Sabo— Ambisi pemerintah Indonesia untuk memperkuat hilirisasi dan industrialisasi sebagai motor pembangunan sekaligus meninggalkan eksploitasi bahan mentah menemui jalan terjal.
Tantangan klasik dan mendasar, kembali mencuat di empat provinsi penyangga kegiatan hilirisasi, yaitu kesiapan sumber daya manusia (SDM) lokal.
Hal itu terkuak dari makalah internal tim Pelatihan Kepemimpinan Nasional Bagian Pengembangan SDM di lingkungan Mahkamah Agung, berjudul “Dari Hulu ke Hilir: Strategi Pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) untuk Mendorong Hilirisasi dan Industrialisasi pada Empat Provinsi Pengungkit Transformasi Ekonomi”.
Makalah itu menyebutkan, masalah SDM masih menjadi titik lemah, terutama di empat provinsi pilot yang sedang difokuskan, yakni Kalimantan Utara (Kaltara), Sulawesi Tengah (Sulteng), Maluku Utara (Malut), dan Sumatera Barat (Sumbar).
Kajian dari Kelompok II Pelatihan Kepemimpinan Nasional (PKN) Tingkat II Angkatan XV 2025 itu mengidentifikasi sejumlah masalah pokok yang menjadi kendala hilirisasi, mulai dari kesenjangan keterampilan, kapasitas pendidikan, hingga risiko sosial-lingkungan di empat provinsi penggerak utama transformasi ekonomi tersebut.
Kelompok II PKN II Angkatan XV Tahun 2025 menegaskan, tanpa SDM yang kompeten, produktif, dan adaptif, hilirisasi berisiko hanya menjadi kegiatan ekstraktif baru yang minim nilai tambah bagi masyarakat lokal.
“Hilirisasi tidak semata persoalan pabrik dan investasi, melainkan kemampuan manusia di baliknya. Daya saing jangka panjang akan ditentukan oleh seberapa cepat ekosistem talenta lokal mampu beradaptasi,” ujar Kelompok II PKN II Angkatan XV Tahun 2025 dalam keterangan yang diterima Sabo, Rabu (22/10/2025).
Salah satu temuan penting dari kajian itu adalah ironi pusat hilirisasi nikel di Sulteng dan Malut yang belum sepenuhnya menyerap tenaga kerja lokal dan memberikan manfaat ekonomi signifikan.
Padahal, kedua smelter itu mengalami lonjakan nilai ekspor yang didorong keberadaan smelter dan industri pengolahan logam dasar.
Di Malut, data Badan Pusat Statistik (BPS) Februari 2025 menunjukkan, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) tertinggi (10,75 persen) justru disumbang lulusan sekolah menengah kejuruan (SMK).
Sementara itu, di Sulteng, sebagian besar tenaga kerja lokal belum memiliki keterampilan metalurgi, teknologi smelter, atau otomasi yang dibutuhkan.
Akibatnya, industri masih banyak mengandalkan tenaga kerja asing (TKA). Sebagai gambaran, Kabupaten Morowali mencatatkan kehadiran puluhan ribu TKA per awal 2024.
Di Kawasan Industri Hijau Indonesia (KIHI) Kaltara, tantangan bergeser pada kebutuhan keahlian khusus di bidang manajemen utilitas, pembangkit listrik tenaga asing (PLTA), dan manajemen lingkungan.
Simpul masalah SDM yang terlupakan
Kajian PKN II Angkatan XV merangkum empat masalah mendasar yang dihadapi keempat provinsi tersebut, meskipun masing-masing memiliki keunggulan sektoral berbeda.
Pertama, skills mismatch atau ketidaksesuaian antara kemampuan pekerja dan kesempatan kerja yang lebar. Lulusan SMK dan pendidikan formal di empat provinsi tersebut tidak memiliki kompetensi yang dibutuhkan industri hilir modern.
