Sabo Di tengah gempuran zaman yang serba cepat, pesantren tetap menjadi penjaga nilai, dan para santri penghafal Al-Qur’an adalah lentera yang menjaga cahaya iman tetap menyala. Dari merekalah lahir generasi yang bukan hanya fasih membaca ayat, tapi juga meneladani maknanya dalam kehidupan.
Santri tahfidz tumbuh bukan sekadar menghafal, melainkan menanamkan kedisiplinan, kesabaran, dan cinta pada ilmu, nilai-nilai yang kini makin langka di tengah hiruk-pikuk dunia modern.
Namun, perjalanan menjadi hafizh bukanlah jalan yang mudah. Dibutuhkan ketenangan, ruang yang mendukung, dan lingkungan yang kondusif agar hafalan dapat melekat kuat di ingatan dan jiwa. Di sinilah pentingnya keberadaan asrama pesantren, bukan hanya sebagai tempat tinggal, tapi juga rumah tumbuhnya generasi Qurani.
Salah satu pesantren yang berjuang menjaga cahaya itu adalah Pesantren Tahfidz Green Lido (PTGL) di kawasan Lido, Sukabumi. Berdiri di atas tanah wakaf keluarga Benyamin Parwoto sejak 2018 dan mulai dibangun pada 23 Desember 2020, pesantren ini menjadi salah satu ikhtiar nyata Dompet Dhuafa dalam mewujudkan ekosistem wakaf produktif yang melahirkan manfaat berkelanjutan bagi umat. Masjid As-Sa’adah menjadi bangunan pertama yang berdiri gagah dan mulai difungsikan pada awal 2023, menjadi pusat ibadah sekaligus ruang utama kegiatan santri.
Namun, dibalik semangat itu, para santri PTGL masih hidup dalam keterbatasan. Hingga kini, asrama mereka masih berupa satu aula besar yang menampung hingga 23 orang tanpa sekat kamar atau ventilasi memadai. Ruangan yang seharusnya digunakan untuk kegiatan bersama kini berubah fungsi menjadi tempat tidur sementara. Udara pengap dan padatnya ruangan sering kali membuat mereka sulit beristirahat dengan tenang.
Keterbatasan itu juga berimbas pada aktivitas belajar. Karena belum memiliki ruang kelas, para santri belajar di masjid, di saung, di samping gudang, bahkan dekat kamar mandi. Kondisi yang jauh dari ideal untuk menghafal ayat-ayat suci. Namun, mereka tak menyerah. “Kami tahu ini belum sempurna, tapi kami ingin terus belajar,” tutur Sulaiman, salah satu santri dengan senyum tabah.
Salah satu kisah yang menggugah datang dari Tsaqieburrahman, remaja asal Alor, Nusa Tenggara Timur. Meski awalnya ragu, dalam waktu hanya setahun, ia berhasil menghafal 30 juz Al-Qur’an. “Di sini, saya tidak hanya belajar Al-Qur’an, tapi juga bahasa asing dan pertanian. Pengalaman ini sangat berharga,” ujarnya.
Ada pula Husein, santri yang lebih suka menghafal di tempat sepi. Hidup di aula besar membuatnya harus menyesuaikan diri. “Kadang saya tidur di bawah biar lebih dingin, karena pengap. Tapi kalau ada kamar yang lebih kecil, mungkin kami bisa lebih tenang menghafal,” tuturnya.
Dari kisah mereka, kita belajar bahwa asrama bukan sekadar bangunan fisik, melainkan ruang tumbuh bagi para penjaga Al-Qur’an. Di tempat yang layak dan nyaman, mereka bisa belajar dengan fokus, beristirahat dengan cukup, dan menjaga semangat hafalan tanpa terganggu. Asrama yang baik adalah pondasi bagi lahirnya hafizh yang kuat, sehat, dan berakhlak.
Kini, Dompet Dhuafa mengajak masyarakat untuk menjadi bagian dari perjuangan ini melalui Wakaf Bangun Asrama e-Tahfidz. Setiap wakaf yang disalurkan akan membantu menghadirkan tempat yang lebih layak bagi para santri PTGL agar hafalan mereka tidak hanya kuat di lisan, tapi juga tumbuh dalam ketenangan dan keberkahan.
Sebab di balik setiap ayat yang terjaga, ada ruang yang memberi ketenangan; dan di balik ruang itu, ada tangan-tangan baik yang ikut menjaga cahaya Al-Qur’an tetap menyala di negeri ini. Mari, bantu para santri menghafal dengan nyaman melalui: digital.dompetdhuafa.org/wakaf/etahfidz






