Free Gift

Melihat Kejayaan Sumbawa Lewat Kain Tenun Kre Alang di Istana Dalam Loka

SUMBAWA, Sabo –  Sore itu, lautan manusia memenuhi Istana Dalam Loka di Kabupaten Sumbawa. Rumah panggung megah yang menjadi saksi bisu kejayaan Kesultanan Sumbawa, mendadak dipadati pengunjung.

Warga berdatangan untuk menyaksikan Pameran Keliling dan Ekspresi Budaya Nusa Tenggara Barat (NTB).

Biasanya, kunjungan ke Istana Dalam Loka dibatasi, demi melindungi cagar budaya ini. Namun, pada Rabu (22/10/2025), pintu terbuka lebar, mengundang generasi muda dan masyarakat luas untuk menyelami kekayaan sejarah dan seni Sumbawa.

Salah satu pengunjung yang memadati arena itu adalah Ida Fitria Syarafuddin Jarot, Ketua Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) Kabupaten Sumbawa.

Dia tampak antusias menjelajahi setiap sudut pameran. Namun, langkahnya terhenti di depan Kre Alang bermotif Lonto Engal, kain tenun megah yang terbuat dari benang emas dan perak.

Menurut dia, kain ini bukan sekadar karya seni, melainkan simbol kehormatan dan identitas masyarakat Sumbawa. “Motif ini begitu khas, setiap detailnya mengandung kisah,” ujar Ida Fitria.

Tak jauh dari sana, kerudung Kemang Setange dan Lonto Engal kembali memikat perhatian dia.

Kerudung ini, yang kerap menghiasi kepala perempuan Sumbawa, mencerminkan keanggunan budaya Samawa.

Ida Fitria mengaku membayangkan bagaimana kain ini menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat di Sumbawa.

Kain bersejarah Kre Alang Meraja Sangaji

Namun, sorotan utama jatuh pada Kre Alang Meraja Sangaji, kain bersejarah dari tahun 1790. Kain ini adalah mahakarya yang menyatukan dua kesultanan besar di NTB, Kesultanan Bima dan Kesultanan Sumbawa.

Motif garuda berkepala dua dan lipan api menjadi simbol pernikahan agung antara Sultan Bima Abdul Hamid Ruma Mantau Asi Saninu dan Sultanah Sumbawa Syafiatuddin.

“Kain ini adalah perpaduan seni, budaya, dan politik. Sebuah mahakarya sejati,” kata Ida Fitria.

Selain kain tenun, pameran ini juga memamerkan benda-benda bersejarah Kesultanan Sumbawa, seperti replika Pakebas (Kipas Emas) dan replika Salepa (wadah rokok Sultan).

Kipas emas, yang dibuat di Bali pada tahun 1998, memukau dengan motif Pusuk Rebong, Lonto Engal, dan bentuk geometris yang memancarkan kemewahan.

Sementara itu, replika Salepa menampilkan ukiran logam dengan motif serupa, mencerminkan kehalusan estetika istana di masa lampau.

Setiap koleksi di pameran ini bukan sekadar benda, melainkan cerminan peradaban Sumbawa yang kaya.

Ida Fitria tak henti mengagumi keindahan dan makna di balik setiap karya. “Ini adalah jejak peradaban luar biasa. Di balik keindahannya, tersimpan filosofi dan pandangan hidup yang patut dipelajari generasi muda,” tutur dia.

Pameran ini lebih dari sekadar ajang nostalgia. Bagi Ida Fitria, ini adalah momentum untuk menanamkan rasa bangga terhadap identitas lokal sekaligus menginspirasi generasi muda untuk berkarya. 

“Budaya bukan hanya untuk dikenang, tetapi juga untuk dihidupkan kembali dalam bentuk baru yang bernilai ekonomi,” kata dia.

Menurut dia, Pameran Keliling dan Ekspresi Budaya NTB di Istana Dalam Loka sangat terasa menjadi perayaan akan kekayaan budaya Sumbawa.

Want a free donation?

Click Here

Related Post

Tinggalkan komentar