Sabo– Hubungan yang tampak sempurna di media sosial sering kali membuat orang berpikir bahwa pasangan tersebut benar-benar bahagia.
Namun, di balik unggahan foto mesra, caption romantis, dan video penuh cinta, ada sisi psikologis yang jarang disadari.
Penelitian menunjukkan bahwa kebiasaan pamer kemesraan di media sosial tidak selalu menandakan kebahagiaan sejati, melainkan bisa menjadi cerminan dari rasa insecure atau tidak aman dalam hubungan.
Fenomena ini semakin umum di era digital, ketika validasi dari like dan komentar menjadi tolok ukur kebahagiaan.
Para ahli psikologi mengingatkan bahwa kebahagiaan sejati tidak perlu pembuktian di dunia maya, karena cinta yang sehat justru tumbuh dalam ruang pribadi, bukan di depan publik.
Melansir Family and Media, Selasa (21/10/2025), sejumlah penelitian menemukan bahwa perilaku ini berkaitan erat dengan konsep Relationship-Contingent Self-Esteem (RCSE), yakni bentuk harga diri yang bergantung pada status hubungan seseorang.
1. Pamer Kemesraan Sering Kali Berasal dari Rendahnya Kepercayaan Diri
Penelitian dari Albright College mengungkap bahwa individu dengan tingkat kepercayaan diri rendah atau kesulitan mengekspresikan perasaan di kehidupan nyata cenderung lebih sering memamerkan hubungannya di media sosial.
Menurut Gwendolyn Seidman, asisten profesor psikologi di kampus tersebut, mereka yang memiliki RCSE tinggi merasa perlu meyakinkan diri sendiri, pasangan, dan orang lain bahwa hubungan mereka “baik-baik saja.”
Dengan kata lain, unggahan romantis bukan selalu tentang cinta, melainkan tentang mencari validasi emosional.
2. Pasangan Bahagia Justru Tak Perlu Banyak Unggahan
Penelitian menunjukkan bahwa pasangan yang benar-benar bahagia justru lebih sedikit membagikan momen pribadi mereka secara publik.
Mereka terlalu sibuk menikmati waktu bersama di dunia nyata daripada terus mengabadikan setiap detik untuk diposting.
Aktivitas seperti mengambil foto terus-menerus atau memperbarui status justru bisa mengalihkan perhatian dari pengalaman emosional yang sebenarnya.
3. Unggahan Romantis Bisa Jadi Upaya Menutupi Ketidakamanan
Tim peneliti dari Northwestern University mewawancarai lebih dari 100 pasangan dan menemukan bahwa mereka yang sering memposting hubungan di media sosial cenderung merasa tidak aman terhadap pasangannya.
Aktivitas ini menjadi semacam mekanisme pertahanan untuk meyakinkan diri bahwa hubungan mereka stabil dan bahagia.
Padahal, menurut para peneliti, kebiasaan tersebut sering kali hanyalah cara untuk menipu diri sendiri agar merasa “baik-baik saja.”
4. Saat Pasangan Dijadikan ‘Trofi’ di Dunia Maya
Fenomena lain yang diangkat adalah kecenderungan menjadikan pasangan sebagai ‘trophy partner’—layaknya simbol status yang dipamerkan.
Dalam kasus ini, seseorang merasa lebih berharga ketika bisa menunjukkan pasangan yang menarik, modis, atau populer.
Unggahan semacam ini bukan tentang cinta, melainkan tentang citra diri dan kebutuhan untuk diakui oleh orang lain. Namun, pola ini berisiko menjadikan pasangan sebagai objek, bukan individu yang dicintai secara tulus.
5. Media Sosial Bisa Mengubah Cinta Jadi Komoditas
Ketika hubungan dijadikan konten, perasaan dan kasih sayang perlahan kehilangan makna sejatinya. Menurut Family and Media, perilaku seperti ini mengarah pada komodifikasi emosi, di mana cinta dan perhatian berubah menjadi alat untuk mencari perhatian publik.
Akibatnya, hubungan tidak lagi berfokus pada kedekatan emosional, melainkan pada bagaimana tampil menarik di mata orang lain.
Namun perlu diingat bahwa unggahan romantis di media sosial tidak selalu mencerminkan hubungan yang sehat.
Dalam banyak kasus, perilaku tersebut justru menandakan adanya kerentanan psikologis dan kebutuhan akan pengakuan eksternal.
Kebahagiaan sejati tidak memerlukan panggung digital, melainkan tumbuh dari kedekatan yang tulus, nyata, dan tidak perlu dipamerkan. Sebab, cinta yang sehat bukan diukur dari jumlah penonton,melainkan dari ketulusan dua hati yang saling memahami.






