Sabo, JAKARTA – Tentu saja kinclong di sini menyangkut mandat cukai keseluruhan yakni mengendalikan konsumsi (regulerend) dan penerimaan (budgetair).
Dua fungsi ini sering disebut tidak bisa sukses bersama karena saling bertentangan. Namun, data kinerja cukai pada periode 2019—2022 membantahnya. Cukai meningkat rerata Rp10 triliun per tahun atau di kisaran 10%. Sementara itu, produksi rokok turun berkisar 1%—3% per tahun.
Kinerja cukai baik dari sisi pengendalian dan penerimaan tercatat ‘hijau’ dalam kurun waktu tersebut. Mungkinkah kinerja kinclong cukai terulang? Tentu saja itu masih memungkinkan meskipun tidak sekaligus kinerjanya berhasil dalam setahun ke depan. Meminjam kalimat Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa saat rapat dengan Komisi XI DPR, ”….situasinya menuju ke arah sana”.
HARGA JUAL ECERAN
Pertama, harga rokok sudah melampaui daya beli masyarakat Indonesia yang bisa dilihat dari kasus produsen rokok di Kediri yang melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Upah regional Kediri pada 2019 sebesar Rp1,9 juta dan rokok branded jenis Sigaret Kretek Mesin (SKM) 12 batang memiliki Harga Jual Eceran (HJE) senilai Rp13.440.Pada 2025, upah regional Kediri sebesar Rp2,6 juta atau hanya naik 35,4%.
Di saat yang sama, harga rokok SKM 12 batang menjadi Rp28.500 atau naik 112,1%. Wajar kiranya apabila imbas dari situasi tersebut, kinerja emiten rokok di bursa saham merah semua pada 2024—2025. Beberapa pabrik meretur rokok brand premium dari pasar dengan porsi yang signifikan karena produknya tidak terbeli oleh konsumen.
Satu model yang bisa mengukur efektivitas tarif cukai terhadap penerimaan adalah model Laffer Curve. Delta kenaikan penerimaan cukai kian mengecil dan tidak sebanding dengan kenaikan tarif cukai tahunan. Pemerintah menaikkan tarif cukai 23% pada 2021 dan hanya mendapatkan tambahan penerimaan cukai 3%. Situasi berulang kembali pada tahun berikutnya, dan pada akhirnya pada 2023 tarif cukai rokok dikerek sekitar 10%, tetapi penerimaan pada tahun tersebut turun 2,35%.
Oleh karenanya, jika diteruskan kembali pada tahun berikutnya maka penerimaan cukai berpotensi kembali tidak optimal.
Pemerintah memiliki dua parameter yaitu tarif dan HJE. Dua parameter ini serupa tetapi tak sama. Serupa karena semuanya akan menambah beban perusahaan. Berbeda karena dampaknya bagi pengusaha dan negara tidak selalu sama. Pemberlakuan tarif cukai spesifik (2007) sebenarnya dilatarbelakangi agar pemerintah fokus beban fiskal ke negara yaitu tarif cukai.
Parameter HJE ditetapkan sebagai dampak kenaikan tarif cukai alias bukan parameter tersendiri untuk kebijakan. Kapan perlu menaikan HJE jika tarif cukai telah 57% dari HJE. Undang-Undang cukai melarangnya. Kebijakan tarif dan HJE pemerintah akan direspons berbeda oleh pengusaha. Jika HJE dinaikkan tidak serta merta pengusaha dideliver beban fiskal kepada konsumen.
Bagi pengusaha yang produknya dijual dengan harga riil di bawah HJE, tak perlu menaikan HJE tetapi cukup mendekatkan harga riil ke HJE (gapmengecil). Mereka yang menjual produknya dengan harga riil sama dengan HJE atau bahkan di atasnya akan menaikkan HJE. Elastisitas produk masing masing pengusaha menjadi pembeda lantaran kurang elastis directly shifting forward kepada konsumen.
Sebaliknya yang sangat elastis memilih backward shifting efisiensi bahan baku atau komponen HJE lainnya. Inilah kenapa jika pemerintah selalu mengupdrade HJE padahal inflasi tahunan kisaran 3% HJE rokok menjadi tidak riil di pasaran (Sunaryo dkk., 2019).
