Free Gift

Malam Tak Lagi Gelap di Batas Negara

KEFAMENANU, Sabo– Segel dus minuman kemasan terkenal Tanah Air ditarik dengan sekelebat. Bunyi khas sobekan kertas berperekat terdengar cukup keras. Petrus Nono mulai mengeluarkan satu per satu minuman gelas plastik berukuran 180 mililiter.

Dengan gerakan pelan, pria berusia 43 tahun itu mulai memasukan minuman ke dalam lemari pendingin. Hawa sejuk keluar menyebar dalam kios berukuran 2×4 meter bercat tembok warna hijau mint.

“Kalau dulu, jangankan minuman dingin, listrik saja belum ada. Semua serba gelap dan panas,” ujar Petrus sambil tersenyum, matanya memandangi kulkas kecil yang kini menjadi pusat perhatian anak-anak kampung setiap sore.

Kios kecil di depan rumahnya itu baru tersambung listrik pada Bulan Desember 2024. Tepat setelah jaringan listrik PLN resmi menyala di Desa Tes, Kecamatan Bikomi Utara, Kabupaten Timor Tengah Utara, Nusa Tenggara Timur (NTT).

Sejak itu, kehidupan warga di desa yang berbatasan langsung dengan Distrik Oecusse, Timor Leste itu pelan-pelan berubah.

Ketika membuka kiosnya pada tahun 2021 lalu sepulang merantau dari Pulau Kalimantan, Petrus hanya menjual kebutuhan pokok seperti beras, gula, dan minyak goreng.

Untuk penerangan, dia mengandalkan genset dengan bahan bakar bensin. Kini, dengan adanya listrik, dia menambah rak khusus berisi minuman dingin, air mineral kemasan, hingga jajanan beku anak-anak. Kulkas mulai dibeli pada bulan Januari 2025.

“Orang sini senang sekali kalau bisa beli minuman dingin. Rasanya seperti di kota,” kata ayah tiga anak itu, saat bertemu dengan Sabo, Sabtu (18/10/2025).

Setiap sore, suara pintu lemari pendingin yang dibuka-tutup terdengar berulang. Anak-anak berseragam sekolah mampir sekadar membeli minuman dingin atau es batu.

Bagi mereka, sensasi dingin itu adalah kemewahan baru setelah bertahun-tahun hidup tanpa aliran listrik.

“Sekarang kios ramai terus. Kalau sore, kadang saya kewalahan,” tutur Petrus sambil tertawa kecil.

Selain menjual minuman dingin dan barang sembako, Petrus juga menjual pulsa telepon seluler dan pulsa listrik. Tak hanya itu, dia juga mengembangkan usaha ternak ayam kampung dengan bantuan listrik.

Induk ayam yang telah menetas dipisahkan. Anak ayam dimasukkan dalam keranjang. Setelah itu dipanaskan menggunakan listrik. Sedangkan induknya dimandikan lalu dilepas kembali dengan ayam jantan. Metode itu membuatnya untung.

Keuntungan bukan hanya diperoleh dari jualan sembako, minuman dingin, es dan ternak ayam, tapi juga dari biaya listrik.

Sebelumnya, saat pakai genset sehari dia harus mengeluarkan uang sebesar Rp 20.000 untuk membeli dua liter bensin. Itu artinya sebulan biaya penerangan menghabiskan sekitar Rp 600.000. Jumlah itu untuk ukuran warga di desanya termasuk besar.

Namun sekarang, untuk biaya listrik dia hanya merogoh kocek Rp 100.000 untuk pemakaian selama sebulan.

“Dulu, sekitar pukul 21.30 Wita, genset dengan sendirinya mati karena bensin habis. Sekarang, listrik menyala 24 jam. Saya sekarang buka kios sampai pukul 24.00 Wita,” kata Petrus.

Keuntungan yang diperolehnya itu bisa memenuhi kebutuhan rumah tangga, termasuk membantu biaya pendidikan anaknya. Tak hanya itu, Petrus pun telah membeli sebuah mobil pikap.

Mobil itu digunakan untuk mengangkut barang jualannya dari Kefamenanu, ibu kota Kabupaten TTU, yang berjarak sekitar 24 kilometer dari desanya.

Masuknya listrik bukan hanya mengubah cara orang berjualan. Di Desa Tes, perubahan terasa di setiap sudut rumah. Lampu-lampu menyala terang hingga ke ujung jalan tanah berbatu.

