Free Gift

Perang Jawa Diponegoro dalam Lima Fragmen Racikan Wawan Sofwan

PERANG Jawa yang meletus pada 1825 dan terekam dalam Babad Diponegoro diangkat oleh Wawan Sofwan, sutradara grup teater Kelompok Mainteater, Bandung, ke panggung teater. Ia menampilkan peristiwa-peristiwa penting dalam perang itu lima fragmen dalam pertunjukan di Auditorium Perpustakaan Nasional, Jakarta pada 21 Juli dan 7 Agustus 2025. Kelimanya adalah “Titik Api: Sang Erucokro”, “N’avez-vous rien entendu? (Apakah Kalian Telah Mendengar Sesuatu?)”, “135 Menit: Menjemput Takdir”, “Prawira Estri”, dan “Sang Tahanan Negara”. Pentas ini sebagai bagian dari peringatan 200 tahun Perang Jawa.

Fragmen pertama, “Titik Api: Sang Erucokro”, menghadirkan detik-detik awal meletusnya Perang Jawa, yang disebut juga Perang Diponegoro. Saat itu, pemerintah Hindia Belanda hendak membangun jalan dan memasang patok dan tombak hingga ke tanah milik Pangeran Diponegoro di Tegalrejo, Yogyakarta. Dua punakawan Diponegoro, Djojosuroto dan Banteng Wareng, melaporkannya kepada Diponegoro dan sang pangeran pun gusar.

Diponegoro sudah lama menentang kebijakan Patih Danurejo IV dan Belanda yang menyengsarakan rakyat. Masyarakat ditekan dengan banyak pajak. Korupsi merajalela. Tatanan keraton kacau balau.

Pemasangan patok itu menjadi puncak kemarahan Diponegoro. Ketika Pangeran Mangkubumi datang untuk membujuknya agar menerima rencana pembangunan jalan itu, tapi sang pangeran menolak.

Serdadu Belanda pun mengepung rumah Diponegoro dengan meriam pada 20 Juli 1825. Diponegoro bersama Pangeran Mangkubumi, yang bergabung dengannya, kabur ke Selarong, menyusul keluarganya yang diungsikan terlebih dulu.

“Retno, ridhoi aku untuk menjadi Sultan Ngabdulkamid Erucokro,” kata Diponegoro kepada istrinya, Maduretno, dalam percakapan sebelum perang meletus.

AA1KnKyqPentas Fragmen Diponegoro di Auditorium Perpustakaan Nasional, Jakarta, 7 Agustus 2025. Dok. Perpustakaan Nasional

Diponegoro menyampaikan tiga syarat kepada Belanda untuk menghindari perang. Pertama, Belanda kembali ke negaranya dan tetap berhubungan dagang. Kedua, Belanda hanya boleh tinggal di Batavia atau Semarang dengan tetap membayar sewa dan transaksi perdagangan dengan harga yang baik. Ketiga, jika orang Belanda masuk Islam akan dinaikkan derajatnya sesuai kedudukannya. Belanda menolak dan perang pun pecah.

Perang Jawa dan dampaknya dihadirkan dari sudut pandang Antoine Auguste Joseph Payen, pelukis dan arsitek Belgia yang dipekerjakan Belanda, yang menjadi saksi mata perlawanan Diponegoro. Fragmen ini menampilkan monolog kesaksian Payen, yang diberhentikan secara mendadak karena pemerintah Belanda menghemat anggaran yang tergerus perang.

Payen bekerja sebagai arsitek untuk memugar rumah-rumah para residen di Yogyakarta. Suatu ketika ia mendengar banyak orang berkumpul di rumah Diponegoro di Tegalrejo. Orang menyebut Diponegoro sebagai Pangeran Pemberontak dan dianggap berlaku kasar kepada residen Belanda di Yogyakarta. Diponegoro, misalnya, menolak membalas surat dan memenuhi panggilan Patih Danurejo IV.

Dalam pandangan Payen, tindakan residen dan Patih Danurejo salah karena mengancam Mangkubumi. Payen mengatakan, ada desas desus Diponegoro akan melakukan pemberontakan untuk merebut tahta. “Saya sudah merasakan hal buruk akan terjadi,” kata Payen.

Menurut Payen, pasukan Belanda dalam jumlah cukup besar mengepung rumah Diponegoro di tengah sawah. Dua meriam menggempurnya. Diponegoro dan pendukungnya melawan dengan katapel berpeluru batu.

