Sabo – Presiden Prabowo Subianto memberikan instruksi kepada Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa untuk mengalokasikan uang sitaan korupsi minyak sawit, salah satunya untuk pendidikan.
Dalam sidang kabinet paripurna di Istana Negara pada Senin (20/10/2025), Prabowo meminta agar dana Rp 13 triliun digunakan untuk Lembaga Pengelolaan Dana Pendidikan (LPDP).
Dana kasus kelapa sawit itu telah diserahkan Kejaksaan Agung kepada kas negara.
Lantas, bagaimana mekanisme hukumnya agar uang sitaan bisa benar-benar dipakai untuk beasiswa dan program pendidikan, dan apa dasar konstitusionalnya?
Dari kacamata hukum pidana
Dosen Hukum Pidana Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), Muchammad Iksan memaparkan bahwa sebelum dialokasikan menjadi dana pendidikan, uang sitaan itu harus melalui proses terdahulu.
Ia menyebutkan, menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) uang sitaan korupsi belum bisa dimanfaatkan untuk keperluan lain selama statusnya masih berupa barang bukti suatu perkara.
“Kalau uang sitaan itu masih berstatus barang bukti (BB), maka menurut KUHAP tidak bisa dipergunakan, tapi disimpan sampai Perkara diputus oleh Pengadilan dan memperoleh kekuatan hukum tetap,” ujar Iksan kepada Sabo, Selasa (21/10/2025).
Ketika pengadilan sudah memutuskan bahwa uang itu terbukti sebagai hasil korupsi, maka akan dikembalikan ke negara.
“Jika uang itu terbukti hasil korupsi, maka berdasarkan putusan pengadilan barang sitaan itu dikembalikan kepada negara,” paparnya.
Begitu sudah dikembalikan ke negara, maka uangnya dapat dialokasikan ke program prioritas.
“Oleh negara, terserah uang itu selanjutnya mau dialokasikan ke mana.. termasuk untuk beasiswa/LPDP atau untuk program prioritas lainnya,” sambungnya.
Lebih lanjut, Iksan menjelaskan pemanfaatan ini juga bisa dibahas melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU).
“Tapi jika presiden menghendaki penyimpangan proses dari KUHAP dalam pemanfaatan barang sitaan itu, ya perlu diatur dalam perubahan KUHAP yang sedang dibahas atau melalui PERPU,” tutup Iksan.
Menjamin pendidikan amanat konsitusi
Ahli Hukum Tata Negara (HTN) dari Universitas Sebelas Maret (UNS) Prof. Sunny Ummul Firdaus, menjelaska bahwa menjamin pendidikan warga negara merupakan mandat konstitusi.
“Jika dari perspektif Hukum Tata Negara ada mandat konstitusional tentang Pendidikan yang mengatakan :
Pasal 31 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945),” kata Sunny, saat dihubungi Sabo, Selasa (21/10/2025).
“Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional,” sambungnya.
Menurut Sunny, amanat tersebut bukan sekadar kewajiban administratif melainkan investasi jangka panjang.
Dengan menjamin pendidikan, negara dapat meneruskan keberlanjutan pembangunan dengan meningkatkan kualitas sumber daya manusia.
“Tujuannya adalah menjamin hak setiap warga negara untuk memperoleh pendidikan yang layak dan memastikan adanya keberlanjutan pendanaan pendidikan sebagai investasi jangka panjang bangsa,” paparnya.
Jika konteksnya untuk manfaat uang sitaan, posisi LPDP sebagai instrumen kebijakan untuk menjalankan amanat konstitusi ke dalam mekanisme pendanaan berkelanjutan.
“Norma ini juga menjadi pijakan utama bagi lembaga seperti LPDP (Lembaga Pengelola Dana Pendidikan) sebagai bentuk realisasi kebijakan konstitusional di bidang pendidikan,” ujarnya.
Sunny kemudian mengaitkannya dengan kerangka undang-undangl yang menegaskan pembiayaan sebagai tanggung jawab bersama.
“Undang-Undang Undang?Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (‘UU Sisdiknas’) menetapkan bahwa pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat menjadi tanggung jawab bersama untuk pembiayaan pendidikan,” jelas Sunny.
Landasan operasional tertuang dalam pengaturan dana abadi pendidikan yang meliputi sumber-sumbernya.
“Peraturan Presiden Nomor 111 Tahun 2021 mengatur pengelolaan dana abadi pendidikan yang dikelola oleh LPDP, dengan sumber ‘APBN, pendapatan investasi, dan/atau sumber lain yang sah dan tidak mengikat’ sebagai sumber dana,” terang dia.
Berdasarkan penjelasan tersebut, Sunny menilai alokasi dana pendidikan punya dasar hukum yang kuat, termasuk mengatur sumbernya berasal dari mana.
“Jadi, secara umum, alokasi dana untuk pendidikan memiliki dasar hukum yang kuat,” kata dia.
“Ini membuka kemungkinan bahwa selain APBN, sumber-sumber lain yang sah bisa dialokasikan ke dana abadi pendidikan,asalkan memenuhi ketentuan ‘sah dan tidak mengikat’,” sambungnya.
Kemudian, ia menjelaskan sumber dana sah artinya harus melewati mekanisme sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
“Yang di maksud sah adalah penggunaan dana negara (termasuk dana sitaan) harus melewati mekanisme yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku,” pungkasnya,
Dari sisi tata negara, penekanan ada pada kepatuhan sumber dana terhadap kriteria “sah dan tidak mengikat” serta mekanisme anggaran yang transparan.
Itu berarti, setelah uang sitaan kembali ke kas negara, pengalokasian ke dana abadi pendidikan tetap harus mengikuti prosedur APBN dan tata kelola LPDP.
Dengan demikian, mandat konstitusi untuk memprioritaskan pendidikan dapat berjalan tanpa mengabaikan asas legalitas dan akuntabilitas fiskal.