Anak-anak belajar di malam hari tanpa harus mengandalkan pelita. Ibu-ibu bisa menenun hingga larut malam, sementara suara televisi mulai terdengar dari beberapa rumah.

“Kalau ada berita atau lagu, rasanya dekat sekali dengan dunia luar,” ujar Petrus.

Bagi keluarga sederhana seperti Petrus, listrik adalah simbol kemajuan. Mereka tak lagi hanya bergantung pada matahari yang cepat tenggelam di balik bukit perbatasan.

Saat ini, malam di Desa Tes bukan lagi tanda istirahat penuh kegelapan, melainkan waktu produktif baru yang memberi harapan.

“Listrik itu seperti membuka jendela baru bagi hidup kami,” kata Petrus menutup percakapan sambil menatap lampu bohlam yang bergoyang pelan tertiup angin malam.

Menenun kain tradisional hingga tengah malam

Jarum jam menunjukkan pukul 23.15 Wita. Di sebuah rumah sederhana yang berjarak hanya sepelemparan batu dari rumah Petrus Nono, suara gedogan terdengar bersahutan.

Di balik bunyi kayu dan gesekan benang, tampak sosok perempuan berusia 44 tahun duduk tekun di depan alat tenun ikat.

Tangannya cekatan mengatur benang warna-warni yang tersusun rapi di antara bilah kayu. Namanya Helena Kolo. Sejak listrik PLN resmi tersambung di desanya pada Desember 2024, malam-malamnya tak lagi gelap.

“Sebelum listrik masuk, kalau mau menenun malam, kami pakai pelita minyak tanah. Sering asapnya bikin mata perih. Sekarang, saya bisa menenun sampai tengah malam tanpa takut gelap,” ujarnya sambil tersenyum.

Helena dulunya bahkan menenun sembari melihat cahaya lampu yang terang benderang milik warga Timor Leste yang berada di seberang sungai. Wilayah desa mereka berbatasan sungai dengan Sub Distrik Pasabe, Distrik Oeskusse, Timor Leste.

Sempat terpancar rasa kecewa, karena tidak memiliki penerangan yang memadai. Tetapi rasa kecewa itu akhirnya terkubur sudah.

Bagi Helena, cahaya lampu bukan sekadar penerangan. Ia menyebutnya “benang cahaya” yang menuntun harapan baru.

Dengan tambahan waktu bekerja di malam hari, ia bisa menenun dua kain dalam sebulan, meningkat dari sebelumnya yang hanya satu kain.

Pendapatan pun naik dua kali lipat.

“Kalau ada pesanan, saya lembur. Dulu tidak mungkin, karena gelap,” katanya.

Tenun ikat khas Tes dikenal dengan motif Kaes Metan—motif garis-garis hitam dan merah yang melambangkan kekuatan dan kesetiaan.

Namun, selama ini penenun kesulitan memenuhi permintaan pasar karena waktu produksi terbatas.

Kini, dengan penerangan memadai, mereka mulai memasarkan produk ke Kefamenanu, bahkan ke Kupang melalui media sosial. Satu lembar kain bete (untuk laki-laki) maupun tais (untuk perempuan), dijual seharga Rp 1,5 juta.

“Anak saya yang SMA bantu foto kain dan jual lewat internet. Kami belajar pelan-pelan. Kalau ada listrik, kami bisa pakai HP lebih lama, bisa promosi juga,” ujar Helena sembari tertawa kecil.

Cahaya yang menghidupkan harapan

Di ruang tengah rumahnya, selembar kain tenun berwarna merah marun tergantung di dinding.

Maria memandangi hasil karyanya dengan bangga. Baginya, listrik bukan sekadar fasilitas, tapi tanda kehadiran negara di ujung negeri.

“Malam sekarang terang. Kami tidak takut lagi bekerja sampai larut. Rasanya seperti hidup kami juga ikut terang,” katanya pelan.

Dari bilik rumah sederhana di Desa Tes, cahaya lampu listrik menuntun benang-benang harapan itu semakin panjang — menjahit masa depan yang lebih berwarna di beranda Indonesia.

Baru merasakan listrik sejak Indonesia merdeka

Kepala Desa Tes, Hendrikus Siki, menyebutkan, jumlah penduduk di desanya sebanyak 702 jiwa atau 174 kepala keluarga (KK).

