Sabo, JAKARTA — Rencana pemerintah yang bakal memasukkan pengemudi ojek online atau driver ojol masuk dalam kategori usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) menuai pro dan kontra. Saat ini, rancangan aturan terkait dengan wacana tersebut masih terus dibahas.
Menteri UMKM Maman Abdurrahman menyampaikan bahwa pembahasan aturan ojol menjadi UMKM dilakukan guna memperkuat dan melindungi ekosistem pasar digital.
Menurutnya, seiring dengan perkembangan zaman, perlu adanya aturan yang dapat melindungi pegiat UMKM di pasar digital, tak terkecuali ojek online.
“Ojek online dalam ekosistem pasar digital ini kan di situ ada transporter, ada aplikator, dan ada UMKM atau merchant-nya. Ada tiga,” kata Maman dalam diskusi media di Kantor Kementerian UMKM, Jakarta Selatan, Rabu (22/10/2025).
Lebih lanjut, dia menyebut bahwa jumlah ojek daring yang masif di Tanah Air menjadi salah satu urgensi pentingnya aturan ini, tercermin dari data ojek daring dari sejumlah aplikator besar di Indonesia.
Kementerian UMKM mencatat pengemudi Grab aktif mencapai 1 juta dari 3,7 juta pengemudi terdaftar, Gojek memiliki 500.000 pengemudi aktif dari 3,1 juta pengemudi terdaftar, Indrive mempunyai 250.000 pengemudi aktif dari total 850.000 pengemudi, hingga Maxim yang memiliki 800.000 pengemudi aktif dari 2 juta yang terdaftar.
Janji Insentif
Maman pun menjanjikan ojol bakal mendapatkan sejumlah insentif jika nantinya masuk dalam kategori UMKM. Khusus individu pengemudi ojol, dia mengatakan bahwa mereka akan mendapatkan banyak insentif apabila dikategorikan sebagai usaha mikro, misalnya pajak penghasilan (PPh) final sebesar 0,5%.
Selain itu, terdapat pula insentif BBM bersubsidi, akses pembiayaan usaha, hingga perlindungan sosial dan jaminan kesehatan yang menurut Maman tengah diupayakan pihaknya.
“Jadi kita lagi mau melakukan terobosan untuk membuat aturan mekanisme yang bisa melindungi mereka. Prinsip dasarnya adalah keadilan yang fair antara UMKM, pemilik aplikasi, dengan ojol di sana,” ujarnya.
Tak hanya untuk pengemudi ojol, dia menyebut usulan aturan ini juga akan mencakup beragam bidang UMKM, antara lain perdagangan barang, layanan dan jasa, transportasi dan logistik, konten kreatif dan konten digital, serta jasa pendukung lainnya.
Ketika ditanya perihal bentuk usulan aturan tersebut, Maman menyerahkannya kepada Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian maupun Kementerian Sekretariat Negara. Menurutnya, Kementerian UMKM saat ini masih menyiapkan poin-poin aturan tersebut secara lebih terperinci.
“Ini sudah kita bicarakan dengan Kementerian Perekonomian, dan Kementerian Perekonomian juga akan menindaklanjuti ini,” ujarnya.
Respons Ojol
Sementara itu, respons pengemudi ojol terkait dengan wacana tersebut cenderung berbeda-beda. Ada yang mendukung, tapi ada juga yang menolak mentah-mentah usulan tersebut.
Ketua Umum Asosiasi pengemudi Ojek Online (Ojol) Garda Indonesia, Raden Igun Wicaksono menyampaikan bahwa pihaknya telah berkomunikasi dengan Kementerian UMKM dan menyambut positif pokok pikiran dalam rancangan regulasi tersebut.
“Memang kami setuju dengan adanya rencana rancangan perundangan atau regulasi yang akan memasukan ojol ke kategori usaha mikro dalam ekosistem UMKM, untuk mengatur hubungan kemitraan antara aplikator dengan pengemudi ojolnya,” kata Igun kepada Bisnis, Rabu (22/10/2025).
Menurutnya, terdapat berbagai keuntungan bagi pengemudi ojol apabila termasuk dalam ekosistem usaha mikro. Pertama, pengemudi ojol akan dikenakan pajak jauh lebih rendah dari pajak penghasilan dalam sistem pekerja.
Pasalnya, dia menyebut Undang-undang (UU) No. 20/2008 tentang UMKM mengatur bahwa pajak bagi pelaku usaha UMKM dikenakan hanya sebesar 0,5%.
Igun melanjutkan bahwa keuntungan lainnya adalah ojol berhak mendapatkan BBM bersubsidi. Namun, terkait insentif tambahan atau bonus khusus bagi pengemudi, dia mengaku belum memperoleh informasi lebih lanjut.
Ketika ditanya apakah rancangan aturan ini dapat menjawab tuntutan kalangan pengemudi ojol mengenai perlindungan dari negara, dia mengamini sebagian. “Sebagian sudah memenuhi tuntutan dalam ekosistem UMKM, sebagian sudah sesuai,” pungkas Igun.
Sementara itu, penolakan terhadap wacana ojol jadi UMKM diutarakan oleh Serikat Pekerja Angkutan Indonesia (SPAI).