Contohnya, di Sumbar pekerja banyak yang terjebak di sektor informal serta minim kontribusi terhadap rantai nilai industri modern seperti agro-maritim.
“Kurikulum SMK yang ada belum selaras dengan kebutuhan industri smelter nikel yang berkembang pesat di sana,” tulis Kelompok II PKN II Angkatan XV Tahun 2025.
Kedua, kapasitas vokasi terbatas. Lembaga vokasi, seperti SMK, politeknik, dan Balai Latihan Kerja (BLK) belum berfungsi optimal sebagai penyedia kebutuhan industri.
Pasalnya, pendidikan formal di daerah belum memiliki peralatan praktik memadai, kurikulum yang usang, serta minim instruktur bersertifikat dan pengalaman industri.
Ketiga, lemahnya kemitraan. Sinergi antara perusahaan di kawasan industri, pemerintah daerah (pemda), dan lembaga pendidikan sangat lemah.
Kondisi itu membuat industri belum aktif terlibat dalam penyusunan kurikulum atau penyediaan magang terstruktur.
Keempat, isu kesehatan, keselamatan kerja, dan lingkungan (K3/L). Ekspansi industri sering menimbulkan persoalan K3L karena proyek hilirisasi menggunakan teknologi canggih dengan standar internasional.
Kepatutan itu menjadi kendala ketika SDM lokal belum dilatih dengan baik untuk menghadapi risiko keselamatan dan kerusakan lingkungan.
Contohnya, banyak tenaga kerja di Sulteng yang belum memiliki keterampilan dasar terkait standar keselamatan kerja dan penanganan limbah. Kondisi ini memperbesar ketergantungan pada tenaga kerja terlatih dari luar.
Realitas SDM lokal di 4 provinsi
Meskipun memiliki akar masalah yang sama, makalah tersebut memberikan potret berbeda terkait kendala SDM di empat provinsi penggerak utama hilirisasi.
1. Masalah tenaga kerja di Kaltara
Kaltara tengah digadang menjadi pusat industri hijau berbasis energi terbarukan dengan adanya Kawasan?Industri?Hijau?Indonesia (KIHI).
Namun per Februari 2020, angkatan kerja di provinsi itu masih didominasi lulusan sekolah dasar (SD) ke bawah, yakni 31,95 persen.
Tantangan utamanya adalah ketersediaan tenaga kerja dengan keahlian di bidang teknologi pembangkit listrik tenaga air (PLTA), manajemen lingkungan, serta efisiensi energi yang saat ini masih terbatas.
Antisipasi kebutuhan SDM di Kaltara perlu difokuskan pada SDM utilitas industri, PLTA, environmental management, dan operator proses mengingat penurunan kemiskinan pada September 2024 sebesar 5,38 persen.
“Kaltara perlu berfokus pada menyiapkan SDM untuk kawasan industri berwawasan energi bersih dan rantai pasok lintas batas,” kata Kelompok II PKN II Angkatan XV Tahun 2025.
2. Masalah keterampilan pekerja di Sulteng
Dengan posisi sebagai klaster pengolahan nikel dan logam dasar, Sulteng menunjukkan peningkatan signifikan dalam Indeks Pembangunan Ketenagakerjaan (IPK).
Namun, sebagian besar tenaga kerja lokal belum memiliki keterampilan metalurgi, teknologi smelter, otomasi, maupun K3.
Hal itu menyebabkan SDM lokal belum terserap di posisi teknis dengan gaji lebih tinggi karena keterampilan yang belum memadai.
Akibatnya, sebagian besar pekerja di klaster besar masih berasal dari luar daerah. Hal ini terlihat dari TPT Sulteng yang rendah 3,15 persen pada Februari 2024 karena variasi kabupaten/kota menunjukkan kebutuhan spesifik klaster.
3. Ironi TPT tinggi Malut
Malut menjadi provinsi yang menjanjikan dengan proyek pengolahan nikel dan kayu olahan yang berkembang pesat. Pada Januari hingga Maret 2025, ekspor di provinsi ini mencapai 3,198 miliar dollar Amerika Serikat (AS).
