PIKIRAN RAKYAT – Kereta Cepat Jakarta-Bandung atau Whoosh menjadi babak baru di dunia transportasi Nusantara. Sebab, kereta cepat ini merupakan salah satu pilihan transportasi umum, selain shuttle atau travel, bus, hingga KA Parahyangan.
Dengan kecepatan Whoosh yang mencapai 350 kilometer per jam, lintasan yang membentang 142 kilometer bahkan bisa ditempuh menjadi 45 menit saja. Whoosh juga disebut memiliki teknologi tinggi.
Walakin, ada pertanyaan di benak Pemerhati Transportasi Muhamad Akbar, “Bisakah kecepatan tinggi ini berujung pada sesuatu yang lebih penting—keberlanjutan? Tak sekadar soal ketangguhan teknologi, melainkan juga manfaat ekonomi dan jangkauan sosialnya bagi masyarakat.”
Sebab, menurut Akbar, infrastruktur kelas dunia cuma bermakna bila benar-benar terhubung dengan kebutuhan riil warganya. “Padahal, jika ditelusuri lebih jauh, sejak awal kehadiran Whoosh lebih mencerminkan ambisi simbolik ketimbang kebutuhan mobilitas yang mendesak,” tuturnya.
“Ia muncul bukan karena adanya krisis transportasi Jakarta-Bandung, melainkan dari dorongan untuk membuktikan bahwa Indonesia setara dengan bangsa-bangsa maju pemilik kereta cepat,” kata dia lagi, Selasa, 21 Oktober 2025.
Akbar tak menampik kalau pencapaian teknologinya memang patut diapresiasi. Namun, tanpa pemahaman utuh tentang kebiasaan bepergian masyarakat, kecepatan fantastis itu justru menurut Akbar berpotensi sia-sia.
“Konsekuensinya, pertumbuhan penumpangnya pun berjalan lambat – sebuah ironi yang justru bertolak belakang dengan semangat akselerasi yang diusung. Lantas, ke mana perginya para calon penumpang yang tidak tertarik ini?” ucap dia.
Akbar memandang, Whoosh hadir dengan segmentasi yang jelas: bukan untuk semua kalangan. Pasalnya, tarif premium dan lokasi stasiun yang jauh dari pusat kota membuatnya lebih cocok untuk segmen tertentu.
“Tak heran bila para pelaju harian tetap setia pada travel/shuttle atau bus antarkota. Alasannya sederhana: selain lebih terjangkau, pilihan moda tersebut menawarkan fleksibilitas jadwal dan layanan door-to-door yang memberikan kepraktisan yang sulit tergantikan,” ujarnya.
Di sisi lain, kata Akbar, pengguna mobil pribadi juga belum banyak beralih. Daya tarik utamanya tetap pada kebebasan mobilitas. Menurutnya, tawaran 45 menit di atas rel terasa kurang menggiurkan ketika dihadapkan dengan tarif tinggi, waktu tunggu, dan kerepotan akses menuju stasiun.
“Yang ironis, kecepatan tinggi Whoosh itu pun kehilangan makna ketika perjalanan dihitung dari rumah hingga tujuan akhir—total perjalanan justru kerap tak jauh beda dengan berkendara pribadi,” ujarnya.
Kendati demikian, Akbar mengapresiasi prestasi Whoosh dari sisi mutu layanan. “Kenyamanan kabin yang senyap, desain kursi yang ergonomis, hingga ketepatan jadwal menjadi penanda baru standar transportasi darat Indonesia,” ujar dia.
“Tak kalah penting, kesigapan awak dan keandalan operasionalnya membuktikan kemampuan negeri ini dalam mengelola teknologi mutakhir setara kelas dunia,” ucapnya lagi.
Whoosh, Simbol Harapan
Dia juga memandang kalau dalam persepsi publik, Whoosh sudah melampaui wujudnya sebagai sekadar kereta cepat. Menjelma menjadi simbol harapan bagi layanan publik yang lebih berkualitas.
