SORE itu langit tidak benar-benar cerah. Ada noda-noda kecil di jalanan bekas hujan yang turun hanya dalam tempo hitungan menit. Tetiba Emilia mengajakku pergi ke kedai kopi yang jaraknya tiga kali panjang lapangan sepak bola dari tempat kami bekerja. Aku tidak perlu menghabiskan uang selembar pun. Emilia berjanji akan membayar semua makanan dan minuman yang kami pesan.
Sinar matahari yang akan tenggelam menemani langkah kami hingga tiba di depan kedai kopi. Di dalam masih banyak kursi yang belum terisi sehingga leluasa memilih tempat yang kami inginkan. Emilia mengajakku duduk di pojok dekat jendela sehingga dapat jelas memperhatikan pengunjung yang keluar masuk ke dalam kedai kopi.
Belum satu menit menyimpan tas di atas meja, Emilia menyodorkan layar telepon genggamnya.
“Lihat, May! Lelaki macam apa dia?”
Mataku menatap layar kaca telepon genggam dalam pelukan tangan Emilia. Seorang lelaki berkepala botak, kulit agak gelap terlihat menatap kamera. Kedua tangannya menggenggam erat tangan seorang perempuan berbaju tipis.
“Dia bilang aku selingkuh. Ternyata dia yang selingkuh.”
“Sabar! Sabar! Jangan lekas terbakar api cemburu, Mil! Belum tentu perempuan itu selingkuhannya.”
“Kamu lihat cara dia memegang tangan perempuan itu! Genggamannya begitu mesra.”
Emilia tersulut emosi. Matanya mulai berkaca-kaca.
“Sabar dulu, Mil! Kamu konfirmasi dulu ke dia!”
“Alaaahh… Konfirmasi apaan. Dia sebenarnya yang selalu menyulut api. Aku benci dia.”
Wajah Emilia merah terbakar amarah. Napasnya tidak teratur. Air matanya setitik demi setitik bergulir membelah kedua pipinya.
**
HARI itu menjelang makan siang, sepasang kaki Emilia mendarat mulus di depan meja kerjaku. Wajahnya cerah ceria. Senyuman kecil menghiasi wajahnya. Aku yang sedari pagi dikepung rutinitas pekerjaan ikut bahagia mengawasi wajahnya.
“Pacarku ngajak nonton besok malam,” katanya dengan raut wajah cerah.
“Emm… Baguslah.”
“Dia itu sebenarnya lelaki paling baik yang pernah dekat denganku. Walau kami sering bertengkar, hati kami kebalikannya. Benci-benci tapi sayang.”
Emilia tertawa lepas. Saking kerasnya membuat segenap mata penghuni ruangan, kompak menatap kepadanya.
Esok paginya, sebelum punggung rebah pada bantaran kursi hitam, Emilia mencegatku dengan derai air mata.
“May, ternyata dia jahat. Dia membatalkan acara nontonnya. Katanya, dia ada keperluan mendadak. Tetapi aku yakin seratus persen, dia pasti ada janji dengan perempuan lain.”
Emilia terisak-isak. Aku merangkul badannya. Mulutku terkunci tidak dapat mengeluarkan sepatah kata pun.
**
NADA dering telepon genggam membangunkanku dari mimpi. Hari ini adalah hari Minggu. Hari bermalas-malasan. Aku menarik selimut dan menggeser posisi tubuh mendekati meja kecil di samping tempat tidur. Dari layar telepon genggam terbaca nama Emilia memanggil-manggil.
“Halo! Selamat pagi!”
“Ini dengan May?” Suara lelaki agak berat terdengar menyebut namaku.
“Maaf mengganggu! Ini kakaknya Emilia. Saya terpaksa menghubungi karena sebelum meninggal Emilia mengirim pesan kepadamu.”
“Meninggal?”
“Oh… Maaf! Emilia tadi pagi ditemukan meninggal di kamarnya.”
Tidak terdengar suara. Hanya napas kesedihan yang kutangkap.
“Begini, May! Emilia ditemukan gantung diri di kamarnya!”
Telepon genggam kembali hening. Aku melonjak kaget. Tubuh yang masih lemah tiba-tiba bereaksi dengan cepat. Rasa kantuk hilang dalam sekejap.
“Ini benar, Mas?”
“Betul. Kami juga tidak menyangka. Atas nama Emilia, kami minta maaf kalau selama hidupnya pernah berbuat salah.”
Telepon genggam hening. Aku terpaku tidak bergerak. Lemas. Perlahan-lahan pesan terakhir dari Emilia kubuka.
Jam pada pesan terakhir dari Emilia menunjukkan pukul tiga lebih dua menit dini hari tadi.
May! Aku minta maaf apabila selama ini terlalu banyak merepotkanmu. Kamu adalah teman terbaik yang mau mendengarkan curahan isi hatiku. May! Aku telah sebulan mengandung anak hasil dari hubungan dengan teman lelakiku. Dia tidak mau tanggung jawab. Dia memilih pulang ke kampung halamannya di seberang laut. Aku malu pada ibu, bapak, saudara, dan teman-temanku. Daripada menanggung aib, lebih baik aku akhiri hidupku sekarang. Mungkin ini curhatku yang terakhir.
Butiran-butiran air mata membasuh pipiku. Hatiku hampa. Hari-hari bersama Emilia menggantung di atas kepala.***