SEJAK kabar kematian Timothy Anugerah Saputra mengguncang publik, langkah Universitas Udayana tetap terjebak dalam ‘ritus’ administratif, tanpa menyentuh substansi dan empati.
Benar, Rektor memang sudah membentuk tim investigasi internal, dekanat melayangkan pernyataan duka, unit layanan kampus menjanjikan evaluasi, dan biro humas merilis imbauan agar tidak menyebarkan spekulasi.
Beberapa mahasiswa yang terlibat dalam perundungan bahkan disebut telah dijatuhi sanksi, mulai dari pengurangan nilai soft-skill selama satu semester hingga pencopotan dari jabatan organisasi kemahasiswaan.
Namun, di balik semua itu, tidak satu pun tindakan tersebut mencerminkan kesadaran mendasar bahwa nyawa telah hilang akibat kegagalan institusi melindungi mahasiswanya dari kekerasan psikososial.
Semua langkah yang diambil masih sebatas formalitas birokratis, simbolik, dan tidak menyentuh akar persoalan.
Sanksi administratif yang ringan hanya menegaskan bahwa kampus lebih ingin terlihat “bertindak” daripada benar-benar bertanggung jawab secara kelembagaan.
Pemerintah masih terjebak dalam logika kuantitatif yang mereduksi tragedi menjadi angka. Selama angka kematian dianggap terlalu kecil untuk memengaruhi rata-rata nasional, selama grafik kekerasan tidak menunjukkan lonjakan signifikan dalam laporan tahunan, sistem merasa tidak perlu berubah.
Satu nyawa yang hilang hanya tercatat sebagai desimal tak berarti dalam tabel evaluasi kebijakan. Padahal dalam etika publik, satu nyawa saja adalah bukti absolut bahwa negara telah gagal menjalankan kewajibannya.
Logika statistik yang selama ini menjadi alat pengambilan keputusan tidak bisa dipakai untuk membenarkan kelambanan dalam melindungi manusia.
Bahkan jika satu bagian tubuh warga negara terancam, apalagi satu kehidupan, negara wajib bergerak tanpa menunggu angka melebihi ambang batas. Kita harus mengakui masih jauh tertinggal secara kesadaran dan penghargaan terhadap manusia dibandingkan Barat.
Lebih lagi, semua langkah yang dilakukan tidak menunjukkan empati sedikit pun. Sikap pasif tersebut merupakan cermin dari cara negara memperlakukan kekerasan struktural di dunia pendidikan sebagai isu reputasi, bukan kemanusiaan.
Di mata negara, kematian seorang mahasiswa tampaknya tidak lebih dari sekadar gangguan citra yang harus dikelola agar tidak mencoreng wajah institusi.
Selama universitas lebih takut pada penurunan peringkat akreditasi ketimbang kehilangan nyawa, selama kementerian lebih sibuk menyusun indeks daripada membangun sistem perlindungan, dan selama presiden tetap menempatkan perundungan sebagai persoalan pinggiran alias tidak terlalu urgen, maka setiap kematian akan terus dianggap sebagai insiden, bukan sebagai bukti kegagalan negara.
Pertanyaannya, apakah respons yang begitu lamban ini terjadi karena korban bukan anak pejabat, bukan bagian dari keluarga elite, dan tidak memiliki akses ke lingkar kekuasaan?
Jika jawabannya ya, maka negara sejatinya sedang mengakui bahwa keselamatan warganya ditentukan bukan oleh hak konstitusional, melainkan oleh posisi sosial mereka.
Sebagaimana diungkapkan Darla J. Twale dalam Understanding and Preventing Faculty-on-Faculty Bullying (2017), kekerasan yang tumbuh di lingkungan akademik adalah produk dari budaya institusional yang permisif, dari struktur kekuasaan yang lebih sibuk menjaga reputasi ketimbang martabat manusia.
Dalam atmosfer semacam itu, penghinaan dianggap “dinamika sosial,” pengucilan dibaca sebagai “konsekuensi pergaulan,” dan kekerasan psikologis diperlakukan sebagai “pelajaran kedewasaan.”
Kampus dengan sadar membiarkan luka itu tetap terbuka, karena selama tidak ada yang meninggal, semuanya dianggap baik-baik saja.
Twale menunjukkan bahwa sikap ini lahir dari apa yang ia sebut sebagai “toleransi budaya”, yakni kecenderungan institusi pendidikan tinggi untuk meremehkan kekerasan demi menjaga ilusi keharmonisan.