Ketua SPAI Lily Pujiati menilai bahwa rancangan aturan tersebut tidak memiliki dasar hukum yang mumpuni. Pasalnya, hubungan kerja pengemudi ojol disebutnya termaktub dalam Undang-undang (UU) No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan, yang menyatakan bahwa hubungan kerja meliputi unsur pekerjaan, upah dan perintah.
“Ketiga unsur ini nyata adanya di dalam aplikasi pengemudi dan semua dikendalikan oleh perusahaan platform. Dalam aplikasi tersebut platform menetapkan unsur pekerjaan berupa pengantaran penumpang, barang dan makanan,” kata Lily saat dihubungi Bisnis, Rabu (22/10/2025).
Lebih lanjut, dia menyebut bahwa unsur upah tecermin dari pendapatan yang diperoleh pengemudi dari tiap pesanan yang diterima dan dipotong hingga 70%, sedangkan unsur perintah melekat pada sanksi kepada pengemudi apabila tidak melaksanakan pekerjaan pengantaran.
Dengan adanya hubungan kerja ini, Lily menilai bahwa keuntungan yang didapatkan pengemudi ojol, taksi online, hingga kurir akan jauh lebih banyak dari insentif yang dijanjikan Menteri UMKM.
Sebagai pekerja, para driver ojol disebutnya bisa mendapatkan berbagai hak seperti upah minimum dan upah lembur, waktu kerja 8 jam dan waktu istirahat, hingga cuti haid dan melahirkan.
Selain itu, Lily berujar bahwa pengemudi ojol juga berhak mendirikan serikat pekerja dan perundingan bersama dengan perusahaan, terutama agar tidak dijatuhkan sanksi pembekuan (suspend) dan putus mitra secara sewenang-wenang tanpa pesangon.
Dia lantas menyinggung komitmen pemerintah dalam sidang Organisasi Buruh Internasional (ILO) tahun ini bahwa tenaga kerja pada ekonomi gig, termasuk ojol, diakui sebagai pekerja platform.
“Oleh karenanya, kami mendesak agar Presiden Prabowo mengesahkan Peraturan Presiden tentang Pelindungan Pekerja Transportasi Online. Hal ini menjadi urgensi agar terjadi sinergi antarkementerian, dan tidak ada lagi inisiatif sepihak kementerian yang membuat peraturan ojol tanpa dasar hukum,” tegas Lily.
Untung Rugi
Kalangan ekonom menilai terdapat plus minus dari rencana pemerintah memasukkan pengemudi ojol menjadi UMKM. Direktur Ekonomi Digital Center of Economics and Law Studies (Celios) Nailul Huda menyampaikan bahwa permasalahan mendasar dari transportasi online di Tanah Air adalah tidak adanya regulasi jelas yang menaungi para pengemudi.
Dia memaparkan bahwa regulasi yang sekarang ada justru terpencar ke beberapa kementerian, antara lain regulasi tentang tarif yang diatur Kementerian Perhubungan (Kemenhub). Sementara itu, regulasi hubungan antara platform dengan driver masuk dalam kategori kemitraan yang menjadi domain Kementerian UMKM.
“Tidak ada regulasi yang diatur oleh Kementerian Ketenagakerjaan karena sifatnya yang berbentuk kemitraan. Maka, sudah sewajarnya memang pengaturan untuk saat ini paling tepat di bawah Kementerian UMKM,” kata Huda saat dihubungi Bisnis, Rabu (22/10/2025).
Namun demikian, dia memberikan sejumlah catatan atas rencana tersebut. Menurutnya, hubungan kemitraan antara pengemudi dan aplikator tak bisa berjalan selayaknya tenaga kerja yang memiliki ketentuan waktu bekerja dan kewajiban lainnya.
Selain itu, dia menggarisbawahi pentingnya perumusan peraturan yang melibatkan asosiasi pengemudi transportasi daring dengan konsep yang setara, khususnya mengenai tarif. Huda juga menegaskan bahwa aplikator wajib memberikan fasilitasi akses jaminan kesehatan bagi pengemudi.
“Dampak positifnya adalah driver bisa lebih fleksibel. Ini harus adil juga bahwa platform tidak memiliki ketentuan [pengemudi] harus aktif dan sebagainya. Kemudian, penentuan algoritma juga harusnya bisa lebih terbuka, tidak ada lagi sistem algoritma yang merugikan driver,” ujarnya.
Terkait dampak negatif rencana ojol masuk dalam kategori UMKM, dia menjelaskan hal ini berkaitan dengan hak seperti tunjangan hari raya (THR) yang melekat pada hubungan pekerja dan pemberi kerja.
Menurutnya, pengemudi ojek online tak bisa menuntut hak-hal tersebut apabila bentuk perjanjian yang dijalin adalah kemitraan. Demikian pula dengan tuntutan terhadap upah minimum, sebab pendapatan pengemudi bergantung kinerja masing-masing dalam skema kemitraan.
“Fleksibilitas pekerjaan ini merupakan ruh dari pekerja gig, di mana driver dapat bekerja untuk lebih dari satu pemberi kerja, baik di industri yang sama atau yang berbeda. Ketika jam kerja dan sistem kerja bersifat fleksibel, pengemudi transportasi online bisa mendapatkan keuntungan lebih,” terang Huda.






