kuliah bukan hanya untuk IPK, tapi ibadah.

Ketiga, Mengikuti Program Pengabdian Masyarakat. Setiap semester, bersama rekan sejawat dan mahasiswa turut mengikuti program pengabdian masyarakat. Kami pergi ke desa-desa terpencil seperti Paramasan, Tanah Laut, Karang Intan, Aranio dan Loksado untuk mengajar mengaji, memberikan penyuluhan hukum keluarga Islam, membantu menyelesaikan konflik warisan secara kekeluargaan.

Bisa diceritakan contoh nyata bagaimana ajaran atau nasihat itu diterapkan?

Saya pernah berkunjung dan meneliti bagaimana kewarisan keluarga (nama samaran), seorang muallaf Suku Dayak Meratus yang memeluk Islam tahun 2018.

Masyarakat disana sangat antusias belajar, tapi tidak banyak ustadz yang mau tinggal lama di Paramasan karena medannya berat.

Saya juga pernah memberikan konseling tentang hukum berbakti kepada orang tua dalam Islam dan pentingnya silaturahmi.

 

 Saya memberikan nasehat kepada murid tentang harapan keluarganya bekerja apa saja agar anak-anak mereka bisa bersekolah/berkuliah di Martapura. Ini menunjukkan bahwa dakwah tidak hanya soal mengajarkan hukum Islam, tapi juga tentang birrul walidain (berbakti kepada orang tua).

Apa yang menjadi motivasi terbesar Ustadz berdakwah?

Motivasi terdalam Saya berpijak pada hadis Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa sallam yang artinya,”Bila manusia mati, terputus amalnya kecuali tiga: sedekah jariyah, ilmu bermanfaat, anak saleh yang mendoakan.

Setiap mahasiswa yang saya didik adalah investasi akhirat. Ketika mereka menjadi hakim, pengacara, atau konsultan keluarga yang amanah, dampaknya berlipat ganda untuk ribuan keluarga. Ini bukan sekadar meraih gelar, tetapi mempersiapkan diri menjadi “dokter” bagi keluarga Muslim modern.

Pegangan spiritual saya adalah QS. Al-Mujadilah ayat 11 yang artinya,”Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman dan berilmu). Menurut saya di era globalisasi dimana krisis keluarga Muslim meningkat, mendalami Hukum Keluarga Islam adalah amanah untuk mengangkat derajat keluarga Muslim dari kebodohan.

Apa yang menjadi inspirasi ustadz dalam berdakwah?

Dalam menjalankan dakwah, Al-Qur’an atau hadis Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam ada yang menjadi pegangan atau inspirasi dalam menjalani aktivitas dakwah dan sosial

Ayat Al-Quran yang menjadi Landasan Spritual: QS. Al-Mujadilah ayat 11 yang artinya,”Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman dan berilmu beberapa derajat.

Adapun Hadis yang menjadi yang menginspirasi yang artinya, Barangsiapa menempuh jalan mencari ilmu, Allah mudahkan jalan menuju surga. (HR. Abu Dawud). Ada juga Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya, HR Ahmad.

Ayat dan Hadis tersebut bukan sekadar motivasi akademis, tetapi panggilan spiritual. Dalam era globalisasi dimana krisis keluarga Muslim meningkatnya perceraian, kekerasan rumah tangga, konflik warisan, upaya mendalami Hukum Keluarga Islam hingga level doktoral adalah amanah untuk mengangkat derajat keluarga Muslim dari kebodohan. Bukan ambisi gelar, tetapi mempersiapkan diri menjadi dokter  bagi penyakit keluarga Muslim kontemporer.

Bagaimana pandangan Ustadz terhadap perkembangan teknologi?

Saya memanfaatkan teknologi untuk dakwah. “Syekh Arsyad menulis kitab dengan teknologi zamannya tinta dan kertas karyanya sampai ke Timur Tengah. Sekarang saya gunakan Instagram untuk konten edukasi dengan bahasa sederhana namun tetap berdasarkan dalil shahih. (lis)

Want a free donation?

Click Here

Related Post

Tinggalkan komentar