Free Gift

Krisis Pasokan Kakao, Pabrik Lokal Bertumbangan

Sabo, JAKARTA – Krisis pasokan bahan baku di tengah lonjakan harga biji kakao dunia membuat industri pengolahan kakao domestik bertumbangan.

Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mengungkap sebanyak sembilan industri pengolahan kakao nasional tutup karena kekurangan bahan baku. Saat ini, hanya ada 11 industri pengolahan kakao yang beroperasi, termasuk pelaku bean to bar dan produsen cokelat artisan.

“Ketersediaan bahan baku yang sangat-sangat kurang telah tutup 9 [industri pengolahan],” ungkap Staf Direktorat Jenderal Industri Agro Kemenperin Riris Marito dalam acara Peringatan Hari Kakao Indonesia 2025 bertajuk Penguatan Sektor Hulu Untuk Memperkokoh Hilirisasi Kakao Indonesia, Jakarta, Kamis (23/10/2025).

Menurut Riris, gejolak harga biji kakao dunia yang melonjak sejak tahun lalu turut memperparah tekanan terhadap industri nasional. Harga yang tinggi membuat pelaku industri sulit melakukan impor bahan baku.

Adapun, harga biji kakao sejak 2023 meningkat dari sekitar US$2.500 per ton hingga mencapai US$11.000 per ton. Kini, harganya berada di kisaran US$7.000–8.000 per ton.

“Memang kondisinya kan sejak tahun kemarin anomali ya, terjadi peningkatan harga biji kakao dunia dan Indonesia pastinya ikut juga terdampak dengan peningkatan tersebut,” katanya.

Riris menjelaskan, pasokan biji kakao masih jauh dari mencukupi kebutuhan industri pengolahan di dalam negeri. Pada 2023, saat harga biji kakao global masih stabil, industri masih bisa memenuhi sekitar 55% kebutuhan melalui impor. Namun, lonjakan harga global membuat impor turun signifikan.

“Namun, dengan harga biji [kakao] yang tiba-tiba naik di dunia dan memang kita masih harus melakukan impor biji, kita mengurangi impor biji dan meningkatkan ketersediaan bahan baku di dalam negeri,” tuturnya.

Menurutnya, kondisi ini justru membuka peluang besar bagi petani kakao domestik untuk meningkatkan pasokan bahan baku bagi industri nasional.

Ketergantungan Impor

Adapun, Indonesia saat ini menjadi pemasok olahan kakao terbesar keempat di dunia, sedangkan untuk biji kakao mentah masih berada di peringkat ketujuh dunia. Meski demikian, Indonesia juga masih bergantung pada impor.

Kementerian Koordinator Bidang Pangan (Kemenko Pangan) mencatat Indonesia masih mengimpor 157.000 ton biji kakao pada 2024.

Deputi Bidang Koordinasi Usaha dan Pertanian Kemenko Bidang Pangan Widiastuti mengatakan, produksi kakao Indonesia menurut data International Cocoa Organization (ICCO) 2025 hanya mencapai 200.000 ton per tahun. Padahal, pada 2005–2006, produksinya mampu mencapai sekitar 590.000 ton.

Penurunan produksi kakao dalam negeri disebabkan perubahan iklim hingga pohon kakao yang sudah tua alias harus dilakukan replanting. Anjloknya produksi kakao dalam negeri berdampak pada meningkatnya ketergantungan Indonesia terhadap impor bahan baku kakao.

“Penurunan ini mengakibatkan Indonesia harus impor biji kakao untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri grinding di dalam negeri,” kata Widiastuti.

Data menunjukkan Indonesia menjadi negara produsen biji kakao terbesar ketujuh di dunia yang mencapai 180.000 ton. Perinciannya 99,6% berasal dari kebun kakao rakyat, sedangkan sisanya dari perkebunan negara dan swasta.

Di sisi lain, permintaan konsumsi dalam negeri terus meningkat. Konsumsi kakao dalam negeri mencapai 70,9 gram per kapita pada 2022, naik 38% dibandingkan 2002. Sementara itu, kapasitas olah industri dalam negeri sebanyak 710.000 ton.

Widiastuti juga menyampaikan, produktivitas rata-rata kakao di Indonesia baru mencapai 230 kilogram per hektare.

Produktivitas ini dapat meningkat menjadi 500 kilogram per hektare dan produksi nasional mencapai 438.000 ton, apabila industri menerapkan good agricultural practices (GAP).

Lebih lanjut, jika praktik GAP dijalankan secara berkelanjutan dalam 1 tahun, produktivitas dapat naik menjadi 800 kilogram per hektare dan produksi nasional dapat mencapai 700.000 ton. Capaian ini membuat posisi Indonesia menjadi produsen kakao terbesar kedua di dunia.

Adapun, luas lahan kakao Indonesla saat ini sekitar 1,4 juta hektare, dengan sekitar 290.383 hektare di antaranya berupa tanaman tidak menghasilkan atau rusak. Dengan kebutuhan sekitar 1.000 bibit kakao, maka diperlukan 290 juta bibit kakao untuk melakukan peremajaan lahan.

“Dan untuk itu kita harus bisa mengembalikan kejayaan dari kakao Indonesia dan siap menghadapi tantangan dalam pengembangan kakao, antara lain perubahan iklim, serangan hama, adanya penyakit, lalu usia tanaman yang saat ini sudah masuk masa tua, dan keterbatasan yang masih terbatas,” tuturnya.

Opsi Dana MBG untuk Peremajaan Kakao

Untuk memperkuat sektor hulu perkebunan dan meningkatkan produktivitas tanaman yang telah menurun akibat faktor usia, program peremajaan menjadi keniscayaan.

