Senin lalu pekan lalu, dunia ekonomi merayakan kemenangan ide yang sederhana tetapi revolusioner. Philippe Aghion, bersama Peter Howitt dan Joel Mokyr, dianugerahi Hadiah Nobel Ekonomi 2025 atas kontribusinya menjelaskan bagaimana inovasi dan pembaruan terus-menerus menjadi mesin utama pertumbuhan jangka panjang. Melalui teori Schumpeterian growth (Aghion & Howitt, 1992), mereka menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi lahir dari dua sumber: pertama, dari creative destruction—proses masuk dan keluarnya perusahaan yang memungkinkan pelaku baru menggantikan yang lama; dan kedua, dari inovasi oleh pelaku usaha lama yang memperbarui produk, proses, atau model bisnis mereka.
Konsep pertama berakar pada gagasan klasik Joseph Schumpeter (1942): kemajuan ekonomi adalah hasil dari “seleksi alam” di pasar, di mana perusahaan yang tidak efisien, tidak inovatif, atau berproduktivitas rendah harus tumbang agar sumber daya berpindah ke pelaku yang lebih produktif. Mekanisme ini membuat ekonomi terbuka mampu beradaptasi dengan perubahan teknologi dan selera konsumen. Konsep kedua dikembangkan lebih lanjut oleh Daron Acemoglu, Ufuk Akcigit, dan koleganya (2018; 2021), yang menunjukkan bahwa ketika lingkungan regulasi dan persaingan sehat, pelaku usaha lama justru bisa menjadi motor pertumbuhan melalui inovasi berkelanjutan. Dua sumber inilah—masuknya pelaku baru dan inovasi dari pelaku lama—yang menjaga ekonomi tetap tumbuh berkualitas.
Namun di Indonesia, kedua mekanisme itu tampak melemah. Hambatan masuk dan keluar pasar membuat creative destruction sulit terjadi, sementara investasi riset dan inovasi masih sangat terbatas. Akibatnya, ekonomi terlihat tumbuh, tetapi tanpa pembaruan struktural. Indonesia perlu membenahi ini apabila ingin tumbuh lebih tinggi, apalagi Presiden memiliki target pertumbuhan yang semakin ambisius.
Salah satu hambatan utama terletak pada mahalnya biaya berbisnis. Data World Bank Enterprise Survey (2023) menunjukkan 39,1% perusahaan besar di Indonesia mengaku harus memberi suap agar urusannya berjalan lancar, 60,9% untuk mendapatkan izin konstruksi, dan 44% untuk memperoleh izin operasional. Bribery incidence—yakni persentase perusahaan yang mengalami setidaknya satu permintaan suap—mencapai 35,4%, jauh di atas rata-rata Asia Timur dan Pasifik maupun rata-rata global. Ketika kelancaran usaha mengandung biaya terselubung yang tinggi, bukan efisiensi atau inovasi, mekanisme pasar kehilangan fungsi korektifnya. Perusahaan yang seharusnya keluar dari pasar justru bertahan karena koneksi dan rente, sementara pelaku baru yang lebih efisien tetapi tidak memiliki modal besar dan koneksi sulit tumbuh.
- Tiga Peneliti AS Raih Nobel Ekonomi 2024 Berkat Riset Kesenjangan Ekonomi Global
- Pemenang Nobel Ekonomi Paul M Romer Soroti Masalah SDM di Indonesia
- Setahun Prabowo-Gibran, Pertumbuhan Ekonomi Melesat Tapi Masih Banyak Catatan
Dari sisi inovasi, masalahnya tak kalah serius. Hanya 5,5% perusahaan di Indonesia yang memperkenalkan produk atau layanan baru dalam tiga tahun terakhir, jauh di bawah 26,6% di Asia Timur dan Pasifik dan 28,8% secara global. Untuk inovasi proses, angkanya bahkan hanya 2,9%, dan hanya 4,7% perusahaan menengah dan besar yang mengeluarkan dana untuk riset dan pengembangan—jauh tertinggal dari 18% di kawasan regional. Artinya, bukan hanya pelaku baru yang kesulitan masuk, pelaku lama pun jarang berinovasi.
Di sektor strategis—energi, logistik, perbankan, hingga telekomunikasi—dominan peran BUMN juga menekan dinamika persaingan. Studi Putri, Ikhsan, & Pujiastuti (2025) menemukan bahwa alokasi Penyertaan Modal Negara (PMN) justru lebih sering mengalir ke BUMN yang secara keuangan lemah, sementara perusahaan yang lebih sehat kurang mendapat dukungan. Sepuluh BUMN terbesar menguasai 85% total aset, sedangkan mayoritas BUMN kecil stagnan. Pola ini mencerminkan apa yang disebut Aghion sebagai soft budget constraint: negara terlalu sering “menyelamatkan” yang tidak efisien, sehingga disiplin pasar melemah.