“Citra positif inilah yang justru menjadi aset berharga di tengah tekanan finansial—sebuah modal sosial yang dapat dipertahankan, sambil menunggu aspek komersialnya sepenuhnya membaik,” ucap Akbar.
Akbar memandang kendati Whoosh dibayangi tantangan finansial, belum kehilangan harapan. Kunci utamanya ada pada kemampuan pemerintah dan operator dalam merancang strategi jangka panjang yang adaptif.
“Bukan sekadar mengejar break-even point, melainkan menciptakan nilai tambah berkelanjutan. Caranya: memperluas basis pengguna, menguatkan konektivitas antarmoda, serta mengoptimalkan potensi ekonomi di sekitar jalur dan kawasan stasiun. Dengan strategi tepat, Whoosh bisa menjadi lokomotif baru bagi pertumbuhan kawasan,” tutur dia.
Akbar pun mengungkapkan kalau untuk mewujudkan strategi tersebut, langkah pertama dan paling krusial adalah membenahi mata rantai yang selama ini terputus: konektivitas.
Lokasi Halim dan Tegalluar, menurutnya, memang bukan di jantung kota, tetapi semestinya bukan masalah bila tersedia angkutan penumpang yang nyaman, andal, dan terintegrasi. “LRT di Halim memang sudah beroperasi, tapi integrasinya masih jauh dari ideal. Waktu tunggu belum sinkron, informasi terbatas, dan proses berpindah moda masih terasa rumit bagi penumpang,” katanya.
Buka Peluang Bisnis Baru
Akbar memandang kalau jalur Jakarta–Bandung bukan sekadar koridor bisnis, tetapi juga kawasan wisata yang terus berkembang. “Inisiatif paket terpadu semacam “Whoosh + Glamping Lembang” atau “Whoosh + Heritage Trip Asia-Afrika” dapat menjadi magnet bagi segmen wisatawan urban yang mendambakan perjalanan singkat tanpa repot,” ucap dia. “Kelebihan utama Whoosh di sini jelas: mobilitas tinggi yang memampatkan waktu perjalanan tanpa mengorbankan kenyamanan.”
Akbar juga menilai kalau peluang itu juga terbuka di segmen korporasi. Kawasan Tegalluar menurutnya bisa dikembangkan menjadi pusat konferensi terpadu.
Konsep meeting out of town menurutnya menarik bagi perusahaan yang mengejar efisiensi sekaligus suasana kerja yang lebih segar dan inspiratif.
“Kritik terhadap Whoosh bukanlah bentuk penolakan, melainkan pengingat bahwa ada hal yang perlu dibenahi,” ujar dia. “Proyek ini tetap menyimpan masa depan cerah—asal tidak dibiarkan menjadi moda transportasi eksklusif yang cuma dinikmati segelintir kalangan atau sekadar jadi pengalaman sekali coba.”
Akbar menilai, masa depan Whoosh ditentukan kemampuannya melayani kebutuhan riil para pelaju harian yang mengutamakan keandalan, kecepatan, dan keterjangkauan.
Whoosh Harus Tetap Berlari
Menurutnya, tanpa langkah korektif yang berarti, Whoosh berisiko terjebak dalam statusnya sebagai sekadar monumen teknologi. Padahal, kata dia, cita-cita besarnya justru terletak pada potensinya sebagai katalisator transformasi logistik dan pariwisata di Pulau Jawa.
“Whoosh tak boleh berhenti sebagai simbol kemajuan yang hanya bisa dinikmati dari kejauhan. Ia harus bergerak melampaui status proyek prestisius, dan menjelma menjadi moda andalan yang hadir dalam denyut kehidupan masyarakat sehari-hari,” ujar dia.
Masa depan transportasi modern Indonesia menurut Akbar bergantung pada keberanian untuk membenahi, mendekatkan, dan memanusiakan layanan publik, bukan sekadar membanggakan kecepatannya.
“Sebab bila tidak, Whoosh akan tinggal nama: cepat, canggih, tapi asing dari kebutuhan rakyat,” tutur Akbar.***