Dari 174 KK, sebagian besar telah menggunakan listrik PLN. Masih tersisa 15 KK yang belum memasang listrik karena kesulitan ekonomi.

Meski begitu, pihaknya akan mencari jalan keluar, agar semua warganya bisa menikmati sambungan jaringan listrik PLN.

Hendrikus mengapresiasi dan berterima kasih kepada PLN yang telah berjuang tanpa lelah sehingga dapat mengalirkan listrik andal ke wilayahnya.

“Sejak Indonesia merdeka, masyarakat kami baru bisa keluar dari kegelapan di tanggal 5 Desember 2024. Kami baru merasakan listrik, karena itu kami berterima kasih kepada pihak PLN,” ujar dia.

Hendrikus menyebut, selama ini warganya kesulitan untuk beraktivitas di malam hari, termasuk mengisi baterai handphone.

“Untuk cash HP, Masyarakat harus menyewa jasa ojek sebesar Rp 20.000 ke desa tetangga. Setelah selesai, lampu layar HP disetel rendah untuk menghemat pemakaian,” kata Hendrikus.

Kondisi masyarakatnya kini mulai berubah. Ekonomi mulai perlahan bertumbuh. Anak-anak sekolah sudah bisa belajar di malam hari.

Dia berharap, masyarakatnya bisa memanfaatkan energi listrik ini dengan baik untuk kesejahteraan bersama.

Pendidikan yang lebih terang

Listrik juga membawa perubahan besar pada dunia pendidikan. Di sekolah menengah pertama (SMP) 2 Miomaffo Timur yang berada di Desa Faennake, Kecamatan Bikomi Utara, guru dan siswa memanfaatkan listrik untuk sejumlah kegiatan.

Di sekolah yang bertetangga dengan Desa Tes, suasana belajar kini tak lagi hanya bertumpu pada sinar matahari.

Ruang kelas yang sebelumnya gelap ketika mendung, kini diterangi lampu-lampu neon sederhana. Di ruang guru, laptop dan proyektor mulai digunakan untuk menunjang proses belajar mengajar.

“Dulu kami hanya pakai papan tulis dan kapur. Kalau mau tampilkan gambar atau video, tidak bisa. Sekarang anak-anak sudah bisa belajar lewat tayangan edukasi di layar,” ujar Fredy Lake, salah satu guru Bahasa Indonesia di sekolah itu.

Dengan aliran listrik yang stabil lanjut Fredy, sekolah mulai memanfaatkan perangkat elektronik sederhana seperti speaker aktif untuk upacara bendera dan pengumuman sekolah.

Di laboratorium IPA yang dulu hanya berisi alat peraga manual, kini tersedia mikroskop listrik dan kipas angin kecil untuk mendinginkan ruangan ketika praktikum.

Kepala Sekolah SMP 2 Miomaffo Timur Wilhelmus Neno Kono, menambahkan, adanya listrik di sekolah mereka, beberapa guru mulai mengenalkan siswa pada teknologi digital.

Meski jaringan internet belum merata, sebagian guru menggunakan paket data pribadi untuk mengunduh materi pembelajaran dari YouTube atau Portal Rumah Belajar dari Kemendikbud.

“Anak-anak bisa lihat video proses fotosintesis, siklus air, atau cara kerja gunung api. Mereka lebih cepat paham dibanding hanya mendengar cerita kami,” ujar Wilhelmus.

Sekolahnya juga mulai membuka program bimbingan belajar malam hari dua kali seminggu.

Siswa berkumpul di aula sekolah yang diterangi lampu neon, ditemani papan tulis putih dan kipas angin yang berputar pelan mengusir panas.

Menurutnya, listrik telah memberi mereka kesempatan untuk mengejar ketertinggalan. Mereka pun sekarang sudah bisa mengikuti Asesmen Nasional Berbasis Komputer (ANBK).

“Kami sekarang, sudah seperti sekolah-sekolah di kota. Hanya memang masih ada beberapa sedikit kekurangan, tapi intinya sudah ada perubahan khususnya bagi kami yang berada di daerah terpencil dan terdepan Indonesia,” ujar dia.

Pelayanan kesehatan lebih maksimal

Di sektor kesehatan, listrik menjadi nyawa bagi pelayanan medis. Di Puskesmas Napan, yang berada di ibu kota Kecamatan Bikomi Utara, kehadiran aliran listrik stabil membuat penyimpanan vaksin lebih aman.

