Free Gift

Orang yang Jarang Menunjukkan Emosi Biasanya Memiliki 7 Pengalaman Ini Saat Masih Anak-Anak Menurut Psikologi

SaboSetiap orang memiliki cara yang berbeda dalam mengekspresikan perasaan. 

 

Ada yang mudah tertawa, menangis, atau marah di depan orang lain. 

 

Namun, ada juga yang tampak datar, tenang, bahkan sulit ditebak karena jarang menunjukkan emosi secara terbuka. 

   

Psikologi melihat bahwa sikap ini tidak muncul begitu saja, melainkan terbentuk dari pengalaman hidup, khususnya masa kecil.

Anak-anak yang tumbuh dalam situasi tertentu belajar bahwa emosi bukanlah sesuatu yang aman untuk ditunjukkan, atau mereka dilatih untuk mengendalikannya lebih ketat.

 

Dilansir dari Geediting pada Senin (18/8), terdapat tujuh pengalaman masa kecil yang sering menjadi latar belakang mengapa seseorang jarang mengekspresikan emosinya ketika dewasa.

   

Misalnya, keluarga yang menganggap menangis adalah tanda kelemahan, atau tertawa terlalu keras dianggap tidak sopan.

 

Lingkungan seperti ini membuat anak belajar bahwa emosi harus ditahan, sehingga terbawa hingga dewasa.

2. Pernah Mendapat Penolakan Saat Menunjukkan Perasaan

Seorang anak yang pernah diejek karena menangis, atau dimarahi ketika marah, bisa merasa bahwa mengekspresikan emosi itu berbahaya. 

 

Rasa takut ditolak atau dipermalukan membuatnya lebih memilih menahan diri. 

 

Akhirnya, saat dewasa, ia terbiasa menutup rapat perasaannya agar tidak kembali terluka.

3. Menjadi Anak yang Harus Dewasa Sebelum Waktunya

Anak-anak yang tumbuh di keluarga penuh masalah—misalnya orang tua sering bertengkar, atau harus membantu mengurus adik sejak kecil—sering dipaksa untuk menjadi “lebih dewasa.” 

 

Mereka belajar mengendalikan emosi karena merasa tidak ada ruang untuk bersikap kekanak-kanakan. 

 

Hasilnya, saat besar, mereka terlihat kuat namun cenderung dingin.

4. Terbiasa Mengandalkan Diri Sendiri

Beberapa anak tidak terbiasa mendapat dukungan emosional dari orang tua atau lingkungannya. 

 

Setiap kali sedih, takut, atau kecewa, mereka harus menenangkan diri sendiri.

 

Dari kebiasaan ini tumbuhlah pola: lebih baik memendam perasaan daripada berharap orang lain memahami. 

 

Inilah sebabnya orang dewasa tersebut jarang menunjukkan emosi, meski sebenarnya ia merasakannya.

5. Hidup dalam Lingkungan yang Menjunjung Tinggi Prestasi

Di beberapa keluarga, pencapaian akademik atau prestasi lebih dihargai dibandingkan perasaan. 

 

Anak yang selalu dituntut untuk berprestasi sering belajar menekan emosinya demi fokus pada target.

 

Ia terbiasa mengutamakan logika dan kinerja, sehingga ketika dewasa, ekspresi emosinya menjadi minim.

6. Memiliki Orang Tua atau Figur yang Dingin

Psikologi juga menemukan bahwa anak-anak banyak meniru cara orang tua menghadapi hidup. 

 

Bila orang tua jarang mengekspresikan perasaan, anak cenderung menganggap itu sebagai hal normal. 

 

Lambat laun, mereka membangun pola yang sama: menjaga wajah tetap datar dan tidak membiarkan emosi terlihat jelas.

7. Pernah Mengalami Trauma atau Situasi Tidak Aman

Trauma masa kecil, baik berupa kekerasan fisik, verbal, maupun pengalaman ditinggalkan, bisa membuat anak memilih “membekukan” perasaan sebagai cara bertahan. 

 

Dengan menutup diri secara emosional, mereka merasa lebih aman. 

 

Pola perlindungan ini sering terus bertahan hingga dewasa, menjadikannya pribadi yang terlihat tenang, bahkan kaku.

Kesimpulan: Di Balik Wajah Tenang, Ada Cerita yang Dalam

Orang yang jarang menunjukkan emosi bukan berarti tidak punya perasaan.

 

Justru seringkali, mereka memiliki dunia batin yang sangat kaya, namun memilih menyimpannya rapat-rapat karena terbentuk dari pengalaman masa kecil. 

 

Psikologi mengingatkan kita bahwa setiap sikap yang terlihat “dingin” di luar, sering kali adalah hasil dari perjalanan panjang yang penuh pembelajaran.

Pelajarannya adalah, daripada menganggap mereka dingin atau tidak peduli, lebih baik kita memahami latar belakangnya. 

 

Dengan empati, kita bisa menciptakan ruang aman agar orang-orang seperti ini merasa bebas untuk membuka diri—meski hanya sedikit demi sedikit.

 

Want a free donation?

Click Here