Sabo – Dalam beberapa tahun terakhir, mobil listrik sempat digadang-gadang sebagai masa depan industri otomotif global. Namun, tren tersebut kini menunjukkan tanda-tanda pelambatan. Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (GAIKINDO) mengungkapkan bahwa pasar mobil listrik di luar negeri mulai mengalami fase jenuh, dan sejumlah faktor menjadi penyebab utama lesunya penjualan kendaraan listrik berbasis baterai (Battery Electric Vehicle/BEV).
Saturasi Pasar dan Peralihan Teknologi
Ketua Harian GAIKINDO, Anton Kemal Tasli, menjelaskan bahwa pasar mobil listrik di negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Jerman, dan Jepang mulai memasuki fase saturated market. Artinya, permintaan terhadap BEV sudah mencapai titik maksimal dan tidak lagi mengalami pertumbuhan signifikan. “Dengan segala keterbatasan BEV, pasti orang mulai beralih. Karena ada batasnya, pasar itu akan saturated,” ujar Anton.
Kondisi ini mendorong banyak produsen otomotif untuk mulai mengembangkan teknologi alternatif seperti plug-in hybrid dan hybrid electric vehicle (HEV). Teknologi hybrid dianggap lebih fleksibel karena tidak sepenuhnya bergantung pada infrastruktur pengisian daya listrik, yang masih menjadi tantangan di banyak wilayah.
Harga dan Ketidakpastian Teknologi
Selain saturasi pasar, faktor harga juga menjadi penghambat utama pertumbuhan mobil listrik. Banyak konsumen memilih untuk menunggu model mobil listrik yang lebih murah dan memiliki teknologi lebih canggih. Hal ini menyebabkan pergerakan pasar menjadi lambat dan stagnan. Produsen besar seperti Tesla, Volkswagen, dan Mercedes-Benz bahkan mengaku khawatir dengan tren ini, terutama karena tingkat suku bunga yang tinggi dan ketidakpastian ekonomi global.
Ketidakpastian teknologi juga menjadi alasan mengapa konsumen menunda pembelian. Banyak yang beranggapan bahwa teknologi mobil listrik akan terus berkembang dalam beberapa tahun ke depan, sehingga lebih baik menunggu model yang lebih efisien dan terjangkau daripada membeli sekarang.
Infrastruktur dan Daya Saing
GAIKINDO juga menyoroti masalah infrastruktur sebagai salah satu penyebab lesunya pasar mobil listrik. Di banyak negara, jaringan pengisian daya belum merata dan belum mampu mendukung penggunaan mobil listrik secara luas. Hal ini membuat konsumen merasa tidak nyaman dan ragu untuk beralih dari kendaraan konvensional ke kendaraan listrik.
Di sisi lain, daya saing mobil listrik juga masih menjadi tantangan. Meskipun ramah lingkungan, performa dan jangkauan mobil listrik masih kalah dibandingkan dengan kendaraan berbahan bakar fosil. Ditambah lagi, biaya produksi dan harga jual yang tinggi membuat mobil listrik belum bisa bersaing secara optimal di pasar global.
Dampak terhadap Industri Otomotif
Lesunya pasar mobil listrik global juga berdampak pada industri otomotif secara keseluruhan. GAIKINDO mengkhawatirkan bahwa pergeseran ke mobil listrik dapat menggerus lapangan kerja di sektor otomotif, terutama di negara-negara yang masih bergantung pada produksi kendaraan konvensional. Di Indonesia, misalnya, sebagian besar permintaan mobil listrik masih dipenuhi dari impor, sehingga tidak memberikan kontribusi signifikan terhadap industri lokal.
Sekretaris Umum GAIKINDO, Kukuh Kumara, menyebut bahwa mobil listrik kini mulai menyasar segmen pasar bawah dengan harga di bawah Rp 400 juta per unit. Namun, segmen ini justru berkontribusi besar terhadap total penjualan mobil di Indonesia, yakni sekitar 57% dari total penjualan tahun lalu. Jika mobil listrik terus menggerus pasar ini tanpa dukungan produksi lokal, maka dampaknya terhadap tenaga kerja dan industri dalam negeri bisa cukup besar.
Fenomena lesunya pasar mobil listrik di luar negeri menjadi peringatan bagi pelaku industri otomotif, termasuk di Indonesia. Meskipun kendaraan listrik tetap menjadi bagian penting dari transisi energi dan pengurangan emisi karbon, pendekatan yang lebih realistis dan strategis perlu diterapkan. Pengembangan teknologi hybrid, peningkatan infrastruktur, serta dukungan terhadap produksi lokal bisa menjadi solusi untuk menjaga keseimbangan antara inovasi dan keberlanjutan industri.






