ANALISIS terbaru Madani Berkelanjutan dan Pantau Gambut menunjukkan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Indonesia masih terjadi, bahkan meluas sepanjang 2025. Pola sebarannya relatif konsisten dari tahun ke tahun.
Dari total lebih dari 300 ribu hektare Area Indikatif Terbakar (AIT) sepanjang Januari hingga September 2025, Kalimantan Barat tercatat sebagai provinsi dengan area terbakar terluas, mencapai 123.076 hektare. Dari jumlah itu, 78.267 hektare di antaranya berada di wilayah yang termasuk dalam rencana operasional subnasional Forestry and Other Land Use FOLU Net Sink 2030.
Pantau Gambut juga mencatat ekosistem gambut turut terdampak parah. Pada Juli dan Agustus 2025, luas area bekas terbakar di lahan gambut mencapai 26.761 hektare, dengan Riau dan Kalimantan Barat menjadi dua provinsi dengan ekosistem gambut terbakar paling luas. Sebanyak 56 persen karhutla di periode yang sama bahkan terjadi di area berizin Hak Guna Usaha (HGU) sawit dan PBPH.
Peneliti Madani Berkelanjutan Sadam Afian Richwanudin menilai situasi ini dapat berdampak langsung terhadap target penurunan emisi Indonesia, khususnya menjelang COP30 di Brazil. “Sebenarnya kalau kita bicara emisi, tentu udah jutaan ton yang terlepas. Baik itu dari degradasi lahan maupun kehilangan hutan yang seharusnya efektif untuk menyerap karbon,” ujarnya dalam acara media briefing di Jakarta, Selasa, 21 Oktober 2025.
Dari total 300 ribu hektare area terbakar, dia menambahkan, sebagian besar berada di hutan alam dan lahan gambut yang memiliki kemampuan tinggi dalam menyerap karbon Kondisi ini menjadi catatan serius karena FOLU, energi, net emission merupakan tiga sektor yang paling tinggi untuk mencapai target penurunan 31,89 persen.
Sadam menyarankan pemerintah memperkuat penataan kelembagaan agar upaya mitigasi hingga pemadaman karhutla tidak berjalan terpisah antarinstansi. “Selama ini masing-masing kelembagaan punya kewenangan yang dalam tanda kutip itu seakan-akan terpisah. Misalnya Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) memadamkan (karhutla), tapi dalam restorasi dan sebagainya itu ada di Kementerian Lingkungan Hidup, kemudian ada Kementerian Kehutanan juga yang ada di kawasan hutan,” ujarnya.
Madani Berkelanjutan juga menyoroti lemahnya penegakan hukum terhadap korporasi yang terlibat dalam kebakaran hutan. Dia menegaskan perlunya penguatan aturan yang mempermudah eksekusi dan mendorong adanya pemulihan. Sadam juga menekankan pentingnya political will pemerintah untuk menempatkan karhutla sebagai isu lintas sektor.
“Masalah ini bukan hanya masalah hutan dan lahan, tapi juga terkait dengan target iklim dan sebagainya,” tutur dia. “Harus disinkronkan melalui kebijakan-kebijakan terkait misalnya pada RPJPD, RPJMD dan sebagainya.”
Sumber daya manusia dan pendanaan di daerah juga menjadi tantangan utama penanganan karhutla. Untuk mencapai target iklim, terutama dari sektor FOLU, Sadam menyarankan pekerjaan pemerintah tidak berseifat sektoral.
Jika pembukaan lahan skala besar masih terus dilakukan dan penanganan karhutla masih belum optimal, kata Sadam, maka upaya mencapai target penurunan emisi karbon akan semakin berat bagi Indonesia. “Ajang COP30 (Konferensi Perubahan Iklim) Brazil pun bisa hanya menjadi pepesan kosong belaka,” katanya.






