Free Gift

Opini: Asuransi Huru-Hara

Sabo, JAKARTA – Huru-hara sering kali muncul tiba-tiba dan meninggalkan jejak kerusakan yang tidak sedikit. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), huru-hara diartikan sebagai keributan, kerusuhan, atau kekacauan.

Dalam hukum perdata Indonesia, huru-hara dapat dikategorikan sebagai force majeure atau keadaan memaksa. Artinya, situasi di luar kendali para pihak sehingga kewajiban atau prestasi tidak bisa dijalankan. Saat ini, tidak semua kontrak bisnis secara eksplisit memasukkan huru-hara sebagai kejadian yang dilindungi. Seberapa penting perlindungan aset akibat huru-hara melalui asuransi?

Data Armed Conflict Location & Event Data Project (ACLED, 2025) menunjukkan Indonesia masuk dalam kategori “turbulent” alias belum stabil sepenuhnya. Meski tidak termasuk ekstrem seperti Myanmar atau Sudan, peristiwa demonstrasi rutin, kerusuhan lokal, hingga konflik di beberapa daerah membuat Indonesia tetap rawan gejolak. Kerusakan gedung DPRD, pos polisi, hotel, hingga fasilitas umum akibat aksi massa menjadi bukti nyata betapa besar risiko yang ditanggung pemilik aset.

Sebagai contoh, demonstrasi pada 28 Agustus 2025 diperkirakan menimbulkan potensi kerugian ekonomi Rp8–9 triliun secara makro akibat terganggunya sektor jasa. Di Jakarta sendiri, kerusakan infrastruktur mencapai sekitar Rp80 miliar, termasuk MRT, halte Transjakarta, traffic lights, jembatan penyeberangan serta CCTV dan fasilitas pendukung lainnya.

Jakarta telah mewajibkan asuransi aset daerah melalui Pergub DKI Jakarta No.73/2018. Kejadian serupa juga terjadi pada Gedung DPRD Kota Makassar. Gedung dan sejumlah kendaraan dinas ikut terbakar dengan kerugian mencapai Rp253,4 miliar. Setiap tahun, Pemkot Makassar telah mengalokasikan anggaran sekitar Rp80 juta untuk premi pertanggungan.

Kedua kasus ini menunjukkan bahwa asuransi huru-hara dapat berfungsi sebagai “penjaga terakhir” ketika aset publik mengalami kerusakan akibat huru-hara. Melalui asuransi, aset publik bernilai ratusan miliar bisa mendapat perlindungan. Tanpa asuransi, biaya pemulihan harus sepenuhnya ditanggung APBD yang tentu akan membebani keuangan daerah.

Peran Pemerintah Melalui Skema ABMN

Pemerintah Indonesia menaruh perhatian besar pada perlindungan aset publik. Sejak terbitnya PMK 97/PMK.06/2019, aset negara wajib diasuransikan melalui skema Asuransi Barang Milik Negara (ABMN).

Pilot project dimulai pada 2019 dengan 1.360 gedung senilai Rp10,84 triliun yang diasuransikan lewat konsorsium 50 perusahaan asuransi umum yang dipimpin PT Jasindo. Empat tahun kemudian, jumlah aset yang diasuransikan melonjak lebih dari 570 persen menjadi 10.373 objek dengan nilai pertanggungan Rp72,64 triliun. Sejak 2019 sampai Agustus 2025, Jasindo memproteksi 43.919 Barang Milik Negara senilai Rp 316 triliun. 

Meski perkembangan ini cukup signifikan, data menunjukkan cakupan perlindungan saat ini baru mencakup sekitar 34 persen dari total Barang Milik Negara yang dapat diasuransikan, sehingga masih terdapat celah perlindungan (protection gap) yang besar dan perlu segera dipersempit untuk memastikan resiliensi fiskal negara. 

Praktik Asuransi Huru-Hara

Di Indonesia, perlindungan terhadap huru-hara tidak berdiri sebagai produk asuransi tunggal. Ia hadir sebagai perluasan dari polis kebakaran atau properti, yang dikenal dengan istilah RSMDCC (Riot, Strike, Malicious Damage, Civil Commotion).

Perlindungan dalam polis ini mencakup kerusuhan oleh massa, pemogokan atau lock-out, perbuatan jahat seperti merusak karena amarah, penjarahan selama kerusuhan berlangsung, serta kerusakan yang timbul akibat upaya pencegahan kerusuhan. Selain itu, setiap klaim dikenai deductible atau sebagian menjadi risiko sendiri sesuai dengan kontrak asuransi. Skema ini bertujuan untuk mencegah fraud sekaligus mendorong pemilik aset agar lebih berhati-hati menjaga propertinya.

Jika dibandingkan secara internasional, Indonesia dan Malaysia menempatkan asuransi huru-hara sebagai pilihan tambahan. Pemilik aset bisa membeli perluasan polis bila merasa perlu. India, Amerika Serikat, Inggris, dan sejumlah negara Eropa justru memasukkan perlindungan ini secara otomatis dalam polis properti standar.

Sementara itu, Afrika Selatan memiliki pendekatan berbeda melalui asuransi BUMN bernama SASRIA. Polis asuransi huru-hara dijual melalui perusahaan asuransi komersial yang berperan sebagai fronting insurer. Perusahaan asuransi ini menerbitkan polis utama (misalnya property atau motor), lalu risiko kerusuhan dialihkan ke negara melalui SASRIA. 

Bagi masyarakat awam, asuransi huru-hara mungkin terdengar jauh dari kebutuhan sehari-hari. Namun, bagi pemilik usaha, pengelola gedung, hingga pemerintah pusat dan daerah, perlindungan aset melalui polis RSMDCC menjadi sangat mendesak. Perlindungan asuransi bagi aset negara pun bersifat strategis untuk diwajibkan, karena kerugian akibat satu hari kerusuhan dapat menguras dana publik yang seharusnya digunakan untuk pembangunan dan pelayanan masyarakat.

 

Disclaimer

Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan tidak serta merta mencerminkan pendapar OJK

Want a free donation?

Click Here

Related Post

Tinggalkan komentar