Sanksi ringan, teguran administratif, atau pencopotan jabatan organisasi hanyalah poles-poles yang tidak menyentuh akar persoalan.
Pelaku tidak pernah sungguh-sungguh dihadapkan pada konsekuensi, sementara korban dipaksa untuk memaklumi dan terpaksa menerima perlakuan yang tak sepantasnya.
Dan ketika luka itu membekas menjadi trauma jangka panjang, institusi kembali bersembunyi di balik jargon evaluasi dan protokol etik yang faktanya tak pernah dijalankan.
Ironisnya, menurut Twale, justru kepemimpinan kampus sering kali menjadi bagian dari masalah, bukan solusi. Mereka yang seharusnya menjadi garda terdepan perlindungan mahasiswa kerap memilih diam demi kenyamanan politik atau kestabilan birokrasi.
Tidak ada empati, tidak ada urgensi, tidak ada kesadaran bahwa yang sedang mereka abaikan adalah kehidupan makhluk tertinggi ciptaan Tuhan.
Ketika kekerasan psikososial diperlakukan sebatas isu reputasi, maka kampus telah gagal menjalankan mandat dasarnya, yakni menciptakan ruang belajar yang aman dan memanusiakan.
Kita tak lagi bisa menutup mata bahwa banyak pimpinan universitas tidak memiliki kapasitas kepemimpinan yang memadai untuk menangani kekerasan psikososial di lingkungan akademik.
Mereka sering salah mengklasifikasikan insiden, meremehkan tingkat ancaman, atau menundanya dengan alasan menjaga stabilitas dan reputasi lembaga.
Kepemimpinan yang pasif, otoriter, manipulatif, atau sekadar abai justru menciptakan ruang subur bagi kekerasan untuk terus berulang.
Dalam kondisi seperti itu, kekuasaan bukan lagi alat untuk melindungi, tetapi menjadi mekanisme yang membungkam korban dan melindungi pelaku dari konsekuensi hukum maupun etik.
Sering kita lupa bahwa kekerasan merupakan hasil dari struktur sosial akademik yang telah terbentuk dan dibiarkan bertahun-tahun.
Setiap fakultas membangun norma dan hierarkinya sendiri yang menentukan siapa yang diterima dan siapa yang dianggap menyimpang.
Mereka yang tidak sesuai dengan pola mayoritas akan didorong ke pinggiran, dipaksa menyesuaikan diri, atau menjadi sasaran tekanan.
Ironisnya, para akademisi dengan kapasitas terbaik kerap justru dibungkam oleh kolega yang kapasitasnya biasa-biasa saja demi mempertahankan kenyamanan dan posisi mereka.
Itulah realitanya. Survei yang dilakukan oleh Asosiasi Pendidikan Tinggi Indonesia (APTI) pada 2022 mencatat bahwa satu dari lima mahasiswa mengaku pernah menjadi korban bullying di lingkungan kampus.
Angka ini menunjukkan bahwa kekerasan psikososial bukanlah kasus terisolasi, melainkan fenomena struktural yang telah merembes ke berbagai perguruan tinggi di Indonesia.
Sementara itu, Kemendikbudristek pada 2023 melaporkan sekitar 520 kasus perundungan yang dilaporkan secara resmi dari kampus-kampus di seluruh negeri, menandakan bahwa persoalan ini bukan lagi sesuatu yang tersembunyi, melainkan telah menjadi masalah sistemik yang diakui oleh otoritas negara.
Penelitian akademik juga memberikan gambaran yang lebih mendalam tentang bentuk dan dinamika kekerasan di lingkungan pendidikan tinggi.
Penelitian di Universitas Negeri Surabaya (UNESA) pada 2014 menemukan bahwa lebih dari separuh mahasiswa di Fakultas Ilmu Sosial pernah menjadi korban bullying.
Sementara penelitian lain di Fakultas Bahasa dan Seni menunjukkan pola serupa, di mana intimidasi verbal, sosial, dan psikologis mendominasi interaksi antar-mahasiswa.
Penelitian di Universitas Gadjah Mada (UGM) pada 2012 menyoroti dimensi lain dari kekerasan di lingkungan berasrama, di mana tekanan sosial dan relasi kekuasaan menciptakan kondisi psikis yang tidak aman bagi penghuni asrama.
