Sabo– Peringatan Hari Santri Nasional (HSN) tanggal 22 Oktober kemarin selalu menyisakan euforia perayaan.
Namun, setelah pawai dan upacara usai, momentum paling penting yang harus dilanjutkan adalah introspeksi mendalam dan refleksi strategis mengenai peran sentral santri di tengah derasnya arus modernisasi dan tantangan digital.
Introspeksi: Mengukur Ketahanan Karakter Santri.
Introspeksi pasca-HSN menuntut seluruh komponen pesantren—mulai dari kiai, pengurus, hingga santri—untuk melihat ke dalam diri dan mengukur implementasi nilai-nilai dasar.
1. Keutuhan Nilai Adab dan Disiplin:
Pertanyaan kritisnya adalah sejauh mana nilai-nilai fundamental pesantren, seperti adab (akhlak), kejujuran, dan disiplin, masih tertanam kuat.
Di era yang serba instan, introspeksi ini memastikan bahwa santri tetap menjadi benteng moral yang menjunjung tinggi etika dalam setiap tindakan.
2. Kualitas Keilmuan dan Moderasi Agama:
Introspeksi juga harus menyasar kualitas keilmuan. Santri perlu mengevaluasi sejauh mana mereka telah mendalami Kitab Kuning dan ilmu-ilmu keagamaan, serta memastikan tradisi keilmuan Islam yang moderat (tawasuth) dan toleran (tasamuh) tetap menjadi pegangan, tidak tergerus oleh paham-paham keagamaan ekstrem
3. Semangat Khidmah (Pengabdian):
Peringatan HSN harus diterjemahkan menjadi semangat pengabdian yang nyata. Introspeksi dibutuhkan untuk memastikan bahwa semangat juang para pendahulu tidak hanya berhenti pada hari perayaan, tetapi terus berlanjut dalam kontribusi dan bakti nyata di tengah masyarakat.
Refleksi Kritis: Jihad Literasi di Era Digital
Jika introspeksi berfokus pada kualitas internal, refleksi adalah perenungan tentang bagaimana santri berinteraksi dengan dunia luar dan menanggapi tantangan zaman.
1. Peran Santri Melawan Hoaks:
Tantangan terbesar saat ini adalah krisis informasi dan maraknya penyebaran hoaks di ruang digital. Santri, dengan bekal keilmuan dan kredibilitasnya, harus merefleksikan diri sebagai “pelurus berita” dan “pembawa pencerahan”.
Refleksi ini melahirkan “Jihad Literasi” yakni gerakan kolektif untuk melawan fitnah, manipulasi kebenaran, dan konten negatif secara daring.
2. Integrasi Tradisi dan Modernitas:
Lembaga pesantren perlu merefleksikan model pendidikannya. Mempertahankan tradisi adalah keharusan, namun pesantren juga wajib merespons kebutuhan zaman.
Refleksi strategis diperlukan untuk mengintegrasikan pengajaran agama dengan penguasaan teknologi, literasi digital, dan keterampilan wirausaha, memastikan alumni pesantren kompeten di bidang agama maupun profesional.
3. Penguatan Hubbul Wathan:
Hari Santri adalah pengakuan negara terhadap perjuangan santri. Refleksi harus menguatkan kembali semangat Cinta Tanah Air (Hubbul Wathan Minal Iman).
Santri dituntut untuk menjadi garda terdepan dalam menjaga persatuan, toleransi, dan kebinekaan, sesuai dengan nilai-nilai Islam Rahmatan Lil Alamin dan konsensus NKRI.
Menyambung Juang, Merengkuh Masa Depan:
Momentum Hari Santri harus menjadi titik tolak bagi seluruh komunitas pesantren untuk tidak cepat berpuas diri dengan seremoni.
Introspeksi dan refleksi adalah kunci agar santri tetap relevan dan mampu menyambung juang para ulama pendahulu, serta merengkuh masa depan sebagai agen perubahan yang cerdas, berkarakter, dan senantiasa berbakti untuk kemajuan bangsa.***






