Free Gift

Mengapa Muncul Petisi Tuntut Audit Seleksi SDUWHV Ditjen Imigrasi

PENYELENGGARAAN pengajuan Surat Dukungan Untuk Work and Holiday Visa (SDUWHV) 2025 menuai sejumlah kritik dari calon peserta. Mereka protes karena gangguan sistem yang terjadi selama proses pengajuan berlangsung, hingga dugaan ketidakteraturan sistem dan perlakuan yang tidak adil terhadap calon peserta. Hingga Kamis, 23 Oktober 2025 pukul 17.05 WIB, petisi tersebut telah ditandatangani oleh 4.143 orang.

Petisi tersebut dibuka oleh Mekarisa Asharina dan ditujukan kepada Direktur Jenderal Imigrasi Indonesia, Menteri Luar Negeri Indonesia, Kedutaan Besar Australia di Jakarta, serta Komisi Pemberantasan Korupsi RI.

“Kami, anak muda Indonesia yang peduli pada kesempatan generasi muda untuk belajar dan pertukaran budaya di luar negeri, menuntut transparansi dan akuntabilitas dalam penyelenggaraan kuota SDUWHV antara Indonesia dan Australia yang diselenggarakan oleh Ditjen Imigrasi Indonesia pada 15-17 Oktober 2025,” demikian tertulis dalam badan petisi yang dibuat pada 18 Oktober 2025 itu.

SDUWHV merupakan surat dukungan dari pemerintah Indonesia yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal (Ditjen) Imigrasi, sebagai salah satu syarat untuk mengajukan Work and Holiday Visa Australia. Pengajuan SDUWHV 2025 mulanya dibuka pada Rabu, 15 Oktober 2025 melalui laman sduwhv.imigrasi.go.id dengan 5.500 kuota. Namun, Direktorat Jenderal (Ditjen) Imigrasi mengumumkan pendaftaran dihentikan karena gangguan teknis. Tercatat hanya 80 pemohon yang mendapatkan surat dukungan pada hari itu.

Pengajuan kembali dilanjutkan pada Jumat, 17 Oktober dengan kuota yang masih tersedia untuk 5.420 pemohon. Situs sempat mengalami downtime, namun kemudian total 5.500 kuota akhirnya terisi, setelah tim IT memindahkan dan meningkatkan kapasitas server. Permohonan SDUWHV pun ditutup pukul 20.00 WIB.

Pemohon petisi menuliskan bahwa sejak awal program berjalan, banyak peserta yang melaporkan proses pendaftaran dan pemberian SDUWHV dari Ditjen Imigrasi tidak terbuka. Situs webnya tidak bisa diakses oleh publik serta tidak ada sistem evaluasi yang jelas. Kondisi tersebut dianggap menimbulkan dugaan adanya penyalahgunaan kewenangan dan praktik yang tidak adil terhadap sebagian besar generasi muda Indonesia, padahal seharusnya mereka punya kesempatan sama dalam program WHV ini.

“Kami menilai bahwa kewenangan tunggal Ditjen Imigrasi dalam penyelenggaraan seleksi SDUWHV perlu ditinjau ulang, karena bertentangan dengan semangat pertukaran budaya dan keadilan sosial yang menjadi dasar kerja sama Indonesia-Australia,” demikian katanya.

Selain itu, kewenangan tunggal Ditjen Imigrasi ini dinilai menjadi pintu bagi para oknum yang diduga melakukan praktik jual beli kuota SDUWHV. Oleh karena itu, ada sejumlah poin yang menjadi tuntutan dalam petisi ini.

Pertama, menuntut transparansi penuh dalam proses pendaftaran dan seleksi SDUWHV yang bisa diakses oleh seluruh masyarakat Indonesia. Dengan demikian, publik juga bisa memantau jika ada praktik kecurangan di dalamnya.