“Dulu vaksin sering rusak karena hanya mengandalkan kotak es. Sekarang ada lemari pendingin khusus. Kami lebih tenang melayani ibu hamil dan bayi,” ungkap Kepala Puskesmas Napan, Albertus Korbafo.

Tak hanya soal vaksin, listrik juga membantu pelayanan kesehatan dasar berjalan lebih cepat dan efisien.

Alat tensi digital, timbangan bayi elektrik, komputer, alat gigi, kulkas hingga mesin steril alat medis kini dapat berfungsi tanpa hambatan.

Para bidan desa yang sebelumnya kesulitan melakukan pertolongan persalinan pada malam hari karena hanya mengandalkan lampu minyak, kini bisa bekerja lebih aman dan nyaman.

Di ruang persalinan Puskesmas Napan, kini terdapat alat doppler untuk memeriksa detak jantung janin.

Alat sederhana yang selama bertahun-tahun hanya bisa dilihat di rumah sakit kabupaten itu, kini bisa dioperasikan karena daya listrik sudah memadai.

“Kalau ibu hamil datang kontrol, kami bisa deteksi lebih cepat bila ada tanda-tanda bahaya,” tambah Albertus.

Keberadaan listrik juga memperbaiki akses komunikasi. Puskesmas kini memiliki jaringan internet dan perangkat komputer untuk mengirim laporan kesehatan, stok obat, hingga sistem rujukan pasien.

Ambulans yang sebelumnya sering terhambat karena tidak ada sinyal kini bisa dihubungi lewat telepon seluler atau radio komunikasi yang terus terisi daya.

“Kalau ada pasien gawat darurat, kami bisa cepat hubungi sopir ambulans dan rumah sakit rujukan di Kefamenanu. Tidak perlu tunggu sampai pagi atau cari sinyal ke bukit,”kata dia.

Dengan penerangan yang menyinari ruang pelayanan setiap malam, Puskesmas Napan kini menjadi tempat yang lebih hidup.

Anak-anak yang datang untuk imunisasi tidak lagi menangis karena vaksin dingin telah disimpan sempurna.

Ibu hamil merasa lebih aman menjalani pemeriksaan, dan tenaga kesehatan pun bekerja tanpa rasa takut akan gelap atau kerusakan alat.

“Listrik bukan hanya soal terang, tapi soal nyawa. Sekarang kami punya harapan lebih besar untuk menjaga kesehatan masyarakat di perbatasan,” kata Albertus.

Semua desa di Bikomi Utara kini teraliri listrik

Hari belum terlalu siang ketika Camat Bikomi Utara, Inosensius Kefi, duduk di beranda kantornya dan bercerita tentang perubahan besar yang tengah dirasakan warganya.

Suaranya tenang, namun sorot matanya menyiratkan rasa lega.

“Sekarang semua desa di Kecamatan Bikomi Utara sudah tersambung listrik PLN,” katanya membuka percakapan.

Kecamatan yang terletak di garis perbatasan Indonesia–Timor Leste ini memiliki sembilan desa: Napan, Tes, Sainoni, Faennake, Haumeni, Baas, Banain A, Banain B, dan Banain C.

Sebagian besar desa mulai menikmati listrik setelah tahun 2010. Desa Tes menjadi yang terakhir tersambung jaringan listrik, tepat pada tahun 2025.

Namun, perjalanan menuju terang masih menyisakan satu titik kecil yang belum tersentuh aliran listrik. Sebuah dusun terpencil di Desa Sainoni masih bergelut dengan gelap di malam hari.

Jaraknya jauh dari desa induk, jalan menuju ke sana sempit, terjal, dan sulit dijangkau kendaraan.

“Kami berharap PLN dapat memperhatikan dusun itu. Namanya Kampung Fatunaen. Warga di sana juga ingin merasakan kehidupan yang sama seperti desa lainnya,” tutur Inosensius.

Bikomi Utara bukanlah kecamatan biasa. Wilayah ini merupakan beranda depan Republik Indonesia yang memiliki satu Pos Lintas Batas Negara (PLBN) Napan.

Di utara berbatasan langsung dengan Subdistrik Oesilo, Distrik Oecusse, Timor Leste; bagian selatan dengan Kecamatan Bikomi Selatan; bagian timur dengan Miomaffo Timur; sementara sisi baratnya bersentuhan dengan Subdistrik Pasabe, Distrik Oecusse, Timor Leste.