Payen lalu menyaksikan Diponegoro mundur perlahan karena gempuran meriam itu. “Diponegoro sedikit menjauh perlahan menunggangi kuda yang indah dengan hiasan yang megah. Ia mengenakan pakaian serbaputih seperti pakaian Arab. Selendang turbannya berkibar ditiup angin. Ia membuat kudanya berjingkrak. Kendali diikatkan ke sabuknya,” Payen menuturkan.

Pasukan Diponegoro menutup jalur perbekalan sehingga pasukan Belanda mulai kelaparan. Perbekalan yang menipis membuat sebagian dari mereka membelot. Harga beras melambung dan tak mencukupi untuk kehidupan sehari-hari. Kelaparan juga dirasakan di keraton dan rakyat hingga ada yang meninggal. Anak-anak sultan juga kelaparan dan ratu bahkan meminta dibawakan nasi yang tersisa dari pesta residen. Satu liter beras saat itu setara harga keris. Kondisi ini akhirnya memaksa Letnan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Hendrik Merkus de Kock menurunkan bantuan pangan.

Fragmen ketiga menampilkan para pasukan perempuan yang dipimpin Raden Ayu Yudokusumo yang didampingi Nyi Ageng Serang, ahli strategi dan panglima perang Sultan Hamengku Buwono I, kakek Diponegoro. Di awal perang, ia membantu Diponegoro memimpin pasukan dari atas tandu. Pasukan perempuan dengan tombak dan panah itu membantu perjuangan di wilayah Pantai Utara Jawa. Fragmen ini menampilkan dialog antara Nyi Ageng Serang dan Raden Ayu Yudokusumo. Fragmen ini lebih menonjolkan gerak dan koreografi pemain dengan tombak dan panah.

Peristiwa penangkapan Diponegoro di Gedung Karesidenan Kedu sebagai siasat licik De Kock hadir dalam fragmen keempat. Di panggung yang sangat sederhana, hanya ada sebuah meja dan dua buah kursi, terjadi percakapan antara Diponegoro dan De Kock.

AA1KnN4WPentas Fragmen Diponegoro di Auditorium Perpustakaan Nasional, Jakarta, 7 Agustus 2025. Dok. Perpustakaan Nasional

Fragmen ini diawali De Kock yang sangat frustrasi menghadapi perlawanan Diponegoro. Perang ini telah menghabiskan jutaan gulden untuk mendatangkan prajurit bantuan dan membangun benteng. Namun, ribuan prajurit Belanda tetap jadi korban.

Di adegan berikutnya Diponegoro datang memenuhi undangan De Kock untuk berunding. Diponegoro datang tanpa prasangka akan dikadali. Ia sebenarnya telah punya firasat tidak mengenakkan. Ternyata firasatnya benar. De Kock bertindak culas dengan menyiapkan perangkap untuk menangkap Diponegoro dan pengikutnya. Adegan penangkapan ini tak digambarkan seheboh yang digambarkan pada lukisan Penangkapan Diponegoro karya Raden Saleh.

Imajinasi penonton digiring ke dalam suasana hening dengan pencahayaan yang redup. De Kock hanya menanyakan apakah Diponegoro perlu mengikutsertakan para pengikut dan keluarga. “Hanya akan menyusahkan mereka,” kata Diponegoro pendek.

De Kock menggeser meja dan mengembalikan kursi ke belakang, mepet ke latar panggung, lalu dia menghilang. Hanya tinggal Diponegoro yang naik ke atas meja dan berdiri. Ia menyampaikan perasaan masygulnya. Ada kesedihan dan kepasrahan terhadap takdirnya tapi ia tak menyesalinya.

Fragmen terakhir, “Sang Tahanan Negara”, menghadirkan sudut pandang tak terduga dari Knoerle, letnan Belanda yang mengawal Diponegoro dalam pelayaran ke pengasingan di Manado. Knoerle menyediakan bekal, menentukan akomodasi, dan berusaha mengusir segala kekhawatiran sang pangeran.

Pada Senin, 3 Mei 1830, Diponegoro bersama delapan pengikut perempuan dan 11 laki-laki masuk ke kapal Pollux. Knoerle menjelaskan situasi di kapal dan tempat Diponegoro tidur, yang dia sebut sebagai kabin depan. Kabin ini punya pintu penghubung dengan kabin kedua untuk menampung selir Diponegoro, Raden Ayu Retnoningsih, keluarga Tumenggung Dipoyudo dan istrinya. Knoerle bermonolog sambil sibuk menulis dan memeriksa setumpuk kertas di meja.

