Sabo– Vino G. Bastian dan Anya Geraldine membahas makna mendalam di balik film ‘Shutter’, yang tidak hanya menampilkan kisah horor, tetapi juga mengangkat isu pelecehan seksual di lingkungan kampus.
Hal itu disampaikan Vino G. Bastian dan Anya Geraldine dalam podcast yang ditayangkan di kanal YouTube @Comic 8 Revolution melalui program Bicara Sara Wijayanto berjudul ‘SHOCK!! VINO G. BASTIAN & ANYA GERALDINE AKHIRNYA SPEAK UP’.
Sara Wijayanto menyebutkan bahwa film ini memiliki pesan sosial yang kuat. “Nah, ini di film ini juga kan tadi ngangkat isu pelecehan seksual di kampus ya. Ini pesannya sebenarnya bagus ya karena mudah-mudahan jadi pesan yang baik, jadi warning juga,” ujar sara.
Ia menambahkan bahwa riset yang dilakukan tim film menemukan banyak kasus kekerasan terhadap perempuan justru terjadi di dunia pendidikan.
“Dari riset yang kita lakuin, dari tim yang kita lakuin di Indonesia, mayoritas kekerasan terhadap perempuan itu baik yang seksual maupun verbal banyak terjadi justru di dunia pendidikan, di dunia kampus,” ungkapnya.
Vino juga menjelaskan bahwa film ini tidak hanya menjual ketakutan, tetapi juga memiliki pesan penting bagi masyarakat.
“Kalau gua baca dari 90-an kasus, sekitar 40-an sampai 50-an itu terjadinya di dunia kampus. Dan tanpa disadari film ini mengangkat itu. Jadi film ini bukan cuma kita jualan horor doang, bukan cuma jualan remake dari satu film horor yang besar. Tapi kita butuh ini buat kita suarain, biar enggak lagi terjadi hal-hal kayak gini di dunia pendidikan kita,” tuturnya.
Sementara itu, Anya Geraldine juga menyoroti relevansi film ‘Shutter’ dengan realitas sosial yang sering dihadapi perempuan.
“Kalau boleh balik lagi ke topik pelecehan tadi tuh ya, Kak. Menurut aku juga Shutter versi Indonesianya itu kan ada topik yang diangkat tentang pelecehan, di manapun lah, di kampus mungkin, di lingkungan kerja, atau di mana. Menurut aku itu sebenarnya relatable banget,” ucap Anya.
Dalam kesempatan yang sama, Anya secara terbuka menceritakan pengalaman pribadinya yang selama ini dipendam. Ia mengaku pernah mengalami pelecehan seksual saat masih duduk di bangku SMP sekitar kelas 2 dan 3.
“Aku tuh dulu di rumah sendirian karena mama kerja, pembantu lagi pulang kampung, adik lagi sekolah sama mbak ku yang satu lagi. Aku punya satu tetangga, tetanggaku ini kerja di rumah itu. Tapi dia bekerja disitu dengan anaknya dan istrinya yang juga kerja di situ. Terus aku tuh dulu punya kucing di rumah, kucingku nih suka nakal, suka keluar-keluar gitu,” ujarnya.
“Nah tiba-tiba pas aku udah pulang sekolah, lagi nyantai di kasur, aku tiduran pakai daster, ya terserah dong, kan dirumah nggak ada orang, terus tiba-tiba ada cowo, mas-mas yang penjaga itu yg kerja ditetangga, dia tiba-tiba buka pintu kamar aku. Padahal rumahku dikunci,” tambahnya.
Anya mengungkapkan pelaku berpura-pura datang untuk mengembalikan kucing peliharaannya yang sempat keluar rumah. Namun, suasana berubah ketika pelaku tiba-tiba duduk di pinggir kasur dan mulai berbicara dengan nada aneh.
“Dia ngomong, ‘Aku tuh sebenarnya pengin ngobrol deh sama Anyanya. Kenapa sih Anyanya sekarang udah jarang ngaji? Perasaan dulu kalau di rumah seminggu bisa tiga kali ngaji kan’,” cerita Anya. Ia mengaku sempat syok dan hanya bisa diam saat itu.
Situasi semakin menegangkan ketika pelaku mencoba mendekat. “Dia bilang, ‘Eh, sebenarnya aku mau ngomong lagi, sini deh aku bisikin’. Nah, pas udah kayak gitu tuh aku enggak tahu reflek gimana, aku teriak, ‘Keluar! Keluar!’ Aku teriak kencang banget,” ujarnya.
Anya mengatakan pelaku panik dan langsung keluar rumah, sementara dirinya menangis ketakutan dan segera menelpon ibunya. Sang ibu pun segera pulang dan malam harinya mereka melapor ke Pak RT setempat.
“Akhirnya kita lapor Pak RT sama satpam-satpamnya itu. Malamnya kita kumpul di ruang tamu, ada Pak RT, ada dua atau tiga security, pelaku, istrinya, mama aku, dan pacarku,” tutur Anya.
Dalam pertemuan itu, pelaku mengaku bersalah dan menyebut dirinya khilaf. “Dia bilang, ‘Saya juga enggak tahu saya ngapain, mungkin saya khilaf’. Tapi istrinya nggak percaya, dia bilang, ‘Nggak mungkin suami saya kayak gitu’,” lanjutnya.
Meski keluarga dan orang sekitar mendorong agar kasus itu dilaporkan ke polisi, Anya memilih untuk tidak melanjutkannya.
“Aku mikir lagi, ni anaknya juga cewek lagi. Terus aku kayak mikir, yaudah gini aja deh, karena gue gak mau ni orang entar kenapa-kenapa, mungkin masuk penjara lalu anaknya dan istrinya hidupnya susah karena ini semua,” ujarnya.
Anya mengaku berpikir seperti itu karena secara refleks ia menempatkan dirinya dalam posisi sang anak. Sebagai seorang perempuan yang juga tumbuh tanpa kehadiran ayah, Anya merasa khawatir dan bertanya-tanya, “Apakah ini worth it misalnya aku masukin ke polisi nanti dia berapa tahun anaknya jadi broken dan kecewa karena sosok ayahnya seperti itu,” ujarnya.
Setelah kejadian itu, Anya dan keluarganya memutuskan untuk tetap diam namun menjaga jarak dari pelaku.
“Beberapa tahun kemudian orang itu masih tinggal di sebelah rumah aku, tapi aku sama keluarga udah jutek parah,” katanya. Anya menegaskan, meski kejadian itu sudah lama, trauma yang di alami masih membekas hingga sekarang.
Melalui pengalaman pribadi Anya dan penjelasan Vino, memperlihatkan bahwa ‘Shutter’ bukan sekadar film horor, melainkan media untuk menyuarakan realitas kelam yang sering disembunyikan. Film ini diharapkan menjadi pengingat agar dunia pendidikan dan lingkungan sosial lebih sadar dan berani menindak setiap bentuk kekerasan seksual.






