Free Gift

Kopi Susu, Rafael, dan Menteri Koboi

Oleh: Baso Affandi, Direktur Eksekutif Barometer Suara Indonesia (BSI)

Pagi ini, kopi susu terasa manis di awal tapi pahit di akhir, seperti rasa harapan dan kekecewaan yang bersanding di kepala bangsa. Di meja kerja, berita masih berseliweran, dugaan mega korupsi, angka triliunan, puluhan artis papan atas, dan nama lama yang muncul kembali di ruang publik. Rafael Alun Trisambodo.

Sementara di layar lain, wajah baru Kementerian Keuangan muncul Purbaya Yudhi Sadewa, sang menteri baru yang disebut bertindak seperti koboi. Gerakan cepat, berani, tapi mungkin juga terlalu gesit.

Tiga hal ini, Kopi, Rafael, dan Purbaya, tiga rasa dalam satu cangkir, manis di awal, hangat di tengah, dan pahit di ujung.

Rafael, Jejak Pahit Sistem Lama

Kita tak bisa tutup mata, kasus Rafael adalah luka terbuka di tubuh bangsa. Mantan pejabat tinggi Direktorat Jenderal Pajak itu telah divonis 14 tahun penjara karena gratifikasi dan pencucian uang senilai Rp 18,9 miliar. Ia bukan sekadar satu nama, ia simbol dari sistem yang bocor pelan tapi dalam.

Pada tataran ini, masyarakat mulai menebak-nebak, kalau yang terlihat seperti ini, bagaimana yang belum? Lalu datanglah kabar viral, Rp 3.000 triliun dan 25 artis papan atas.

Angka yang menggetarkan jantung dan mengguncang logika. Tapi sejauh ini, belum ada satu pun lembaga hukum yang mengkonfirmasi angka fantastis itu. Tidak ada dokumen resmi, tidak ada sidang terbuka, tidak ada bukti publik.

Maka, di titik ini, kabar itu masih tergolong spekulasi, meski masyarakat mungkin merasa, kalau bukan ini, pasti ada yang lain. Karena ketika kepercayaan publik sudah retak, bahkan gosip pun bisa terdengar seperti kebenaran.

Purbaya, “Koboi” di Meja Keuangan Negara

Lalu datanglah Purbaya, menteri baru yang disebut tampil bak “koboi”. Ia baru saja menggantikan Sri Mulyani, dan belum lama menjabat, sudah mengguncang sistem lama, membersihkan jajaran pajak dan bea cukai, mengutak-atik struktur anggaran, mempercepat putaran dana publik.

Gaya koboi di sini tentu metaforis dan cepat menarik pelatuk kebijakan, berani menembus kebuntuan birokrasi, tapi kadang sebelum semua orang sempat menunduk.

Langkah seperti ini bisa jadi penyelamat, tetapi bisa juga berisiko jika kecepatan tidak diimbangi transparansi dan kontrol.

Karena dalam sistem keuangan negara, setiap keputusan adalah rantai panjang dari pegawai lapangan hingga otoritas fiskal, dari rapat kabinet hingga lembar APBN. Satu tarikan cepat tanpa sinkronisasi bisa mengguncang banyak meja.

Purbaya mungkin sedang mencoba membalikkan arah kapal besar yang terlalu lama berjalan lambat. Tapi membalik arah bukan berarti menabrak.

Kopi, Koboi, dan Kepercayaan

Saya menyeruput kopi susu yang mulai dingin. Di dasar cangkirnya, ada ampas yang menebal seperti residu kepercayaan yang menumpuk di dada masyarakat.

Kita sudah terlalu sering mendengar janji reformasi birokrasi, tapi di lapangan masih saja ada celah yang memungkinkan “Rafael-Rafael lain” tumbuh dengan tenang di dalam sistem.

Di sisi lain, kita juga melihat menteri baru dengan energi baru, tegas, cepat, dan tampak berani menantang tradisi lama. Tapi, secepat apa pun peluru ditembakkan, kalau sasarannya kabur, pelurunya hanya memantul.

Kita tidak butuh koboi yang menembak tanpa arah, kita butuh sherif yang menegakkan aturan, menjaga ritme, dan memastikan tak ada peluru yang nyasar ke rakyat kecil.

Fakta & Imajinasi

Rafael adalah fakta

Klaim Rp 3.000 triliun adalah imajinasi publik yang lahir dari frustrasi kolektif. Dan Purbaya adalah harapan baru yang kini sedang diuji oleh fakta dan imajinasi itu sekaligus.

Ia akan dinilai bukan dari berapa cepat ia bertindak, tapi dari seberapa dalam ia membenahi sistem yang memungkinkan korupsi terjadi.

Apakah ia mampu menertibkan, bukan sekadar mengguncang? Apakah ia bisa menumbuhkan kembali rasa percaya, bukan sekadar membuat berita besar?

Ampas di dasar gelas

Perlahan kopi menipis, di dasar gelas tinggal sedikit cairan berwarna coklat pekat, pahit dan kental.

Begitulah rasanya melihat negeri ini, manis di awal, pahit di ujung, tapi tetap membuat kita ingin meneguk lagi, berharap kali ini rasanya lebih baik.

Mungkin, seperti kopi, bangsa ini sedang dalam proses diseduh ulang.

Purbaya dengan gayanya yang cepat, Rafael dengan kisah getirnya, dan kita sebagai rakyat yang terus menonton sambil menunggu aroma keadilan benar-benar tercium.

Saat kopi terasa manis dari awal hingga akhir, mungkin itulah tanda bahwa sistem sudah benar-benar bersih, bukan karena koboi menembak cepat, tapi karena sherif menjaga dengan sabar.

Kita hidup di zaman ketika kabar bisa mendahului bukti, dan rumor bisa lebih dipercaya daripada laporan resmi. Tapi di tengah kabut ini, satu hal tetap sama, yakni kepercayaan adalah mata uang paling berharga di negeri ini.

Ia tak bisa dicetak oleh kebijakan, tak bisa dipungut lewat pajak, dan tak bisa dibeli dengan triliunan rupiah.

Ia hanya bisa tumbuh meski perpelan, tapi pasti dari kejujuran, transparansi, dan keberanian untuk mengakui bahwa pahitnya kopi pagi ini memang hasil dari gula yang terlalu sering disembunyikan.

Semoga Bangsa ini cepat sehat dan bangkit dari keterpurukan.***

Want a free donation?

Click Here

Related Post

Tinggalkan komentar