Namun, pada saat yang sama, tenaga kerja lokal masih tertinggal dengan proporsi pekerja informal hingga 62,89 persen.
Tak hanya itu, TPT tertinggi berasal dari SMK sebesar 10,75 persen. Kondisi ini mengindikasikan kurikulum SMK belum selaras kebutuhan industri smelter nikel yang berkembang pesat di Malut.
“Lulusan SMK yang berada di daerah menunjukkan TPT tertinggi, padahal industri butuh teknisi, operator mesin, ahli K3L,” jelasnya.
4. Dinamika heterogen Sumbar
Basis manufaktur dan agro-maritim yang kuat tetap menghadapi pengangguran struktural yang cukup tinggi (TPT sekitar 5,69 persen per Februari 2025).
Pekerja informal dan lulusan SMK yang tak terserap menjadi tantangan. Industri agro–maritim, pangan olahan, dan industri kreatif membutuhkan teknisi, perawatan mesin, serta ahli bioteknologi yang belum tersedia dalam jumlah cukup.
Sumbar memiliki tren serupa dengan Malut, yakni lulusan SMK mendominasi angka TPT. Akibatnya, banyak yang terjebak di sektor informal.
Padahal, Sumbar memiliki basis manufaktur dan agro-maritim yang kuat, dengan sektor hilirisasi sawit yang membutuhkan operator mesin, teknisi perawatan, dan ahli bioteknologi yang belum tersedia dalam jumlah memadai.
Di sisi lain, dinamika TKA di Sumbar relatif heterogen. Selain beberapa kabupaten/kota yang melaporkan jumlah TKA kecil hingga menengah, ada pula laporan terkait keberadaan TKA ilegal di sejumlah lokasi.
Pentingnya penguatan SDM lokal
Indonesia memiliki sumber daya alam (SDA) melimpah dan pasar global yang menuntut rantai nilai lebih tinggi. Hal ini diikuti dengan tren ekonomi global yang menuju green economy dan industri 4.0 sehingga membuka kesempatan keterampilan baru.
Oleh karenanya, penguatan SDM lokal bukan hanya penting untuk memenuhi kebutuhan industri, tetapi juga menjadi role model replikasi nasional, bahkan untuk bersaing secara global.
Kelompok II PKN II Angkatan XV Tahun 2025 menegaskan, investasi fisik saja tidak cukup untuk mewujudkan visi hilirisasi. Mesin dan pabrik atau kawasan industri hanya akan optimal jika digerakkan oleh SDM yang tepat.
“Hilirisasi tidak semata persoalan pabrik dan investasi, melainkan kemampuan manusia di baliknya,” tulis Kelompok II PKN II Angkatan XV Tahun 2025.
Makalah tersebut menekankan, daya saing jangka panjang akan ditentukan oleh seberapa cepat ekosistem talenta lokal mampu beradaptasi.
Dalam hal ini, SDM diharapkan mampu mengisi kebutuhan keahlian proses, menjamin standar keselamatan dan lingkungan, serta memimpin inovasi yang bernilai tambah.
“Dengan demikian, agenda SDM harus berdiri sebagai ‘tulang punggung’ industrialisasi bukan sekadar pelengkap,” papar Kelompok II PKN II Angkatan XV Tahun 2025.
Sebaliknya, penguatan hilirisasi yang tidak dibarengi dengan penyiapan SDM akan membuat nilai tambah dari bahan mentah tetap rendah, sementara pekerjaan lokal sulit terserap dan berpotensi menjadi outsourcing.
Masalah lainnya adalah industri akan tetap bergantung pada tenaga kerja asing atau luar daerah, serta kawasan hilirisasi tidak berkembang menjadi mandiri.
