JURNAL SOREANG – Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (Badan Bahasa) Kemendikdasmen resmi membuka Seminar Leksikografi Indonesia (SLI) ke-8 di Jakarta, belum lama ini.
Tahun ini, seminar tahunan tersebut mengangkat tema “Leksikografi dan Kecerdasan Artifisial” sebagai respons atas dinamika baru dalam penyusunan kamus di era digital.
Kegiatan yang diikuti oleh 120 peserta terpilih ini diharapkan menjadi tonggak penting dalam memperkuat fondasi perkamusan Indonesia yang adaptif terhadap teknologi.
Kegiatan dibuka secara resmi oleh Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (Badan Bahasa), Hafidz Muksin, yang menekankan bahwa peran kamus tidak bisa dipisahkan dari sejarah perjuangan dan masa depan bahasa Indonesia.
Menurutnya, dengan meluasnya penggunaan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang tercatat lebih dari 305 juta pencarian daring, kini tugas menjaga kualitas dan keberlanjutan kamus menjadi makin krusial.
Walau pencarian di KBBI sudah sangat masif, namun masih ada masyarakat yang belum memahami arti istilah tertentu dengan benar walaupun sering digunakan. Upaya sosialisasi istilah-istilah baru perlu dilakukan melalui berbagai media yang mudah diakses dan dipahami.
Dalam konteks perkembangan teknologi mutakhir, Hafidz menyoroti pentingnya pemanfaatan kecerdasan artifisial (artificial intelligence/AI) secara etis dan adaptif dalam pengembangan kamus.
Ia mengingatkan bahwa AI bukan hanya alat bantu, tetapi juga medium yang bisa menyebarkan kata-kata yang positif yang dibangun bersama.
“Etika dalam berbahasa itu penting, kata dalam KBBI bersumber dari kita. Maka KBBI harus mampu menjadi rujukan utama bagi sistem AI. Jangan sampai kosakata yang tidak santun dan tidak sesuai nilai budaya Indonesia justru menjadi yang paling mudah ditemukan melalui AI,” ungkap Hafidz.
Ia pun mencontohkan potensi teknologi dalam menyajikan data lintas bahasa.
“Bayangkan jika anak muda ingin mencari padanan kata ‘saya’ dalam sepuluh bahasa daerah, lalu AI secara langsung menampilkan kosakata tersebut lengkap dengan suara penutur asli. Ini adalah ruang kreativitas luar biasa yang harus kita pelajari dan manfaatkan,” ujar Hafidz antusias.
Meski demikian, ia juga mengingatkan adanya dilema linguistik di era digital. Kosakata baru yang muncul dari komunitas daring atau media sosial perlu disaring sebelum masuk ke ruang formal.
“Validitas, kesantunan, dan keterwakilan budaya menjadi parameter penting agar KBBI tetap menjadi acuan utama dalam ruang publik yang sehat dan beradab,” tegasnya.
Selain memaparkan capaian dan tantangan yang dihadapi, Hafidz juga mengungkapkan rencana strategis jangka panjang.
Badan Bahasa akan menjalin kerja sama internasional dengan universitas ternama seperti Leiden University, dan berbagai perguruan tinggi di Australia untuk memperkuat kapasitas S2 dan S3 dalam bidang linguistik, leksikografi, dan kajian kebahasaan lainnya.
Ia juga akan membuka ruang kolaborasi dengan perguruan tinggi dalam negeri melalui program magang selama satu semester di Badan Bahasa untuk mendalami praktik perkamusan dan peristilahan.
Kegiatan ini sekaligus menjadi refleksi menjelang peringatan 80 tahun kemerdekaan Indonesia. Hafidz berharap para peserta dapat menyumbangkan pemikiran kritis dan strategis tentang bagaimana bahasa Indonesia mampu terus berkontribusi terhadap semangat kemerdekaan dan kedaulatan bangsa.
Ia juga memotivasi peserta untuk terus menjaga eksistensi dan perkembangan bahasa Indonesia, terutama dalam konteks pemanfaatan kecerdasan arifisial.
Dalam kesempatan yang sama, Dewi Puspita, Widyabasa Ahli Madya, mengungkapkan bahwa dalam seminar tahun ini antusiasme peserta sangat tinggi. Tercatat lebih dari 200 peserta mendaftar, dengan 60 makalah yang diterima dan 28 makalah terpilih untuk dipresentasikan.
“Kami sangat mengapresiasi antusiasmen peserta yang mendaftar, namun kami belum bisa menyelenggarakan secara hibdira, guna menjaga kualitas diskusi, karena dunia perkamusan memerlukan keahlian dan konsentrasi khusus,” kata Dewi saat melaporkan acara tersebut.
Tema yang diangkat, “Leksikografi dan Kecerdasan Artifisial”, dielaborasi dalam lima subtema besar, mulai dari kebijakan leksikografi Indonesia, pengembangan sistem manajemen kamus, kamus multilingual, keterkaitan dengan data science, hingga isu-isu terminologi kontemporer. ***