JAKARTA, Sabo — Sembilan tahun lalu, publik Jakarta pernah digegerkan oleh temuan ratusan makam fiktif di sejumlah Tempat Pemakaman Umum (TPU).
Kala itu, banyak warga yang memesan lahan makam sebelum waktunya dengan alasan takut keburu habis.
Kini, kekhawatiran itu seolah menjadi kenyataan.
Dinas Pertamanan dan Hutan (Distamhut) Jakarta memprediksi ketersediaan lahan pemakaman di Ibu Kota hanya akan bertahan tiga tahun lagi.
Kepala Distamhut DKI Jakarta, Fajar Sauri, menyebutkan saat ini tersisa sekitar 118.348 petak makam di seluruh wilayah Jakarta.
“Dengan pelayanan rata-rata 100 jenazah per hari, kapasitas tersebut akan habis dalam waktu tiga tahun,” ujar Fajar saat dikonfirmasi, Rabu (22/10/2025).
Dari total 80 TPU di Jakarta, sebanyak 69 lokasi sudah penuh dan kini hanya melayani sistem makam tumpang, di mana satu liang menjadi tempat peristirahatan beberapa anggota keluarga.
“Pelayanan makam tumpang dilakukan dengan makam keluarga,” lanjut Fajar.
Keterbatasan dan penolakan warga
Upaya memperluas lahan pemakaman pun tak mudah.
Pemerintah kerap berhadapan dengan penolakan warga sekitar setiap kali lahan baru direncanakan.
Hingga kini, hanya 11 TPU yang masih bisa menerima jenazah baru, seperti Rawa Terate, Cipayung, Cilangkap, Bambu Apus, Rorotan, Cipinang Besar, Tanah Kusir, Srengseng Sawah, Kampung Kandang, dan Tegal Alur.
Pemprov DKI juga tengah mematangkan TPU Pegadungan di Jakarta Barat seluas 65 hektar yang kini dalam tahap pengurugan.
Namun, di tengah laju kematian dan kepadatan penduduk, tambahan lahan itu belum cukup untuk menjawab kebutuhan jangka panjang.
Usulan solusi: Pemakaman bertingkat
Gubernur Jakarta Pramono Anung mengakui sebagian besar TPU, terutama di Jakarta Selatan, telah penuh.
Pemprov kini tengah mengkaji berbagai opsi—mulai dari pemakaman bertingkat hingga pembangunan TPU di luar wilayah Jakarta.
“Memang ini sekarang menjadi masalah dan sedang dikaji. Ada usulan, tapi belum menjadi keputusan, apakah diperbolehkan dilakukan pemakaman bertingkat,” kata Pramono, Selasa (21/10/2025).
Ia menambahkan, Jakarta sebagai kota padat penduduk menghadapi tantangan serius dalam menyediakan ruang publik, termasuk untuk kebutuhan yang paling dasar: tempat peristirahatan terakhir.
“Beberapa mengusulkan untuk membuat pemakaman di luar Jakarta. Sekarang sedang kami pikirkan, dan sebentar lagi akan saya putuskan,” ujarnya.
Mengingat kasus makam fiktif 2016
Fenomena kelangkaan lahan makam ini seakan mengulang kekhawatiran lama.
Pada 2016, publik Jakarta dihebohkan oleh temuan 522 makam fiktif di 16 TPU, beberapa di antaranya di TPU Karet Bivak, Karet Pasar Baru, Kawi-kawi, dan Pondok Ranggon.
Gubernur DKI kala itu, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), menyebut banyak warga “memesan” lahan lebih awal karena takut tak kebagian tempat.
“Banyak sekali makam fiktif. Jadi kalau ada batu nisan segala macam, belum tentu ada isinya. Karena ada yang nyogok, ditaruh di depan,” kata Ahok di Balai Kota, Kamis, 9 Juni 20216.
Dinas Pertamanan dan Pemakaman DKI saat itu menemukan praktik “penandaan” lahan kosong dengan nisan palsu agar tampak sudah terisi.
Kepala dinasnya kala itu, Djafar Muchlisin, mengatakan praktik makam palsu sudah berlangsung sejak lama.
Bahkan dia menduga praktik makam palsu ini sudah berlangsung puluhan tahun.
kemungkinan oknum yang terlibat dalam praktik ini adalah petugas di level bawah sampai pimpinan tingkat SKPD.
“Kita akan mencoba kalau seperti ini, diindiikasi ada keterlibatan mulai terbawah sampai ke atas, sampai dengan pimpinan,” ujar Djafar pada Selasa, 26 Juli 2026.
Adapun makam di DKI Jakarta tidak boleh dipesan oleh orang yang masih hidup untuk digunakan saat dia meninggal.
Aturan tersebut tercantum pada Pasal 37 Perda Nomor 3 Tahun 2007 tentang pemakaman, yakni makam hanya diperuntukan bagi jenazah atau kerangka dan tidak diperbolehkan untuk pesanan persediaan bagi orang yang belum meninggal dunia.
Khawatiran yang jadi kenyataan
Kini, sembilan tahun berselang, kekhawatiran yang dulu hanya melahirkan makam fiktif benar-benar di depan mata.
Ketersediaan lahan menyusut cepat, sementara kota ini belum memiliki sistem pengelolaan makam modern yang efisien.
Jika pada 2016 warga rela “menandai” tanah kosong demi menjamin tempat terakhir, maka pada 2025, pertanyaannya jauh lebih mendesak, ke mana lagi warga Jakarta akan dimakamkan?.