Kelompok II PKN II Angkatan XV Tahun 2025 menegaskan, hilirisasi tidak hanya dimaknai sebagai upaya menekan ekspor bahan mentah, tetapi juga sebagai motor transformasi ekonomi yang berorientasi pada keberlanjutan, kemandirian industri, dan kesejahteraan masyarakat.
Solusi: perbaikan pendidikan dan pelatihan
Untuk menjamin hilirisasi memberikan nilai tambah bagi masyarakat lokal, kajian Kelompok II PKN Tingkat II Angkatan XV merekomendasikan strategi pengembangan SDM yang diarahkan pada formalisasi tenaga kerja, sertifikasi, dan integrasi erat antara pendidikan dan industri.
Kelompok II PKN II Angkatan XV Tahun 2025 menekankan perlunya regulasi afirmasi terkait persentase penyerapan tenaga kerja lokal dan dorongan transisi tenaga kerja informal ke sektor formal melalui program pelatihan bersertifikat. Berikut pemaparan lengkapnya:
1. Regulasi dan formalisasi
Keempat provinsi penyangga hilirisasi memiliki kendala TPT dan pekerja informal yang tinggi. Pemerintah dapat mengatasinya dengan menetapkan persentase minimal tenaga kerja lokal dalam proyek industri.
Selain itu, percepatan transisi pekerja informal ke sektor formal perlu dilakukan melalui pelatihan bersertifikat, jaminan sosial, serta memastikan standar K3L di kawasan industri.
2. Peningkatan kompetensi dan vokasi
Pemerintah perlu melakukan pemetaan kompetensi per klaster industri serta memperkuat pendidikan vokasi melalui sistem magang (apprenticeship) minimal enam bulan yang mengintegrasikan SMK, Politeknik, BLK dan industri.
Kajian itu juga menegaskan, revitalisasi kurikulum perlu dilakukan agar relevan dengan teknologi hijau dan industri 4.0.
Meski fokus setiap daerah berbeda-beda, standar kompetensi dan integrasi pendidikan-industri harus nasional dan konsisten.
3. Sertifikasi dan kemitraan
Pemerintah daerah harus aktif memfasilitasi kemitraan dan penyusunan kurikulum berbasis industri.
Oleh karena itu, pemerintah direkomendasikan membangun BLK/Balai Pelatihan Vokasi dan Produktivitas (BPVP) sebagai pusat keunggulan (centre of excellence) di kawasan industri.
Solusi lainnya adalah membentuk pusat sertifikasi regional yang terhubung dengan kawasan industri untuk mempercepat akses tenaga kerja lokal terhadap sertifikasi kompetensi (BNSP/LSP) di bidang metalurgi, K3L, dan manufaktur.
Tak kalah penting, industri harus dilibatkan sejak awal, mulai dari program magang, kursus praktik, hingga pemberian sertifikasi.
4. Pembiayaan lokal dan inovasi
Kajian itu juga mendorong pemerintah untuk memanfaatkan pembiayaan dari lembaga negara, seperti Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP), Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI), atau skema kredit usaha rakyat (KUR), serta investasi swasta untuk mendukung pelatihan dan sertifikasi.
Dorongan lain yang perlu diperhatikan pemerintah adalah penggunaan platform digital learning, e-vocational training, dan sistem informasi manajemen SDM hilirisasi (SIM-SDMH) agar proses pembelajaran dan pemantauan kompetensi dapat berjalan secara terstruktur.
Adanya skema kemitraan public-private partnership (PPP) dalam pembangunan dan pengelolaan BLK/BPVP juga penting. Sebab, pihak swasta berinvestasi dalam peralatan dan kurikulum, sedangkan pemerintah menyediakan lahan.
Kelompok II PKN II Angkatan XV Tahun 2025 menekankan, tanpa revolusi talenta lokal, mimpi besar hilirisasi Indonesia terancam kosong.
“Agenda SDM harus berdiri sebagai ‘tulang punggung’ industrialisasi, bukan sekadar pelengkap,” tegas Kelompok II PKN II Angkatan XV Tahun 2025.






