Free Gift

KLH Wajibkan Produsen Kelola Sampah Plastik Sendiri, Pelaku Usaha Mendukung

Kementerian Lingkungan Hidup (KLH)/Badan Pengendali Lingkungan Hidup (BPLH), mulai tahun ini bakal mewajibkan produsen untuk mengelola sampah plastik dari produk yang dihasilkan. Extended producer responsibility (EPR) ini diterapkan untuk menunjang target 100% sampah terkelola pada 2029.

Kewajiban EPR sebelumnya sudah tertulis dalam UU Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. Akan tetapi, prosesnya belum berjalan mulus. 

“Memang waktu itu karena situasinya (belum memungkinkan), jadi masih voluntary. Sekarang sedang kita desain peraturan atau instrumennya menjadi wajib,” kata Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq, saat ditemui setelah Rapat Konsolidasi Multipihak: Perumusan Langkah Strategis Pasca INC 5.2, di Jakarta, Kamis (21/8).

Meski begitu, Hanif menyatakan implementasinya akan dilakukan secara bertahap, “Karena ada perbankan, ada hal-hal yang harus disesuaikan,” tuturnya.

Selain untuk menangani sampah secara berkelanjutan, EPR diharapkan dapat mendorong ekonomi sirkular Indonesia. 

Beberapa perusahaan yang tergabung dalam Indonesia Packaging Recovery Organisation (IPRO) dan National Plastic Action Partnership Indonesia, mendukung kesepakatan pemberlakuan wajib EPR tingkat nasional maupun global. Berikut sejumlah pandangan mereka terkait EPR.

 

  • Unilever Indonesia

Dalam rapat konsolidasi yang sama, Nurdiana Darus,  Sustainability and Corporate Affairs Director PT Unilever Indonesia Tbk, mendukung EPR untuk stakeholders di mata rantai plastik dari hulu ke hilir.  Ia mengusulkan pendekatan multi-Producer Responsibility Organization (multi-PRO) untuk memperluas jangkauan secara geografis dan sektoral, serta diversifikasi pendekatan teknologi, model bisnis, serta investasi.

Nurdiana menambahkan, multi-PRO dapat mengurangi ketergantungan pada satu entitas dan meningkatkan efektivitas kinerja PRO dengan kompetisi yang sehat. Pendekatan tersebut juga didorong untuk diimplementasikan secara global, diregulasikan melalui global plastic treaty. Seperti yang diketahui, sebelumnya perjanjian plastik global INC 5.2 gagal mencapai konsensus penanganan sampah plastik dalam pertemuan di Jenewa, Swiss pada pekan lalu. 

 

  • Danone Indonesia

Sustainability Director Danone Indonesia, Karyanto Wibowo, menilai sudah saatnya Indonesia menerapkan pemberlakuan wajib EPR. “Voluntary itu sudah bukan opsi lagi. Jadi kita enggak akan ngomong voluntary lagi, tapi mandatory,” tuturnya dalam forum yang sama.

Pandangan ini sejalan dengan harapan perusahaan yang tergabung dalam Business Coalition for a Global Plastic Treaty.   Menurutnya, status voluntary atau sukarela membuat perusahaan sulit menentukan strategi,. “Ada perusahaan yang berkomitmen, tapi ada juga perusahaan yang mungkin masih setengah-setengah.”

 

  • Dow Indonesia

Riswan Sipayung, President Director Dow Indonesia, mendukung langkah strategis Indonesia meskipun global plastic treaty berakhir tanpa kesepakatan. Dow Indonesia sebagai perusahaan teknologi telah melakukan sejumlah inovasi.

Inovasi tersebut khususnya untuk pengemasan. “Kami ada inovasi monolayer, ini bentuk untuk memudahkan packaging recycle, untuk mendukung ekonomi sirkular Indonesia,” kata Riswan.

 

  • CCEP Indonesia

Sebagai bagian dari National Plastic Action Partnership (NPAP) Indonesia, Coca-Cola Europacific Partners (CCEP) Indonesia menyatakan sepakat dengan kewajiban EPR. 

“Melalui NPAP, sudah mendapatkan kesepakatan dari semua pemain dari hulu dan hilir untuk menjalankan EPR,” tutur Vice President Public Affairs Director CCEP Indonesia, Lucia Karina.

 

  • ADUPI 

Sebagai lembaga pendaur ulang sampah plastik, Asosiasi Daur Ulang Plastik Indonesia (ADUPI) juga mendukung berjalannya EPR dan sirkular ekonomi di Indonesia. “Kami berharap ini bisa dioptimalkan untuk mendukung program lingkungan hidup dalam mengelola polusi plastik,” tutur Ketua Umum ADUPI, Christine Halim.

Christine menjelaskan, pabrik daur ulangnya mengalami ancaman keberlangsungan, karena minimnya ketersediaan bahan dan pasar dalam negeri. Adanya EPR diharapkan dapat membuka peluang industri daur ulang secara lebih luas.

Mendengar pandangan-pandangan tersebut, Menteri LH Hanif kembali menekankan akan mendorong penanganan plastik dari produsen secara mandatory atau wajib. “NPAP ini paling tidak merepresentasikan pihak-pihak yang terlibat dalam langkah penanganan plastik,” katanya.

Hanif menambahkan, hasil konsolidasi akan disampaikan juga kepada Kementerian Perindustrian.  “Insya Allah minggu depan kami akan memfinalisasi rumusan dalam sisi pemerintah, dari NPAP ini yang akan kita dorong untuk keluar menjadi kebijakan atau instrumen di masing-masing kementerian,” jelas Hanif.

Want a free donation?

Click Here