Lebih baru lagi, kasus yang mencuat dalam Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) pada 2023–2024 memperlihatkan bentuk perundungan yang lebih kompleks: pelanggaran hak atas pendidikan yang layak, jam kerja berlebihan, hingga penugasan yang tidak relevan sebagai bentuk tekanan struktural.
Persoalan ini bahkan tidak berhenti di level perguruan tinggi. Ia adalah puncak dari mata rantai kekerasan yang telah dimulai sejak usia sekolah dasar.
Data Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) dalam Catatan Akhir Tahun Pendidikan 2023 menunjukkan bahwa dari total 30 kasus perundungan yang tercatat di satuan pendidikan, mayoritas terjadi di jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP) dengan 50 persen kasus.
Jenjang Sekolah Dasar (SD) menyumbang 30 persen, sedangkan SMA dan SMK masing-masing 10 persen.
Meski angka ini terlihat kecil, perlu dicatat bahwa data tersebut hanya mencakup kasus yang terlaporkan dan diproses, sementara jumlah sesungguhnya diyakini jauh lebih tinggi.
Tren ini bahkan meningkat signifikan pada 2024. Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) mencatat 573 kasus kekerasan di sekolah dan pesantren, melonjak lebih dari dua kali lipat dibanding tahun sebelumnya yang mencatat 285 kasus.
Dari total pelanggaran perlindungan anak yang diterima KPAI pada Januari–Agustus 2023, sebanyak 87 kasus secara spesifik terkait dengan perundungan.
Angka-angka ini menunjukkan bahwa ruang pendidikan dasar dan menengah, yang seharusnya menjadi tempat pembentukan karakter, justru menjadi ruang pertama anak-anak mengenal kekerasan sosial.
Pola kekerasan itu pun berbeda pada setiap jenjang. Di SD, perundungan kerap berbentuk kekerasan fisik, bahkan dalam beberapa kasus menyebabkan luka permanen seperti insiden di Gresik tahun 2023 ketika seorang siswa mengalami kebutaan akibat ditusuk kakak kelasnya.
Di SMP, bentuknya semakin kompleks, melibatkan kekerasan fisik dan psikis yang sering terekam dan viral di media sosial, seperti kasus pengeroyokan di Cilacap.
Di SMA, kekerasan sering dikaitkan dengan senioritas dan perundungan digital, mencerminkan pola dominasi yang lebih terstruktur.
Yang memperburuk keadaan, ketika korban memberanikan diri mengadu kepada guru Bimbingan Konseling (BK) atau pihak sekolah, mereka sering justru disalahkan.
Banyak laporan menunjukkan korban diminta untuk “mengintrospeksi diri” atau “tidak terlalu sensitif”, seolah kesalahan terletak pada mereka.
Sikap ini bukan hanya menghapus ruang aman bagi anak-anak, tetapi juga memperkuat budaya diam yang membuat perundungan terus berulang tanpa pernah benar-benar ditangani secara serius.
Jelas saja kekerasan kampus tidak dapat dilepaskan dari ekosistem kekuasaan yang membentuknya.
Relasi senior-junior yang hierarkis, dorongan untuk mendapatkan pengakuan kelompok, hingga budaya institusi yang melegitimasi intimidasi sebagai bentuk “pendewasaan” menciptakan siklus kekerasan yang sulit diputus, bahkan sistem pendidikan pun seolah mengamini saja.
Bahkan, trauma pelaku sebagai korban sering menjadi pemicu reproduksi kekerasan baru.
Masalahnya tidak hanya berhenti pada relasi antarmahasiswa. Dalam banyak kasus, budaya perundungan di perguruan tinggi tumbuh subur karena kepemimpinan akademik justru gagal menjalankan perannya sebagai penjaga etika institusional.
Pimpinan fakultas sering kali mendorong pergeseran misi demi ambisi administratif pribadi, mengorbankan solidaritas komunitas akademik dan mendorong kompetisi yang tidak sehat di antara dosen maupun mahasiswa.
Lebih parah lagi, ketua jurusan atau dekan yang seharusnya mampu meredam konflik, mencegah disfungsi, dan menciptakan iklim inklusif, justru sering tidak dibekali pelatihan yang memadai untuk menghadapi dinamika tersebut.
Mereka tetap bagian dari komunitas yang mereka pimpin, tapi enggan atau tidak mampu menertibkan kolega yang bertindak tidak pantas.
