*) Oleh: Nurussalim Bantasyam, S.H.
“Kita membutuhkan ruang imajinatif jika hendak membangun masa depan”, kata penulis Ursula K. Le Guin.
“Segala sesuatu yang dapat anda bayangkan itu nyata”, sebut seniman Pablo Picasso.
Apabila ilmuwan politik Benedict Anderson mengemukakan nasionalisme sebagai sesuatu yang “dibayangkan” (imagined), saat mendengar kata “perpustakaan”, apa yang anda bayangkan?
Di Belanda, berdiri sebuah bangunan bernama “De Boekenkast” (Rak Buku), menjadi gambaran banyak orang tentang perpustakaan.
Sulit untuk tidak mengatakan bahwa diskusi terkait perpustakaan selama ini cenderung terkotak dalam narasi tunggal, bahwa perpustakaan=de boekenkast.
Bahkan cenderung reduksionis dan underestimated: di perpustakaan “kerjanya kan gampang, cuma menyusun buku-buku” dan lembaga perpustakaan yang dianggap “tidak berkelas”.
Sayangnya, sementara narasi tunggal dan stereotip perpustakaan masih mengakar, di berbagai tempat lain, gagasan tentang perpustakaan terus meningkat dan berkembang: dari ruang untuk mendapatkan informasi ke ruang rekreasi, dan dari ruang rekreasi ke ruang-ruang kreativitas, pertumbuhan, dan kohesi sosial.
Tak Sekadar Buku
“Membangun perpustakaan adalah menciptakan sebuah kehidupan. Itu tidak pernah hanya sekadar koleksi buku secara acak”, kata penulis novel Rumah Kertas, Carlos Maria Dominguez.
Di Colorado (Amerika), perpustakaan 21Century contohnya, pernah membuka pintunya dengan sebuah kejutan: tidak ada buku. Kecuali printer 3D, studio audio/visual, dan ruang-ruang kreatif lainnya.
Buku sengaja disembunyikan—bukan dihapus, agar masyarakat bisa melihat perpustakaan dari sudut pandang baru: inkubator ide dan ruang produksi (maker space).
Di Library of Things (Jerman), selain buku, perpustakaan juga menyediakan berbagai peralatan yang dapat dipinjam oleh masyarakat (seperti oven, mesin bor, mesin pemotong rumput, dll).
Perpustakaan Idea Exchange (Kanada) bahkan sama sekali tanpa buku, karena memang didesain sebagai maker space.
Di Kanada, studio podcast bahkan telah menjadi fasilitas standar di banyak perpustakaan umum, di mana orang-orang dapat membuat konten, apakah tentang silsilah keluarga, termasuk pemikiran-pemikiran, sehingga perpustakaan menjadi ruang untuk mendemokratisasi ide dan gagasan.
Perdana Menteri Kanada sebelumnya, Justin Trudeau, juga pernah mengumumkan sebuah kebijakan penting di sebuah perpustakaan di Gore Meadows—memperlihatkan kedudukan strategis perpustakaan.
Konsep, Bukan Bangunan
Bill Ptacek, CEO Perpustakaan Daerah Calgary, Kanada, mengemukakan bahwa “Perpustakaan bukan tempat, melainkan konsep” (The library is not a place, it’s a concept).
Bagi Ptacek, perpustakaan lebih kepada hubungan manusia dan interaksi sosial. Konsep perpustakaan lebih penting ketimbang fisik bangunan. Menurutnya, perpustakaan tanpa interaksi sosial bukanlah perpustakaan sesungguhnya.
Sebagai konsep, De Boekenkast di atas, alih-alih rak buku, ia adalah instalasi seni dari keramik berbentuk susunan buku, yang memuat judul buku/puisi penulis/penyair Belanda dari abad-abad sebelumnya.
De Boekenkast di Lootsstraat, Amsterdam, selain menjadi galeri sastra terbuka dan upaya mendekatkan masyarakat dengan kekayaan sastra mereka melalui desain arsitektur, juga berfungsi sebagai “social glue” (lem sosial) yang merekatkan identitas kolektif, seperti “budaya ngopi” dalam masyarakat Aceh.
Masih terkait peran desain arsitektur, di Brasil ada satu bangunan yang nyaris tidak memiliki dinding dan pintu, karya arsitek Brasil, Vilanova Artigas: sebuah perpustakaan yang mempromosikan kebersamaan, interaksi, dan pertukaran ide.
Di sini Artigas mengadopsi konsep Tempat Ketiga (Third Place) dari sosiolog perkotaan Ray Oldenburg yang sering dipergunakan dalam pembangunan komunitas (community building).
Ruang Bersama
Beberapa artikel mutakhir mengemukakan bahwa perpustakaan masa depan tidak hanya tentang sumber koleksi atau isu transformasi digital, tapi juga pengalaman baru dan ruang bersama.
