Free Gift

Mengapa Israel Melanggar Gencatan Senjata di Gaza?

GENCATAN senjata antara Israel dan Hamas yang diumumkan pada 10 Oktober lalu ternyata tidak membawa kedamaian bagi warga Palestina di Gaza. Dalam sepuluh hari sejak kesepakatan itu berlaku, hampir 100 warga Palestina tewas dan 230 lainnya luka-luka akibat serangan militer Israel. Serangan udara dan tembakan langsung terhadap warga sipil terjadi meski kesepakatan damai masih resmi berlaku.

Menurut laporan Al Jazeera, pelanggaran dimulai dari klaim Israel bahwa dua tentaranya tewas diserang oleh pejuang Hamas di Rafah, wilayah yang sepenuhnya berada di bawah kendali Israel. Tak lama setelah itu, militer Israel melancarkan gelombang serangan besar dan luas ke seluruh Jalur Gaza.

Sayap bersenjata Hamas, Brigade al-Qassam, membantah tudingan itu dan menyatakan tidak mengetahui adanya bentrokan di Rafah. Mereka menegaskan wilayah itu sepenuhnya berada di bawah kendali Israel dan tidak ada kontak antara pasukannya dengan pejuang Palestina di sana.

Serangkaian Pelanggaran dan Korban Sipil

Dilansir dari Anadolu, data dari Kantor Media Pemerintah Gaza mencatat sedikitnya 80 pelanggaran gencatan senjata oleh Israel sejak kesepakatan ditandatangani, menyebabkan 97 warga Palestina tewas dan 230 terluka, termasuk 44 orang per Ahad, 19 Oktober.

Pada Jumat, serangan udara juga diluncurkan di berbagai titik, termasuk di lingkungan Zeitoun, menewaskan 11 anggota keluarga Abu Shaaban, 7 di antaranya anak-anak dan 3 lainnya perempuan.

Dalam sidang pembukaan musim dingin Knesset pada Senin lalu, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu justru berbangga bahwa militernya menjatuhkan 153 ton bom ke Gaza pada Ahad, di tengah gencatan senjata.

“Selama gencatan senjata, dua tentara kami gugur. Kami menyerang mereka dengan 153 ton bom dan menghantam puluhan target di seluruh Jalur Gaza,” katanya seperti dikutip Anadolu.

Kesepakatan Gencatan Senjata

Gencatan senjata yang dimediasi Amerika Serikat dengan dukungan Qatar, Mesir, dan Turki memuat 20 poin kesepakatan. Di antaranya penghentian total pertempuran, pembebasan tahanan, penarikan bertahap pasukan Israel, hingga penyerahan pemerintahan Gaza kepada administrasi yang independen dari Hamas.

Hamas menerima sebagian besar poin itu, termasuk menyerahkan seluruh tawanan Israel dan menyerahkan pemerintahan Gaza kepada otoritas independen. Namun mereka menegaskan, tuntutan lain harus dibahas dalam kerangka nasional Palestina yang inklusif.

Hingga kini Hamas telah menyerahkan 20 tawanan Israel yang masih hidup serta 13 jenazah lainnya. Mereka mengaku kesulitan menemukan seluruh jasad karena ribuan orang Palestina, sekitar 10.000 jiwa masih tertimbun puing akibat pemboman Israel.

“Salah satu kendala utama kami adalah tidak adanya alat berat untuk mengangkat reruntuhan,” ujar juru bicara Hamas, Hazem Qassem, dikutip dari TRT World.

Meskipun Presiden AS Donald Trump, yang memediasi kesepakatan itu menegaskan bahwa gencatan senjata masih berlaku, kenyataannya, hingga saat ini pertempuran terus berlangsung. Israel tetap membatasi masuknya bantuan kemanusiaan, dan menetapkan “garis kuning” yang mematikan di Gaza, di mana warga sipil bisa ditembak jika melintas. Sekitar 58 persen wilayah Gaza kini juga masih di bawah kendali militer Israel, menurut laporan Anadolu.

Motif Politik di Balik Perang

Dikutip dari Al Jazeera, banyak pihak menilai Netanyahu menggunakan perang untuk mengalihkan perhatian dari ancaman terhadap posisi dan kebebasan di tengah kasus hukum yang menjeratnya.

Pada November 2024, Mahkamah Pidana Internasional (ICC) mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Netanyahu dan mantan Menteri Pertahanan Yoav Gallant atas tuduhan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan di Gaza.

Perdana Menteri Kanada Mark Carney, bahkan menyatakan negaranya akan menegakkan surat perintah itu bila Netanyahu mengunjungi Kanada. “Ya,” kata Carney saat ditanya apakah ia siap menangkap Netanyahu, dalam wawancara dengan Bloomberg, dilansir dari Anadolu.

Selain ICC, Mahkamah Internasional (ICJ) juga tengah menilai gugatan genosida yang diajukan Afrika Selatan terhadap Israel. Dilansir dari Al Jazeera, jika dinyatakan bersalah, Netanyahu bisa menghadapi hukuman penjara hingga 30 tahun oleh ICC dan tanggung jawab negara Israel bisa dibawa ke Dewan Keamanan PBB.

Want a free donation?

Click Here

Related Post

Tinggalkan komentar