Oleh: Akbar Hiznu Mawanda, S.H., M.H., C.Me., C.CD.
Alumnus Magister Hukum Universitas Airlangga, Pemerhati Hukum Informasi Geospasial
Sabo– Disahkannya Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2025 tentang Sistem Sertifikasi Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia memberi warna baru dalam kebijakan pengelolaan kepala sawit berkelanjutan di Indonesia atau Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO).
Kehadiran peraturan presiden yang menggantikan Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2020 tentang Sistem Sertifikasi Kepala Sawit Berkelanjutan Indonesia ini tidak hanya mempertegas komitmen Indonesia terhadap tata kelola sawit yang berkelanjutan namun juga menjadi “senjata” pemerintah Indonesia untuk merespon kritik internasional terkait isu lingkungan yang seringkali diangkat dalam berbagai diskursus mengenai kelapa sawit berkelanjutan di Indonesia.
Melalui Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2025, Presiden Prabowo Subianto mencoba menerapkan strategi barunya dalam mengelola kelapa sawit berkelanjutan di Indonesia.
Salah satu strategi barunya adalah penambahan lingkup baru dalam skema sertifikasi kelapa sawit berkelanjutan di Indonesia yang tadinya hanya satu lingkup menjadi tiga lingkup.
Melalui peraturan presiden ini, kewajiban untuk melaksanakan sertifikasi kepala sawit berkelanjutan tidak hanya untuk lingkup usaha perkebunan kelapa sawit namun juga lingkup industri hilir kelapa sawit dan usaha bioenergi kelapa sawit.
Penambahan lingkup sertifikasi ini ditujukan untuk menguatkan daya saing produk sawit di pasar global karena meningkatnya nilai dari sertifikat kelapa sawit berkelanjutan Indonesia yang semakin komprehensif ketertelusurannya.
Meski demikian, strategi penambahan lingkup sertifikasi kelapa sawit berkelanjutan Indonesia yang dituangkan melalui peraturan presiden ini menampilkan sebuah sisi yang berpeluang melahirkan permasalahan baru dalam pengelolaan kelapa sawit berkelanjutan di Indonesia.
Trisula yang Berisiko
Selain penambahan dua lingkup baru dalam sertifikasi kelapa sawit berkelanjutan Indonesia, kebijakan baru yang dituangkan dalam Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2025 adalah penambahan jumlah “pemain”.
Berbeda dengan Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2020 yang menjadikan Menteri Pertanian sebagai “penyerang tunggal” dalam pelaksanaan sertifikasi kelapa sawit berkelanjutan Indonesia, Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2025 menetapkan Menteri Pertanian, Menteri Perindustrian, dan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral sebagai “trisula penyerang”.
Penggunaan trisula ini berisiko menjadi pedang bermata dua. Jika tidak diorkestrasi dengan baik, maka trisula yang digadang-gadang menjadi senjata ampuh dalam meningkatkan daya tawar kelapa sawit Indonesia di mata dunia internasional, justru menjadi titik lemah dalam upaya tersebut.
Salah satu risiko yang berpeluang lahir dari kondisi tersebut adalah potensi disharmoni antarperaturan yang ditetapkan.
Risiko ini muncul ketika ternyata Peraturan Presiden Nomor 16 tahun 2025 membuka ruang bagi masing-masing menteri tersebut untuk menerbitkan peraturan pelaksanaan dari Peraturan Presiden tersebut tanpa memberikan batasan secara jelas mengenai sejauh mana cakupan pengaturan dari masing-masing peraturan pelaksanaannya.
Penggunaan frasa “sesuai dengan kewenangannya” dalam pasal-pasal yang mengatur pembagian pengaturan dari masing-masing menteri berisiko memberi ruang interpretasi yang begitu luas dalam memaknai kata “kewenangannya”.
Ini memberi peluang untuk menciptakan tumpang tindih kebijakan yang tertuang dalam peraturan pelaksanaan yang nantinya ditetapkan oleh masing-masing menteri tersebut.