Di Korea Selatan misalnya, terdapat Perpustakaan Luar Ruangan Seoul (Seoul Outdoor Library), yang memperluas pemahaman kita tentang perpustakaan masa depan: ruang bersama yang menyenangkan, sarana relaksasi dan rekreasi, dan destinasi budaya atau wisata kota—sejalan dengan prediksi Lembaga Nespresso Professional-Workplace Future: ruang bersama adalah tren masa depan.
Dalam konteks yang lebih akademik, Perpustakaan Weston di Oxford, menyediakan ruang yang mendukung pembelajaran dalam suasana sosial.
Adapun gedung CoDA (Computing and Data Science) di Universitas Stanford, tata kelolanya mendorong kolaborasi, pertukaran ide lintas disiplin, bahkan pembelajaran bersama antar kampus.
Sementara itu, dalam cetak biru Perpustakaan dan Kearsipan Singapura 2025, terdapat rangkaian ceramah publik yang menampilkan para pemikir dari berbagai bidang di ruang-ruang publik di luar perpustakaan fisik.
Mirip program Lecture on Tap—seri kuliah malam populer di Amerika. Terkait pendidikan, tetapi ditata ulang sehingga lebih inklusif. Lebih sedikit buku teks, cara baru untuk terhubung dengan para ahli di luar tembok akademis: di kafe-kafe.
Selain membangun komunitas, menjadikan pembelajaran dengan para expert semakin mudah diakses dalam suasana yang menyenangkan.
Pada bagian lain, bilamana Paul Virilio, penulis dan kurator pameran asal Perancis, menggambarkan kota modern yang kehilangan dimensi interaksi akibat dominasi ruang virtual, pada tahun 2021 Pemerintah DKI Jakarta merevitalisasi Taman Literasi Martha Tiahahu.
Sebuah upaya mengaktivasi ruang hijau secara integral dengan ruang sosial perkotaan melalui konsep literasi, di mana perpustakaan berperan sebagai support system.
“Lebih dari sekadar taman, ia adalah tempat pertukaran ide dan gagasan”, kata gubernur DKI Jakarta saat itu, Anies Baswedan.
Sebuah kota adalah ingatan tentang sebuah tempat, sudut, atau jalan. Berapa banyak masyarakat di Aceh mengetahui sejarah atau asal usul nama tempat (toponimi) di mana mereka tinggal? Bisa dihitung dengan jari.
Jika di Aceh terdapat pihak seperti Kota Tanyoe dan Sophie’s Sunset Library yang menginisiasi trip sejarah Kota Banda Aceh, di Meksiko, seorang pemandu wisata dan pecinta buku, Karla Cecena, mengubah sudut-sudut urban menjadi perjalanan naratif. Menggabungkan sastra dengan seni perjalanan, membawa wisatawan menyelami kekayaan sastra Meksiko. “Saya ingin menemukan kembali kota saya, melalui sastra, dan perpustakaannya”, tutur Cecena.
Dengan demikian, perpustakaan juga merupakan upaya napak tilas untuk menyegarkan kembali (reinvigorating) ingatan individu dan kolektif terhadap perjalanan sejarah sebuah kota.
Konsep Ke-ruang-an
Dalam konsep ke-ruang-an (Heteropia) filsuf Perancis Michel Foucault, ruang tidak bisa diberi label yang kaku karena ia memiliki banyak makna dan fungsi.
Pun perpustakaan, ia tidak sebatas “de boekenkast” atau bangunan yang terbuat dari besi dan beton. Tetapi perlu kita lihat, meminjam judul buku Avianti Armand, sebagai “Arsitektur yang Lain”.
Sebuah arsitektur, dalam bahasa sastrawan Goenawan Mohamad, yang tidak hanya berbicara tentang sebuah bangunan, tetapi juga terkait hal-hal yang mengundang kita untuk mengamati ruang-ruang di sekitarnya.
Ruang-ruang yang perlu kita isi dengan banyak mimpi, imajinasi, dan berbagai diskusi yang mencerahkan ketimbang narasi tunggal dan stereotip tentang perpustakaan.
Karena akan berdampak terhadap perpustakaan itu sendiri: apa yang bisa, sudah menjadi apa, dan bagaimana membawa perpustakaan ke level berikutnya, yang notabene adalah untuk memajukan masyarakat.
Ketika kita mengubah ruang fisik, kita cenderung mengubah cara kita berpikir, kata Emmanuel Candès, profesor matematika dan statistik Universitas Stanford. Demikian juga, ketika kita mengubah sudut pandang, artinya kita mengubah cara kita melihat sesuatu.
Dari tulisan di atas, saat mendengar kata “perpustakaan”, apa yang anda bayangkan? (*)
*) Penulis adalah Pelaksana pada Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Kota Banda Aceh, dan Kepala Bidang Perpustakaan Dispersip Kab. Aceh Jaya 2017-2021.
KUPI BEUNGOHadalah rubrik opini pembaca Sabo. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.
BACA TULISAN KUPI BEUNGOH LAINNYA DI SINI






