Free Gift

Nugas hingga Diagnosis Kesehatan Pakai AI Jadi Pelanggaran Etik Terbanyak di RI

Pesatnya adopsi Artificial Intelligence (AI) dalam kehidupan sehari-hari patut mendapat perhatian serius. Sebab, di balik berbagai kemudahan yang ditawarkan, muncul pula sejumlah persoalan di tengah masyarakat. Mulai dari penyebaran konten buatan AI yang berpotensi menyesatkan hingga ancaman terhadap keamanan data pribadi.

Berdasarkan Indonesia AI Report 2025 yang dirilis Sabo bersama Populix, hal yang paling dikhawatirkan publik adalah penggunaan AI untuk menyamar atau meniru seseorang, seperti dalam kasus deepfake. Sebanyak 76 persen Milenial dan 63 persen Gen Z menilai penyebaran deepfake merupakan ancaman terbesar dalam penggunaan AI saat ini.

Kekhawatiran kedua adalah potensi penyalahgunaan informasi pribadi oleh AI. Sebanyak 64 persen Milenial dan 60 persen Gen Z menilai isu ini menjadi perhatian serius. Kekhawatiran ketiga yang muncul dari kedua generasi tersebut adalah risiko masyarakat menerima informasi yang kurang akurat dari AI.

Survei yang dilakukan Sabo bersama Populix ini bertujuan memahami bagaimana masyarakat Indonesia, khususnya di wilayah perkotaan, beradaptasi dengan kehadiran kecerdasan buatan dalam kehidupan sehari-hari.

Penelitian dilakukan pada 11–25 September 2025 dengan melibatkan 1.000 responden dari Jabodetabek, Surabaya, Medan, Makassar, Denpasar, dan Balikpapan. Komposisi responden terdiri dari 50 persen generasi Milenial dan 50 persen Gen Z.

Selain itu, hasil riset juga menyoroti berbagai bentuk pelanggaran etika yang terjadi selama proses adopsi AI di kehidupan masyarakat, mulai dari penyalahgunaan teknologi hingga ketidaktahuan pengguna terhadap batasan dan tanggung jawab dalam menggunakan AI.

Pelanggaran etika paling tinggi terjadi pada penyelesaian tugas atau pekerjaan tanpa menyebut sumber dari AI mencapai 53 persen. Kemudian, diikuti dengan adanya pelanggaran etika berupa praktik mendiagnosis kesehatan fisik tanpa konsultasi dengan tenaga kesehatan sebesar 34 persen.

Terjadi juga pelanggaran etika berupa diagnosis kesehatan mental tanpa berkonsultasi dengan tenaga medis profesional, ini mencapai 32 persen. Pelanggaran etika lainnya adalah membagikan konten AI tanpa menyebutkan hasil AI serta mengambil keputusan penting hanya berdasarkan AI, yakni sama-sama sebesar 26 persen.

Seberapa Krusial Keamanan Data Bagi Pengguna AI?

Keamanan data memang menjadi masalah paling krusial dalam penggunaan AI. Menurut penulis buku Memahami AI: Sebuah Panduan Etik, Communication and Digital Analyst, Agus Sudibyo, persoalan keamanan data relatif aman jika tidak memasukkan data sensitif saat menggunakan AI.

AA1P0ufT

“Kalau soal keamanan data, sebenarnya selama kita bisa mengendalikan diri untuk tidak memasukkan data-data yang sensitif, maka kita relatif aman dari persoalan keamanan data itu sendiri,” ujar Agus saat dihubungi Sabo, Sabtu (27/9).

Berdasarkan survei Sabo, hanya 21 persen Gen Z dan Milenial yang kurang protektif terkait privasi data dalam penggunaan AI. Sebagian dari mereka kurang memperhatikan kebijakan dan membagikan data tanpa pertimbangan.

Menurut Agus, standar etis dalam penggunaan AI semakin penting dan urgent, khususnya bagi mereka yang bekerja di ranah publik.

“Standar etis itu semakin penting, semakin urgen bagi mereka yang bekerja di sektor publik, dalam arti mereka yang memproduksi sesuatu untuk dikonsumsi oleh publik,” ungkap Agus.

Sementara itu, Managing Partner Discovery Shift sekaligus Praktisi Transformasi Digital, Rama Mamuaya, mengatakan Gen Z menganggap media sosial mempunyai peran menentukan reputasi diri sehingga menilai data digital adalah aset yang harus dijaga baik-baik.

“Bagi Gen Z, media sosial memiliki peran dalam menentukan reputasi seseorang. Hal ini membentuk kesadaran bahwa data digital adalah aset yang harus dikelola dengan hati-hati,” kata Rama saat dihubungi terpisah.

AA1P0ufP

Terkait sikap protektif publik terhadap privasi data, mayoritas publik sebanyak 66 persen masyarakat menilai keamanan penggunaan AI menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia teknologi AI. Kemudian, keamanan AI menjadi tanggung jawab masyarakat capai 56 persen dan pemerintah pusat sebesar 55 persen.

Selanjutnya, keamanan penggunaan AI dianggap menjadi tanggung jawab lembaga pendidikan dan penelitian sebesar 38 persen, organisasi internasional (PBB, UNESCO, dsb) sebesar 30 persen, serta pemerintah daerah sebesar 26 persen.

Rama juga menyebut publik masih belum cukup peduli terhadap data pribadinya sehingga berbagai stakeholder harus lebih waspada serta mampu memahami cara kerja AI. Hal ini, kata dia, diperlukan agar potensi risiko bisa dikelola dengan tepat.

“Tanggung jawab ada di semua stakeholder. Contohnya seperti penyebaran hoaks lewat WhatsApp. Pemerintah melakukan sesuatu, aplikator juga melakukan sesuatu, pengguna juga diajarkan. Tidak bisa hanya salah satu karena semuanya harus berkontribusi dan bergerak bersama dalam waktu yang sama,” jelas Rama.

Baca hasil riset lengkap Indonesia AI Report 2025 di sini:

Want a free donation?

Click Here

Related Post

Tinggalkan komentar