Kemenko Pangan pun mengusulkan dana Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang tidak terserap dialihkan untuk mendukung program peremajaan sejumlah komoditas perkebunan, termasuk kakao dan kelapa.

“… bagaimana untuk pemberdayaan, karena tanaman juga sudah tua. Itu juga banyak yang kita coba lakukan dan kita petakan, termasuk dana MBG yang tidak terserap, itu akan dipergunakan untuk mendukung peremajaan dari tanaman atau komoditi yang optimal atau yang premium,” kata Widiastuti.

Namun, Widiastuti menyebut pembahasan terkait persetujuan penggunaan dana MBG masih berlangsung dan belum final.

“Jadi kalau melihat keputusannya kita juga belum melihat,” ujarnya.

Kendati demikian, Widiastuti menerangkan program replanting akan difokuskan pada komoditas yang paling membutuhkan peremajaan, seperti kakao dan kelapa. Selain itu, pemerintah juga tengah memetakan dukungan kebijakan untuk komoditas lain, termasuk singkong.

“Kalau yang kondisinya memang butuh peremajaan, akan disegerakan. Kebetulan, contohnya kayak kakao, iya. Kelapa, iya. Yang kita tangani juga bukan hanya di-replanting, tapi yang lainnya juga kayak permasalahan, tadi ada singkong, ini butuh sisi lartas, itu juga kita lakukan,” terangnya.

Sementara itu, Kementerian Pertanian (Kementan) bakal melakukan peremajaan atau replanting tanaman kakao nasional seluas 248.500 hektare hingga 2027. Mayoritas program ini didanai dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Ketua Kelompok Tanaman Perkebunan Kementan Yakub Ginting mengatakan, program peremajaan ini dilakukan untuk meningkatkan produksi dan produktivitas biji kakao dalam negeri.

Secara terperinci, target replanting kakao sebesar 248.500 hektare hingga 2027 itu mencakup 4.266 hektare pada 2025, 175.500 hektare pada 2026, dan 68.734 hektare pada 2027. Totalnya, mencapai 248.500 hektare.

Menurutnya, program hilirisasi kakao hampir menutupi seluruh lahan kakao rusak nasional yang mencapai 290.000 hektare.

Nantinya, program peremajaan kakao ini akan menggunakan APBN dan skema Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) yang tengah disiapkan regulasinya.

“Di tahun 2027 itu target kami semua clear, karena 248.000 [hektare sampai 2027] sudah dilakukan mulai tahun ini,” kata Yakub.

Yakub merincikan, kebutuhan total per hektare termasuk biaya bibit, pupuk awal, hingga perawatan mencapai sekitar Rp30 juta. Namun, dukungan pemerintah melalui APBN difokuskan pada pengadaan bibit dan biaya tanam sebagai stimulan bagi petani.

Adapun, pembiayaan APBN menjadi prioritas karena sudah berjalan lebih dulu. Nantinya, penerima bantuan dari APBN nantinya tidak boleh lagi menerima pendanaan dari BPDP.

“Jadi nanti kalau yang sudah dapet APBN tidak bisa mendapat BPDP. Enggak boleh dua dong, sumber pembiayaan dua. Tapi ini kan biar makin luas, makin banyak,” jelasnya.

Lebih lanjut, Yakub menyampaikan sisa lahan kakao yang rusak akan dibiayai melalui pendanaan BPDP setelah regulasi Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) rampung.

“Mudah-mudahan dalam waktu singkat sudah bisa keluar Permentannya dan kita tindaklanjuti dengan Perdirjen,” terangnya.

Berdasarkan data Kementan, total luas area kakao nasional saat ini mencapai 1,3 juta hektare, terdiri atas 890.000 hektare tanaman menghasilkan, 212.000 hektare tanaman belum menghasilkan, dan 290.000 hektare tanaman rusak.

Dari luas tersebut, Yakub menyampaikan bawah 60% area kakao dalam negeri berada di empat provinsi di Sulawesi, yakni Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Barat.

Pada 2023, ungkap dia, produksi kakao Indonesia mencapai 632.117 ton. Namun, produktivitasnya terus menurun seiring peralihan petani ke komoditas lain seperti sawit dan tanaman pangan yang lebih cepat menghasilkan.

Selain itu, Indonesia juga masih mengimpor bahan baku kakao fermentasi, terutama untuk kebutuhan industri dalam negeri.

“Yang diimpor itu kan fermentasi. Fermentasinya masih kurang. Kita ekspornya biji, ada yang fermentasi juga. Jadi pertukaran perdagangan lah. Ada yang ke Amerika, ada yang ke Eropa,” ungkapnya.

Dia menyatakan, pemerintah berkomitmen memperkuat produktivitas dan kualitas kakao nasional. Dengan harga bibit Rp13.000 per batang dan kebutuhan 1.000 batang per hektare, nilai bisnis replanting kakao dari APBN ini bisa mencapai menyentuh angka triliunan.

“Ini nilai bisnisnya itu sangat besar sekali. Dikali Rp13.000 harganya, berapa triliun itu? Ini kalau Bapak Ibu tidak bersiap, apalagi yang harus kami sampaikan begitu untuk mendukung kakao kita,” ujarnya.

Di samping itu, tambah dia, pemerintah juga telah menyiapkan pupuk subsidi untuk kakao dan harganya sudah diturunkan.

“Pupuk subsidi sudah disiapkan, dana untuk benih disiapkan. Nah apalagi? Ini pupuknya juga kemarin Pak Mentan sudah menurunkan harganya. Nah ini udah enak sekali gitu loh untuk petani kakao,” pungkasnya.

Want a free donation?

Click Here

Related Post

Tinggalkan komentar