JURNAL SOREANG – Bertepatan dengan perayaan Hari Santri, Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LP2M) UIN Sunan Gunung Djati Bandung menyelenggarakan Focus Group Discussion (FGD) persiapan pembentukan layanan disabilitas.
Kegiatan yang berlangsung Ruang Pimpinan Fakultas Adab dan Humaniora (FAH) pada Selasa 22 Oktober 2025 ini mendapatkan dukungan penuh dari Rektor melalui Wakil Rektor I bidang akademik untuk menciptakan kampus inklusif.
Dalam sambutannya, Wakil Rektor I Prof. Dr. H. Dadan Rusmana, M. Ag memaparkan UIN SGD Bandung memiliki komitmen untuk mewujudkan layanan disabilitas, namun masih terkendala berbagai hal.
“Di antaranya adalah belum tersedianya kebijakan, tata Kelola, dan anggaran khusus. Namun demikian semoga Unit Layanan Disabilitas (ULD) ini bisa terwujud segera,” tegasnya.
Kepala PSGA, Irma Riyani, dalam pengantarnya meyatakan tujuan dari FGD tersebut adalah untuk mendiskusikan berbagai hal yang diperlukan dalam proses pembentukan ULD ini terutama terkait kebijakan, penganggaran dan tatakelola.
“Ini selaras dengan visi UIN SGD Bandung yakni basis Rahmatan Lil Alamin yang apabila diinterpretasikan salah satu indikatornya adalah non diskriminatif dengan prinsip no one left behind. Perguruan tinggi memiliki peran strategis dalam membentuk sumber daya manusia unggul yang adaptif dan inklusif. Termasuk di dalamnya adalah akses dan partisipasi yang setara dalam pendidikan tinggi,” paparnya.
Ketua LP2M, Setia Gumilar mengamini untuk terbentuknya ULD ini sebagai titah dari Undang-Undang no. 48 tahun 2023 dan PMA no. 1 tahun 2024 tentang akomodasi yang layak bagi peserta didik penyandang disabilitas.
“Perguruan tinggi dikatakan unggul bukan hanya pada aspek akademik saja, tetapi ada aspek lain seperti fasilitas sarana dan prasarana untuk disabilitas,” jelasnya.
FGD ini diawali dengan pemaparan tim peneliti tentang kebijakan disabilitas di UIN Sunan Gunung Djati Bandung yang disampaikan oleh Asep Muhamad Iqbal Ph. D., dengan menjelaskan data dan fakta di lapangan terkait fasilitas dan pengalaman para mahasiswa penyandang disabilitas.
“Kebijakan yang belum ada serta pemahaman yang kurang tentang keberadaan disabilitas di kampus menjadikan kurangnya empati terhadap teman-teman mahasiswa yang memiliki kebutuhan berbeda ini,” bebernya.
Terdapat beberapa mahasiswa penyandang disabilitas yang juga hadir dalam FGD ini menyampaikan pengalaman dan harapan yang besar untuk terbentuknya ULD ini.
Kendala pembelajaran tentu saja dialami oleh mereka seperti proses pembelajaran yang tidak maksimal karena keterbatasan sarana dan prasarana, terisolasi.
“Sampai ada juga yang mengalami stigma dan peminggiran. Teman-teman mahasiswa disabilitas ini berada di bawah naungan komunitas dengan nama Inklusifin,” ujarnya.
Ketua Inklusifin, Hazar, menyatakan teman-teman mahasiswa disabilitas sebenarnya bukan ingin diistimewakan, tetapi diberikan akses dalam proses pembelajaran sesuai dengan kebutuhan yang diharapkan dan keterbukaan informasi yang memadai.
Dalam pemaparannya, Asep Muhamad Iqbal menjelaskan matrix kebijakan yang perlu diperhatikan untuk proses pembentukan ULD ini di antaranya terkait formulasi dan sosialisasi kebijakan, peningkatan infrastruktur dan layanan, pelatihan dan pendampingan serta monitoring dan evaluasi.
“Tentunya pendapat dan masukan dalam proses pembentukan ULD ini adalah pedoman perlu dibuatkan, banyak berjejaring, penyempurnaan sarana dan prasarana baik secara fisik maupun sumber informasi, bacaan dan fasilitas pembelajaran yang memadai bagi para mahasiswa penyandang disabilitas,” tandasnya.
Mengakhiri FGD ini, Irma Riyani menyatakan langkah konkrit dari tindak lanjut FGD tersebut akan dibuatkan Tim Khusus yang akan menggodok lebih matang persiapan pembentukan ULD ini agar segera terwujud dengan dukungan dari semua pihak.
FGD ini dihadiri kurang lebih 30 peserta yang terdiri dari para Katim, para Wakil Dekan I dan Wakil Direktur I, para dosen pengamat disabilitas dan mahasiswa disabilitas yang berada di bawah naungan Komunitas Inklusifin.***