Pollux mulai berlayar esoknya. Diponegoro sedari awal menunjukkan tanda-tanda kurang sehat. Ia menderita demam dan malarianya kambuh. “Saya tidak berhasil membujuk sang pangeran untuk minum obat-obatan Eropa,” kata Knoerle. Sementara itu, hampir setiap hari ada saja orang yang meninggal di kapal itu.

Bagi Knoerle, Diponegoro seorang yang tahan banting dan merawat diri. Dia selalu minum jamu Jawa dan ubi kering untuk menangkal efek mabuk laut. Diponegoro juga sempat protes karena tak ada kentang dalam perbekalan mereka.

Knoerle lalu menawarkan anggur putih. Diponegoro menyatakan bahwa demam malaria melemahkannya sehingga dia bersedia membentengi diri dengan anggur putih. Dia juga minta Knoerle untuk memberikan anggur merah kepada para pengikutnya sebagai obat mabuk laut.

Diponegoro dan Knoerle mengobrol banyak hal, dari sejarah, pemerintahan, hingga agama. Selama bermonolog, Knoerle, yang diperankan oleh Matthias Hektor Ventker, cukup menjiwai perannya. Sambil sesekali minum, makan, dan duduk dia menyampaikan kisah perjalanannya mengawal Diponegoro. Ada latar suara ombak lautan yang menebalkan suasana di kapal. Tiba di Manado, Knoerle tetap waspada karena menganggap Diponegoro masih berbahaya meski sudah berada di tempat pembuangan.

Knoerle memuji Diponegoro, yang dia nilai seorang yang mulia dan diberkati dengan kecerdikan dan ketabahan. “Kualitas ini sangat jarang ditemui di kalangan bangsawan Jawa,” ujarnya.

Bagi Knoerle, Diponegoro seorang yang fanatik yang menganggap prinsip-prinsip keagamaannya sebagai yang terluhur. Menurutnya, Diponegoro ingin mendirikan sistem keagamaan di atas reruntuhan sistem yang ada. Keinginan Diponegoro untuk berziarah ke Mekah juga sangat kuat.

Sutradara Wawan Sofwan mengatakan persiapan lima fragmen ini cukup menantang. Ia menyusun lima cerita dengan benang merah Perang Jawa berdasarkan riset dengan membaca banyak buku, terutama karya sejarawan Peter Carey. Pada mulanya pementasan direncanakan hanya tiga fragmen, tetapi kemudian diperluas menjadi lima fragmen. “Dari buku sudah ketemu nanti bagian ini untuk fragmen ini, fragmen ini, setelah itu naskah mengalir,” kata Wawan kepada Tempo seusai pementasan pada 7 Agustus 2025.

Wawan juga membuat “Prawira Estri” untuk menonjolkan peran perempuan dalam Perang Jawa. Nyi Ageng Serang menjadi sosok perempuan yang sangat signifikan. “Membahas Perang Jawa, yang menonjol laki-laki, padahal di sini ada peran prajurit perempuan yang ikut berjuang,” kata dia.

Proses latihan untuk pementasan ini dilaksanakan secara paralel di Bandung dan Jakarta, mulai dari pembacaan naskah, penyelarasan bahasa, hingga akting. Meski sudah berkonsultasi untuk menyelaraskan bahasa Jawa, tapi tetap saja beberapa pemain masih cukup kaku berdialog dengan aksen Jawa.

Wawan tak menampilkan properti yang megah di panggung. Propertinya cukup sederhana tapi cukup mendukung pengadeganan. Ia lebih banyak menggali suasana kebatinan sang tokoh dari peristiwa tersebut.

Wawan juga melibatkan Matthias Hektor Ventker, aktor dari Jerman. Ventker mengaku bangga bisa tampil dalam pentas ini. Awalnya ia ragu. Apalagi ia tak terlalu fasih berbahasa Indonesia. “Saya terkejut ketika melihat naskah. Dua puluh halaman semua berbahasa Indonesia,” kata Ventker kepada Tempo.

Ventker kemudian mempelajari kosakata demi kosakata dan menerjemahkannya ke dalam bahasa Jerman. Ia mempelajarinya selama tiga bulan dan kemudian berlatih dengan Wawan untuk mendalami karakter Knoerle sambil mempelajari sejarah Diponegoro dan berkunjung ke Museum Sonobudoyo, Yogyakarta. Ia merasa tertantang untuk menggambarkan relasi antara Knoerle dan Diponegoro serta menggambarkan karakter Knoerle yang bisa berbincang, mempercayai, dan menghormati Diponegoro.

Want a free donation?

Click Here