Kinerja BUMN pun relatif tertinggal dibanding perusahaan swasta. Studi yang sama menunjukkan tingkat pengembalian ekuitas (ROE) BUMN hanya sekitar 4%, lebih rendah dari sekitar 7% pada perusahaan swasta, sementara tingkat pengembalian aset (ROA) dan efisiensi operasional mereka juga lebih rendah. Temuan ini menunjukkan bahwa dominasi negara tidak selalu sejalan dengan daya saing dan efisiensi ekonomi.
Lebih jauh, penelitian Akcigit dan kolega (2018) menunjukkan bahwa hambatan pasar tidak hanya muncul dari regulasi, tetapi juga dari koneksi politik. Perusahaan yang dekat dengan elite politik cenderung menikmati akses dan perlindungan lebih besar. Fenomena ini sangat relevan di Indonesia, di mana sejumlah sektor masih dikuasai oleh pelaku usaha dengan afiliasi politik kuat. Ketika politik dan ekonomi berkelindan tanpa keseimbangan institusional, kompetisi menjadi tidak efisien, dan inovasi pun terhambat.
Pandangan Daron Acemoglu, peraih Hadiah Nobel Ekonomi 2024, memberi peringatan penting. Dalam karyanya bersama James Robinson, ia menekankan bahwa kemakmuran jangka panjang bergantung pada inclusive institutions—lembaga yang membuka ruang bagi partisipasi dan inovasi. Sebaliknya, extractive institutions yang menguntungkan segelintir pelaku besar akan menghambat kemajuan karena menutup jalur pembaruan. Kelemahan institusi ekonomi Indonesia—dari birokrasi hingga regulasi yang bias terhadap pemain lama—telah membuat dua sumber utama pertumbuhan tadi kehilangan tenaga.
Lebih mengkhawatirkan lagi, arah kebijakan terkini justru berpotensi memperparah distorsi pasar. Sejumlah program pemerintah seperti Koperasi Desa Merah Putih, yang menyalurkan dana besar tanpa mekanisme kompetitif yang jelas, berisiko menggeser investasi lokal dan mematikan inisiatif swasta di daerah. Program Makan Bergizi Gratis, yang memusatkan pengadaan di tangan kontraktor nasional, berpotensi menghilangkan persaingan di kantin sekolah dan menurunkan mutu produk. Sementara itu, kebijakan pembatasan kuota impor BBM untuk perusahaan swasta oleh Kementerian ESDM telah menyebabkan kelangkaan pasokan dan melemahkan daya saing di sektor energi, karena pemain non-BUMN kehilangan ruang untuk berpartisipasi dalam pasar yang sehat. Ketiga contoh ini menggambarkan pola yang sama: intervensi negara yang terlalu dominan berisiko menutup ruang kompetisi dan menghambat inovasi di tingkat lokal maupun nasional.
Untuk keluar dari jebakan ini, Indonesia perlu memperkuat dua mekanisme pertumbuhan yang telah lama dikenal para ekonom: creative destruction dan inovasi pelaku lama. Negara harus menurunkan hambatan bagi masuk dan keluarnya perusahaan, memperkuat perlindungan bagi kompetisi yang adil, serta membangun sistem insentif yang membuat inovasi lebih menguntungkan daripada rente. Kebijakan industri juga perlu bergeser dari sekadar memberi subsidi atau PMN, menuju kebijakan yang menuntut innovation performance dari pelaku yang sudah ada. Dengan begitu, baik pelaku baru maupun lama memiliki dorongan yang sama untuk memperbaiki diri.
Aghion pernah berkata, pertumbuhan sejati tidak lahir dari stabilitas, melainkan dari kemampuan untuk beradaptasi terhadap gangguan. Ekonomi yang sehat bukan ekonomi yang tak pernah terguncang, tetapi yang mampu menata ulang dirinya sendiri. Jangan sampai proses creative destruction justru berubah menjadi destructive creation—sebuah kelakar yang dari beberapa kolega di LPEM FEB UI—di mana kebijakan atas nama pertumbuhan justru menciptakan distorsi baru yang melemahkan fondasi ekonomi. Indonesia memiliki semua modal untuk melangkah ke tahap berikutnya—populasi muda, pasar besar, dan sumber daya yang melimpah—namun masa depan itu hanya akan tiba bila negara berani menciptakan ruang bagi perubahan. Seperti diingatkan Schumpeter hampir seabad lalu: kemajuan adalah hasil dari kehancuran yang kreatif. Tantangan Indonesia hari ini adalah menemukan kembali keberanian untuk menghancurkan yang tidak lagi produktif, agar yang baru bisa tumbuh.