Taktik tak kasat mata
Selain penggunaan strategi trisula yang berisiko menjadi senjata makan tuan, ketiadaan pengaturan mengenai pemanfaatan informasi geospasial menjadi salah satu titik lemah dari strategi baru ISPO.
Melihat tujuan dari lahirnya Peraturan Presiden Nomor 16 tahun 2025 yaitu untuk meningkatkan keberterimaan pasar dan pelaksanaan prinsip keberlanjutan di seluruh rantai pasok produk dan/atau turunan kelapa sawit, maka informasi geospasial harusnya menjadi salah satu fondasi utama dalam implementasi sertifikasi kelapa sawit berkelanjutan Indonesia.
Sertifikasi kelapa sawit berkelanjutan Indonesia tidak hanya memerlukan kepastian legalitas batas areal tanam namun juga legaliltas zonasi kawasan hutan dan kesesuaian dengan rencana tata ruang.
Ketiadaan informasi geospasial terlebih yang presisi dan andal berisiko memicu ketidakpastian status hukum lahan, tumpang tindih kawasan, dan memperlambat proses audit dalam pelaksanaan sertifikasi.
Belum lagi ketika berhadapan dengan regulasi global seperti European Union Deforestation Regulation atau EUDR yang menuntut komoditas kelapa sawit yang diekspor ke benua biru harus terbukti bebas dari deforestasi.
EUDR menunjukkannya dengan membuat persyaratan secara spesifik yaitu geolocation dari lahan produksi kelapa sawit yang diekspor.
Keberadaan persyaratan ini semakin menguatkan posisi informasi geospasial yang saat ini menjadi fondasi tak kasatmata dalam implementasi Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2025
Informasi geospasial sebagai penentu
Informasi geospasial memiliki posisi yang sangat krusial untuk menjadi amunisi ampuh dalam baik dalam menjadi alat mitigasi risiko maupun sebagai pengungkit daya tawar kelapa sawit Indonesia di dunia internasional.
Informasi geospasial akan sangat bermanfaat untuk memastikan seluruh pemangku kepentingan, dari pekebun, pelaku usaha, industri, konsumen hingga auditor sertifikasi, beroperasi di atas referensi ruang kebumian yang sama khususnya dalam menegakkan prinsip single source of truth dalam penentuan status legalitas lahan sawit.
Informasi geospasial juga dapat difungsikan sebagai alat monitoring dan evaluasi yang presisi.
Memungkinkan auditor dan pemerintah memvisualisasikan riwayat perubahan tutupan lahan pada area kebun secara real-time.
Kemampuan deteksi dini ini adalah kunci untuk menjaga kredibilitas dan momentum akselerasi sertifikasi yang diamanatkan oleh Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2025.
Informasi geospasial juga bisa digunakan sebagai bagian dari tindakan preventif untuk mencegah terjadinya disharmonisasi yang dapat muncul dari lahirnya tiga peraturan menteri untuk melaksanakan Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2025.
Informasi geospasial yang berkualitas, terutama peta dasar dari Badan Informasi Geospasial dapat dijadikan alat harmonisator dalam pengimplementasian dari tiga peraturan tersebut.
Penggunaan informasi geospasial yang sama akan meminimalisasi ambiguitas geografis yang seringkali menjadi sumber konflik.
Informasi geospasial berfungsi sebagai “bahasa bersama” dan platform integrasi yang memastikan bahwa meskipun ada tiga peraturan yang mengatur, pada akhirnya, semuanya merujuk pada peta dan koordinat yang sama.
Harmonisasi substansi di tingkat implementasi lapangan pun akan tercipta.
ISPO sejatinya adalah janji Indonesia kepada dunia bahwa sawit kita dikelola secara berkelanjutan.
Janji ini hanya akan diakui apabila dibangun di atas fondasi informasi geospasial yang kokoh.
Dengan informasi geospasial sebagai acuan, ISPO dapat berdiri tegak sebagai instrumen yang tidak hanya melindungi kepentingan lingkungan dan sosial, tetapi juga menjaga keberlanjutan ekspor serta kepentingan jutaan petani dan pekerja sawit di tanah air. (*)
Simak terus berita Sabodi Google News