Sebanyak 6.316 jiwa tinggal di wilayah yang kini perlahan berubah wajah berkat hadirnya listrik.

Bagi Inosensius, jaringan listrik bukan hanya soal terang di malam hari. Listrik adalah harapan, anak-anak bisa belajar lebih lama, usaha kecil dapat tumbuh, Puskesmas bisa menyimpan vaksin lebih aman, dan warga tak lagi menggantungkan hidup pada lampu pelita.

“Saya sangat berterima kasih kepada PLN. Selama puluhan tahun, masyarakat di perbatasan ini hidup dalam gelap. Kini, setelah kurang lebih 80 tahun, mereka bisa merasakan cahaya lampu di rumah-rumah mereka,” ucapnya dengan suara bergetar pelan.

Ia berharap perhatian PLN tidak berhenti sampai di sini. Masih ada subdesa dan dusun yang menanti sambungan listrik, menanti terang yang sama.

“Harapan kami, PLN terus melihat ke wilayah perbatasan, terutama tempat-tempat kecil yang belum tersentuh jaringan listrik,” tambahnya.

Harapan di balik kabel dan tiang listrik

Di balik sorak kecil di setiap rumah yang terang di Kecamatan Bikomi Utara, ada rasa lega dan bangga yang turut dirasakan oleh Albertus Koko Hendriyanto, Manager Unit Pelaksana Proyek Ketenagalistrikan (UP2K) Kupang.

“Rasanya ikut bahagia melihat masyarakat memanfaatkan jaringan listrik yang telah kami bangun. Itu berarti apa yang kami perjuangkan benar-benar membawa manfaat,” ujarnya.

Bagi Koko, menghadirkan listrik bukan sekadar pekerjaan teknis, melainkan bagian dari tugas besar PLN—menerangi pelosok negeri sampai titik terakhir.

Data terbaru menunjukkan, rasio elektrifikasi di Kabupaten Timor Tengah Utara telah mencapai 94,67 persen. Dari 193 desa dan kelurahan yang ada, semuanya sudah tersambung jaringan listrik. Namun pekerjaan belum selesai. Masih ada 39 dusun yang belum tersentuh aliran listrik.

Puluhan dusun itu sudah disurvei. Titik-titik lokasinya telah masuk ke dalam peta jalan (roadmap) PLN.

Jika tidak ada kendala, penyambungan listrik akan dilakukan bertahap pada 2026 hingga 2028. Targetnya jelas, memastikan seluruh wilayah TTU, tanpa terkecuali, terang 100 persen.

Namun perjalanan menuju terang tak bisa ditempuh PLN seorang diri. Koko berharap dukungan dari pemerintah daerah dan masyarakat.

Dari warga, diperlukan kerelaan memberi izin penanaman tiang atau pemangkasan pohon yang menghalangi jaringan. Dari pemerintah, dibutuhkan akses jalan yang lebih layak menuju dusun-dusun yang selama ini tersembunyi di balik bukit atau lembah.

“Kalau jalannya terbuka, material bisa sampai lebih cepat dan aman,” jelasnya.

Ia lalu mengingatkan, jaringan listrik ini dibangun bukan hanya untuk hari ini, tapi untuk anak cucu. Karena itu, setelah terang hadir, tugas bersama selanjutnya adalah menjaga.

“Tim dari ULP nanti akan rutin melakukan pemeliharaan, termasuk memangkas pohon yang menyentuh kabel. Kami harap masyarakat tidak tinggal diam, ikut menjaga apa yang sudah kita bangun bersama,” pesannya pelan, namun tegas.

Perbatasan saat ini bukan lagi simbol keterbelakangan, tetapi cermin kemajuan.

Energi listrik telah mengubah wajah perbatasan di NTT. Ekonomi lebih hidup, pendidikan lebih cerah, dan kesehatan lebih terjamin.

Dari kios sembako sederhana hingga puskesmas kecamatan, dari ruang kelas hingga ruang keluarga, cahaya listrik menjadi simbol harapan baru.

Meski jalan masih panjang, masyarakat percaya bahwa listrik adalah kunci untuk membuka masa depan yang lebih adil dan sejahtera di batas negara.

Want a free donation?

Click Here

Related Post

Tinggalkan komentar