Sabo.PRMN – Pendidikan adalah denyut nadi kemajuan bangsa. Ia bukan sekadar proses transfer ilmu, melainkan perjuangan untuk menumbuhkan nalar, empati, dan karakter manusia. Di tengah derasnya arus disrupsi digital, kemampuan literasi menjadi kunci utama agar generasi muda Indonesia mampu berpikir kritis dan berdaya saing global.
Namun, literasi bukan hanya urusan siswa. Guru adalah pusat dari segalanya. Mereka adalah penuntun dan penggerak utama yang menentukan arah kualitas pembelajaran. Karena itu, peningkatan kapasitas guru menjadi kebutuhan mendesak dalam ekosistem pendidikan yang terus berubah.
Kini, secercah harapan muncul melalui Program Pelatihan Teknis Literacy, Teaching, Reading, and Writing yang digagas oleh Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah bersama Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP). Program ini bukan sekadar pelatihan, tetapi langkah strategis menuju transformasi pendidikan Indonesia yang lebih literat, kreatif, dan berkelas dunia.
Pelatihan Eksklusif dengan Standar Internasional
Selama enam hari pelatihan intensif, para guru peserta program akan mendapatkan kesempatan langka mengikuti microcredential bersama Cambridge University, United Kingdom. Pelatihan semacam ini jarang diakses secara luas karena biasanya hanya tersedia dalam program pendidikan internasional berbiaya tinggi.
Melalui pendekatan Teaching, Reading, and Writing, peserta diajak untuk memahami kembali esensi literasi sebagai fondasi berpikir manusia. Guru tidak hanya dilatih mengajar membaca atau menulis, tetapi juga mengintegrasikan literasi dalam berbagai disiplin ilmu — mulai dari sains, matematika, hingga ilmu sosial.
Lebih dari sekadar teori, pelatihan ini menekankan praktik nyata di ruang kelas: bagaimana membangun budaya baca, menumbuhkan rasa ingin tahu siswa, serta menciptakan atmosfer belajar yang menginspirasi. Di sinilah titik pentingnya — menjadikan guru bukan sekadar pengajar, tetapi penggerak peradaban literasi bangsa.
Mengapa Program Ini Penting bagi Pendidikan Indonesia
Tantangan literasi di Indonesia masih menjadi pekerjaan rumah besar. Berdasarkan hasil survei internasional PISA (Programme for International Student Assessment), kemampuan membaca siswa Indonesia masih di bawah rata-rata negara-negara anggota OECD. Angka ini menunjukkan bahwa banyak siswa belum terbiasa memahami makna bacaan secara mendalam, apalagi mengaitkannya dengan konteks kehidupan sehari-hari.
Kondisi tersebut memperlihatkan bahwa literasi bukan hanya persoalan kognitif, tetapi juga kultural. Guru membutuhkan dukungan nyata agar dapat membangun proses pembelajaran berbasis literasi yang relevan dan kontekstual. Di sinilah program ini hadir sebagai solusi konkret — memperkuat kapasitas guru agar mereka mampu menjadi agen perubahan di ruang kelas.
Melalui pendekatan berbasis praktik, para peserta akan dibimbing oleh pakar literasi nasional dan internasional untuk menerapkan metode pengajaran yang berpusat pada siswa. Dampaknya diharapkan menular secara luas: dari guru yang tercerahkan menuju siswa yang cerdas membaca dunia.
Kolaborasi Strategis antara Pemerintah dan LPDP
Salah satu keunggulan dari program ini terletak pada kolaborasi lintas lembaga antara Kemendikdasmen dan LPDP. LPDP tidak hanya menyediakan dukungan pendanaan, tetapi juga memastikan kualitas pelatihan setara dengan standar internasional.
Model pelatihan ini menjadi contoh nyata bagaimana sinergi antara kebijakan publik, pendanaan pendidikan, dan kompetensi akademik dapat melahirkan perubahan yang berkelanjutan. Dengan memperkuat kemampuan guru dalam literasi, Indonesia sedang menyiapkan generasi pendidik yang mampu beradaptasi dan berinovasi di tengah dunia yang terus bergerak cepat.
Membangun Generasi Literat, Membangun Bangsa
Pendidikan sejati, seperti kata Ki Hadjar Dewantara, adalah proses menuntun segala kekuatan kodrat anak agar mereka menjadi manusia seutuhnya. Program pelatihan literasi ini merupakan bentuk nyata dari filosofi itu — menuntun guru agar dapat menuntun siswa dengan lebih baik.
Ketika guru memahami literasi sebagai cara berpikir, bukan sekadar kemampuan membaca, maka ruang kelas akan berubah menjadi tempat dialog dan penemuan makna. Dari sinilah lahir generasi yang tidak hanya pintar membaca teks, tetapi juga mampu membaca realitas dan menulis masa depannya sendiri.
Dengan guru yang literat, Indonesia akan memiliki murid yang tidak hanya cerdas secara akademik, tetapi juga mampu berpikir kritis, berempati, dan berdaya cipta. Inilah arah baru pendidikan kita — pendidikan yang menumbuhkan manusia, bukan sekadar menghasilkan angka.***(Lisyah)