Kedua, menuntut audit independen terhadap mekanisme seleksi oleh lembaga seperti Ombudsman atau KPK karena adanya dugaan praktik jual beli kuota. “Calon pendaftar ditawari untuk membayar sejumlah uang dengan kisaran Rp 15-150 juta per orang untuk bisa memenangkan SDUWHV dan mendapatkan slot, menurut foto yang terlampir, proses pengiriman link email untuk pemenang SDUWHV sudah dibicarakan oleh para oknum atau calo penjual kuota jauh-jauh hari sebelum tanggal pendaftaran yang ditentukan.”

Pemohon petisi mengatakan ada kejanggalan ketika pengajuan SDUWHV dibuka lagi pada 17 Oktober. Satu jam setelah akses pengajuan dibuka kembali, tepatnya pukul 15.00 WIB, pemohon mengatakan kuota sudah terisi 4.600, padahal hampir semua orang tidak bisa mengakses situsnya. “Kejanggalan ini yang menjadi sumbu bakar kecurigaan adanya praktek jual beli kuota yang dilakukan oleh oknum di lembaga terkait,” demikian tertulis dalam petisi.

Petisi juga menuntut perbaikan serta audit terhadap sistem website SDUWHV secara menyeluruh. Jika perlu, katanya, kewenangan tunggal Ditjen Imigrasi dalam pelaksanaan pendaftaran program SDUWHV ditinjau ulang. Selain itu, pemohon meminta agar proses aplikasi dipertimbangkan dilakukan langsung melalui sistem resmi pemerintah Australia atau kewenangannya dialihkan kepada Kedutaan Besar Australia di Jakarta.

Di dalam petisi itu juga dilampirkan sejumlah potongan percakapan via media sosial WhatsApp dan Instagram. Namun, tak didetailkan siapa pengirim dan penerima pesan tersebut.

Gini, ada temanku punya 1 slot dari 5 yang mau diuruskan, tertarik?” demikian isi salah satu percakapan via WhatsApp yang dilampirkan.

Berapa dibayar?

45 (juta rupiah), dp 20 (juta rupiah), tidak lolos dp kembali 100%.”

Tudingan kecurangan yang beredar ditepis oleh Ditjen Imigrasi. Imigrasi mengatakan lonjakan akses oleh masyarakat menyebabkan situs mengalami downtime.

Plt. Direktur Jenderal Imigrasi Yuldi Yusman meminta maaf atas gangguan teknis yang terjadi selama periode pengajuan surat dukungan itu. Ia menegaskan, seluruh rangkaian pengajuan SDUWHV 2025 diawasi ketat oleh Ombudsman RI dan Inspektorat Jenderal Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan.

“Kami tegaskan, tidak ada oknum yang dapat menjamin kelolosan pengajuan SDUWHV di luar prosedur resmi. Silakan laporkan pada kami disertai dengan bukti apabila menemukan oknum yang tidak bertanggung jawab,” kata Yuldi saat dikonfirmasi pada Kamis, 23 Oktober 2025.

Di samping itu, sejumlah calon pemohon program WHV yang tergabung dalam Gerakan Relawan SaveWHV juga mengajukan permohonan audiensi resmi dengan Ditjen Imigrasi. Melalui surat yang diunggah dalam akun Instagram @savewhv2025, surat permohonan audiensi telah dikirimkan kepada Ditjen Imigrasi pada Selasa, 21 Oktober 2025.

Mereka berharap dapat menyampaikan aspirasi, pengalaman, serta masukan langsung terkait dengan pelaksanaan SDUWHV 2025, khususnya pada tiga hal. Mulai dari kendala teknis dan gangguan sistem selama pengajuan berlangsung, perubahan sepihak terhadap syarat minimum peserta tanpa pemberitahuan resmi, serta dugaan ketidakteraturan sistem dan perlakuan yang tidak adil terhadap peserta yang memenuhi syarat namun gagal mengakses sistem.

Want a free donation?

Click Here

Related Post

Tinggalkan komentar