Sabo Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa akhirnya memberikan penjelasan mengenai alasan pemerintah pusat belum berani menaikkan anggaran Transfer ke Daerah (TKD) untuk tahun anggaran 2026, setelah keputusan pemangkasan anggaran tersebut menuai banyak protes dari para kepala daerah.
Dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026, pemerintah awalnya menetapkan alokasi TKD sebesar Rp649,99 triliun, turun drastis sekitar Rp269 triliun dibandingkan alokasi APBN 2025 yang mencapai Rp919,87 triliun.
Namun, setelah melalui pembahasan dengan DPR, Purbaya menyebut bahwa pemerintah akhirnya sepakat menaikkan sedikit anggaran tersebut menjadi Rp693 triliun, atau naik Rp43 triliun dari rencana awal.
“Sebenarnya kalau saya sih mau saja naikin, cuma pemimpin di atas masih ragu dengan kebijakan itu karena mereka bilang sering diselewengkan uang-uang di daerah,” ujar Purbaya saat Rapat Koordinasi Pengendalian Inflasi Daerah 2025 di Kementerian Dalam Negeri, Senin (20/10/2025).
Purbaya mengaku ingin memperbesar anggaran TKD demi mempercepat aktivitas ekonomi di daerah, namun keraguan dari pimpinan nasional, terutama terkait penyimpangan dana di daerah, menjadi alasan utama penundaan kebijakan tersebut.
Desakan untuk Perbaikan Tata Kelola Daerah
Menkeu kemudian meminta para gubernur dan kepala daerah untuk terlebih dahulu memperbaiki tata kelola keuangan dan mempercepat penyerapan anggaran di wilayah masing-masing.
Ia memberi waktu hingga dua triwulan ke depan kuartal IV tahun 2025 dan kuartal I tahun 2026 untuk menunjukkan perbaikan nyata sebelum ia mengusulkan kembali kenaikan TKD kepada Presiden.
“Kalau jelek saya enggak bisa ajukan ke atas, presiden kurang suka rupanya kalau itu.
Tapi kalau kita punya bukti bahwa udah bagus semua, harusnya enggak ada masalah kita naikkan,” tegasnya.
“Jadi untuk membantu bapak ibu di daerah, tolong bantu saya juga untuk mendapatkan track record seperti itu, dua triwulan saya kira sudah cukup,” lanjut Purbaya.
Catatan KPK Jadi Alasan Utama Penundaan
Purbaya menjelaskan bahwa keraguan pemerintah pusat juga didasarkan pada sejumlah kasus korupsi dan penyalahgunaan anggaran di daerah dalam tiga tahun terakhir, sebagaimana tercatat oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
“Data KPK juga mengingatkan kita, dalam tiga tahun terakhir masih banyak kasus di daerah dari suap audit BPK di Sorong dan Meranti, jual beli jabatan di Bekasi, sampai proyek fiktif BUMD di Sumatera Selatan.
Artinya, reformasi tata kelola ini belum selesai,” kata Purbaya.
Selain itu, Survei Penilaian Integritas (SPI) KPK 2024 menunjukkan bahwa skor integritas nasional masih rendah, yakni 71,53, di bawah target 74.
Hampir seluruh pemerintah daerah masih berada di zona merah, dengan rata-rata skor 67 untuk tingkat provinsi dan 69 untuk kabupaten/kota.
“Jadi ini memang belum aman. KPK bilang sumber risikonya masih itu-itu saja jual beli jabatan, gratifikasi, intervensi pengadaan.
Padahal kalau itu enggak diberesin, semua program pembangunan bisa bocor di tengah jalan,” tegasnya.
Pesan Akhir: Reformasi Dulu, Anggaran Menyusul
Melalui pernyataannya, Purbaya menegaskan bahwa pemerintah tidak menutup kemungkinan menaikkan kembali TKD jika tata kelola daerah sudah menunjukkan perbaikan signifikan.
Namun, ia menekankan bahwa akuntabilitas dan transparansi pengelolaan anggaran menjadi syarat utama sebelum kebijakan itu bisa direalisasikan.
Bagi Purbaya, peningkatan anggaran bukanlah masalah besar, tetapi menjamin uang rakyat digunakan tepat sasaran adalah hal yang jauh lebih penting.
Pemerintah ingin memastikan setiap rupiah dari dana transfer benar-benar memberi manfaat nyata bagi masyarakat daerah, bukan malah hilang di tengah jalan karena lemahnya pengawasan dan korupsi.
***
(TribunTrends/Jonisetiawan)