Jika pemerintah menaik-kan tarif cukai saja, secara umum pengusaha akan menaikan harga riil dan shifting forward. Harga rokok lebih riil di pasar. Anggito Abimanyu, Kepala Badan Kebijkan Fiskal (BKF) tahun 2008, menyampaikan bahwa “Pemerintah jangan terlalu mencampuri harga”. Bahkan pada 2009 dilakukan rasionalisasi HJE rokok golongan menengah dan kecil 15%.
Kinerja penerimaan cukai tetap mencapai target APBN ditetapkan pada tahun ter-sebut. ROKOK ILEGALPusat Penelitian Kebijakan Ekonomi (PPKE) Universitas Brawijaya menyimpulkan bahwa kenaikan tarif cukai dari 0% hingga 50% mendorong peredaran rokok ilegal di golongan menengah dari 6,8% menjadi 11,6%.
Klaim bahwa rokok ilegal semata-mata faktor enforcement perlu dilihat konsisinya. Sebuah screenshoot WhatsApp dari handphone pelaku rokok ilegal ketika pemerintah menaikan tarif cukai sebesar 23%,”…kita akan kaya!….” Hal ini kian menguatkan bahwa rokok ilegal bukan semata-mata enforcement. Karenanya, pendekatan fiskal juga perlu ditempuh.
Penambahan layer adalah satu opsi membendung rokok ilegal. Pabrik yang tidak mampu membayar cukai sebelumnya bisa membayar dengan tarif realistis. Opsi ini pasti banyak ditentang bagi mereka yang mengaitkan dengan tax avoidance. Sepanjang 2008—2025, layer tarif cukai dari 21 layer menjadi 8 tarif secara teori fiskal menjadi sebuah pencapaian.
Namun, jika melihat kinerja penerimaan dan rokok ilegal saat ini, wacana penambahan tarif boleh dikaji kembali. Bukankah kinerja pengendalian dari aspek prevalensi juga belum optimal? Mengambil data rokok ilegal Nielsen 12,6%, Indodata 46,95%, bahkan survei UGM 6,8% (2024), prevalensi merokok hanya menurun secara formalitas, bukan realitas.
Dengan situasi ini, pemerintah mengalami tekor ganda yakni sudah tak membayar cukai, merokok pula. Tidak ada kebijakan yang ideal untuk sektor cukai pada situasi terkini. Kebijakan menaikkan tarif atau HJE kemudian berharap dapat menambah penerimaan, tidak sejalan dengan data di atas.
Menurunkan tarif atau HJE secara teori memungkinkan dan laffer curve sejalan dengan itu.
TARIF TURUN
Dalam jangka pendek, kinerja cukai dari fungsi penerimaan cepat terwujud. Jenis SKM di mana 50% berkontribusi penerimaan akan mendongkrak penerimaan dengan cepat (tahun 2019). Apakah lazim secara praktik? Indonesia pernah menurunkan tarif atau HJE rokok dua kali.
Presiden Soekarno melalui Undang-Undang Nomor 21/1946 dalam satu konside-ranya, ”Percentage cukai tembakau dirasakan amat tinggi dan memberatkan kepada rakyat”. Dan kemudian diturunkan cukainya.
Pada 2009 melalui PMK: 181/PMK.011/2009, peme-rintah juga menurunkan tarif cukai golongan III dari Rp65 ke Rp50 per batang serta HJE turun 15% dengan pertimbangan harga riil rokok 50% di bawah HJE.Opsi realisitis kebijakan cukai 2026 adalah tidak ada perubahan tarif dan HJE.
Perlu waktu recovery selama 2 tahun ke depan apabila menginginkan industri rokok recovery dan ditata kembali. Kebijakan cukai yang perlu dihindari adalah menaikkan tarif atau HJE.Rokok ilegal kembali diberi ruang bersaing oleh pemerintah itu sendiri.
Karenanya menjadi pertanyaan apakah pemerintah akan mengulang hal serupa? Tentu kita semua tidak mau seperti yang disampaikan oleh Albert Einstein bahwa ”Definisi kegilaan adalah melakukan hal yang sama berulang-ulang dan mengharapkan hasil yang berbeda!”. Semoga.