Ketika otoritas administratif tidak disertai tanggung jawab moral, kekerasan simbolik dalam lingkungan kampus dibiarkan menjadi norma, dan perundungan yang mestinya dicegah sejak awal justru mendapat ruang untuk tumbuh (Bennett, 1998; Cipriano, 2011).
Dalam banyak kasus, fakultas dan departemen tidak hanya bersaing untuk memperoleh sumber daya terbatas, tetapi juga membangun hierarki kekuasaan internal yang menciptakan jarak sosial dan memperkuat dominasi kelompok tertentu.
Prinsip zero-sum yang mengakar membuat satu program berkembang dengan mengorbankan yang lain, dan status akademik ditentukan bukan oleh kontribusi terhadap komunitas intelektual, tetapi oleh jumlah hibah penelitian, posisi dalam jurnal bereputasi, atau frekuensi konferensi.
Dalam atmosfer seperti ini, praktik perundungan muncul bukan lagi sebagai perilaku menyimpang semata, melainkan sebagai instrumen sosial-darwinistik untuk mempertahankan privilese dan menyingkirkan siapa pun yang dianggap lemah atau tidak sejalan dengan arus dominan.
Istilah ini mengacu pada logika “yang kuat bertahan dan yang lemah minggir bahkan tersingkir,” di mana bullying berfungsi layaknya mekanisme seleksi sosial dalam ruang akademik.
Pelaku menggunakan tekanan, penghinaan, atau pengucilan sebagai cara untuk menjaga kekuasaan, mempertahankan posisi, dan membungkam suara yang dianggap mengganggu status quo.
Awalnya tindakan itu mungkin tampak kecil seperti sindiran atau perlakuan tidak sopan yang disebut incivility. Namun, ketika dibiarkan, perilaku tersebut tumbuh menjadi kekerasan simbolik yang sistematis.
Kekerasan semacam ini tidak selalu terlihat secara kasat mata, tetapi pengaruhnya terasa dalam cara pandang dan interaksi di lingkungan kampus.
Ia menentukan siapa yang didengar dan siapa yang diabaikan, siapa yang berhak berbicara dan siapa yang harus diam.
Dari situ akar cyberbullying sering terbentuk. Ejekan yang awalnya muncul secara halus di ruang digital melalui percakapan grup kampus atau forum daring perlahan menciptakan pembenaran sosial untuk terus merendahkan.
Saat olok-olok menjadi kebiasaan, kekerasan itu meluas ke dunia nyata dan berkembang menjadi tekanan sosial yang lebih terbuka, menciptakan lingkaran perundungan yang semakin sulit diputus.
Itulah yang terjadi pada mahasiswa jurusan sosiologi bernama Timothy. Candaan di ruang digital perlahan berubah menjadi tekanan sosial yang semakin berat.
Olok-olok yang berulang membentuk stigma, mengasingkan korban dari lingkungannya, dan menjebaknya dalam pusaran penghinaan yang terus berlanjut.
Batas antara dunia daring dan kehidupan kampus pun lenyap, meninggalkan luka psikologis yang semakin dalam, luka yang pada akhirnya tidak lagi mampu ia tanggung sendiri.
Pada akhirnya, perundungan di dunia akademik bukan hanya tentang pelaku dan korban. Ia menciptakan lingkaran kerusakan yang jauh lebih luas daripada yang tampak di permukaan.
Selain mereka yang terlibat langsung, efek domino dari budaya perundungan menjangkiti lingkungan akademik secara keseluruhan.
Mahasiswa yang tidak pernah menjadi sasaran pun ikut kehilangan rasa aman. Rekan sejawat yang tak terkait menjadi korban iklim kerja yang toksik. Dan proses sosialiasi dosen baru maupun mahasiswa pascasarjana terganggu oleh atmosfer penuh intimidasi.
Kerusakan ini bahkan merembes ke jantung praksis akademik itu sendiri, merusak kualitas pembelajaran, meretakkan kolaborasi ilmiah, dan melemahkan fungsi universitas sebagai ruang pencarian kebenaran dengan cara-cara yang baik dan benar.
Selama kekuasaan dan reputasi lebih diprioritaskan daripada keselamatan dan martabat manusia, kampus tidak akan pernah benar-benar menjadi tempat untuk tumbuh, tetapi akan terus menjadi ladang luka batin dan fisik yang dibiarkan terus berulang.






