DIREKTUR Eksekutif Migrant Care Wahyu Susilo menilai pernyataan Presiden Prabowo Subianto ihwal tingkat pengangguran di Indonesia yang mencapai level terendah sejak krisis moneter 1998 kontras dengan realita di lapangan. “Ini juga ditunjukkan dengan liputan-liputan media massa mengenai job fair yang overcrowded, kemudian angka PHK yang meningkat,” kata Wahyu saat dihubungi, Sabtu, 16 Agustus 2025.
Wahyu menyebut kondisi ketenagakerjaan Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Ada sejumlah fenomena yang menjadi pertimbangan Wahyu menyatakan demikian. Misalnya kemunculan tanda pagar #KaburAjaDulu yang sempat ramai diperbincangkan pengguna media sosial X pada awal tahun ini.
Tagar #KaburAjaDulu sebenarnya sudah muncul sejak 2023. Laporan Tempo menyatakan tagar ini digunakan sebagai bentuk kritik dan kekecewaan masyarakat terhadap kinerja pemerintah, termasuk isu ketenagakerjaan. “Itu adalah fenomena frustasi, di mana Indonesia menjadi wilayah yang tidak layak ya untuk bekerja, sehingga banyak orang ingin kerja ke luar negeri,” kata Wahyu.
Wahyu juga menyinggung pernyataan Menteri Pelindungan Pekerja Migran Indonesia Abdul Kadir Karding soal masalah pengangguran. Kala itu Abdul menyarankan warga negara Indonesia (WNI) agar bekerja di luar negeri. “Di Jawa Tengah, ada satu juta (pengangguran) yang belum terserap, Anda (mahasiswa) calon (tenaga kerja) yang tidak terserap, maka segera berpikir ke luar negeri,” kata Karding dalam acara peresmian Migrant Center di Universitas Diponegoro (Undip), Semarang, Jawa Tengah, Kamis, 26 Juni 2025.
Fenomena tersebutlah yang membuat Wahyu menilai klaim tingkat pengangguran terendah tidak sesuai dengan fakta lapangan. “Saya menduga klaim-klaim statistik ini adalah hasil kerja asal bapak senang,” tutur dia.
Sementara itu pengamat ketenagakerjaan Universitas Gadjah Mada, Tadjudin Nur Effendi, ikut menanggapi pernyataan Prabowo ihwal tingkat pengangguran di Indonesia. “Secara relatif itu memang turun, tetapi secara absolut itu nggak,” kata Tadjudin saat dihubungi, Sabtu, 16 Agustus 2025.
Tadjudin mengatakan, jika mengacu pada data Badan Pusat Statistik (BPS) memang tingkat pengangguran terbuka (TPT) sebesar 4,76 persen pada Februari 2025. Angka itu jauh lebih rendah dibandingkan dengan TPT pada Desember 1998 yang mencapai 5,46 persen. Angkanya kemudian melejit hingga 6,36 persen pada 1999 dan bergerak fluktuatif saat memasuki periode 2000-an.
Meski begitu, Tadjudin menilai, data BPS dan klaim Prabowo tidak bisa menggambarkan kondisi sesungguhnya dunia pekerjaan di Indonesia saat ini. Sebab jumlah angkatan kerja pada tahun ini terbilang besar, yakni mencapai 153,05 juta orang. Jumlah itu naik 0,62 persen dibandingkan Agustus 2024. “Secara absolut tidak sebanding,” tutur dia.
Menurut Tadjudin, persoalan serius ketenagakerjaan saat ini bukan bertumpu pada tinggi atau rendahnya angka pengangguran terbuka. Sebab, ia mengatakan penyumbang terbesar pengangguran terbuka adalah angkatan kerja yang baru menyelesaikan pendidikan.
Yang perlu menjadi perhatian pemerintah, menurut Tadjudin, adalah dominasi pekerja informal di Indonesia. Sebab para pekerja informal dinilai rentan terhadap kemiskinan. “Precariat itu adalah pekerjaan yang sangat rentan. Rentan terhadap perubahan, rentan karena mereka tidak dilindungi sama sekali. Itu yang berbahaya malah,” kata Tadjudin.