Pedoman Tangerang – Tulisan Ulil Abshar Abdalla mengenai “Pesantren dan Panoptikon” menyajikan refleksi yang menarik sekaligus provokatif tentang perubahan struktural dan epistemik yang dihadapi pesantren dalam era digital.
Ulil berangkat dari analogi panoptikon Benthamian untuk menggambarkan bagaimana masyarakat, termasuk komunitas pesantren, kini hidup dalam tatanan sosial yang sarat pengawasan. Meski analogi ini tampak relevan secara permukaan, persoalan mendasarnya justru terletak pada bagaimana konsep pengawasan itu diinternalisasi, dimaknai, dan dinegosiasikan dalam ruang budaya yang secara historis memiliki struktur moral tersendiri.
Di sinilah pendekatan filosofis dan antropologis menjadi penting untuk menelisik bukan hanya logika pengawasan, tetapi juga ontologi sosial yang menopang dunia pesantren.
Secara konseptual, gagasan “situasi panoptikon” yang dikemukakan Ulil menegaskan bahwa kita tengah hidup di era keterbukaan ekstrem, di mana batas antara privat dan publik runtuh. Namun, dari perspektif filsafat sosial, istilah “situasi” tersebut sebetulnya menandakan lebih dari sekadar kondisi eksternal. Ia menandai transformasi epistemik: bagaimana subjek manusia, baik individu maupun kolektif, mengalami perubahan dalam relasinya dengan kekuasaan dan pengetahuan.
Foucault, dalam ‘Discipline and Punish’, telah menegaskan bahwa panoptikon bukan sekadar sistem pengawasan, melainkan mekanisme pembentukan subjek yang sadar diawasi dan karenanya menertibkan dirinya sendiri. Maka, “situasi panoptikon” bukan sekadar persoalan visualitas, melainkan persoalan eksistensial: bagaimana manusia belajar menyesuaikan perilakunya dengan logika pengawasan yang telah diinternalisasi.
Analogi Benthamian yang diangkat Ulil tepat dalam menggambarkan dimensi arsitektural kekuasaan, tetapi kurang memadai bila tidak dibaca melalui pembacaan Foucauldian yang lebih dalam. Dalam arsitektur panoptik klasik, pengawasan bersifat vertikal dan asimetris: satu mata mengawasi banyak subjek. Namun, dalam panoptikon digital, struktur pengawasan menjadi horizontal dan terdifusi ke segala arah.
Dengan demikian, yang terjadi bukan sekadar ‘the gaze of the warden’, tetapi ‘the mutual gaze of the crowd’. Antropologi digital menyebut fenomena ini sebagai ‘participatory surveillance’: pengawasan partisipatif di mana subjek secara sukarela menjadi bagian dari mekanisme kontrol sosial. Dalam situasi semacam ini, konsep tradisional tentang pengawasan moral di pesantren, yang semula berorientasi pada pembentukan akhlak, terancam tergantikan oleh pengawasan performatif yang berorientasi pada pencitraan.
Pergeseran ini memiliki konsekuensi antropologis yang mendalam. Dalam struktur sosial pesantren, relasi antara pengawasan dan bimbingan selalu mengandung dimensi etis dan spiritual. Kiai tidak hanya menjadi pengawas perilaku, tetapi juga penuntun moral. Pengawasan dalam pesantren bukanlah bentuk disiplin represif, melainkan ekspresi kasih sayang pedagogis. Ketika sistem pengawasan digital masuk ke dalam ruang pesantren, makna ini berubah secara radikal.
Pengawasan saat ini berlandaskan pada eksposur visual dan reaksi publik. Dengan kata lain, pengawasan di era panoptikon digital bukan lagi bertujuan mendidik, tetapi menilai. Ia melahirkan mekanisme moral baru yang lebih bersifat estetis daripada etis: yang dilihat bukan ketaatan, tetapi citra ketaatan.
Di sisi lain, pernyataan Ulil bahwa “pengawasan kini terjadi atas dasar persetujuan kita sendiri” menandai perubahan paradigma kekuasaan modern. Di sinilah relevansi pemikiran Foucault paling jelas: kekuasaan modern bekerja bukan melalui pemaksaan eksternal, melainkan melalui internalisasi norma-norma yang membuat individu secara sukarela menyesuaikan diri dengan sistem.
Dalam konteks pesantren, santri yang dulu dilatih menundukkan diri kepada disiplin spiritual kini menghadapi disiplin baru, yaitu disiplin algoritmik. Mereka belajar menyesuaikan perilaku agar selaras dengan ekspektasi publik digital. Antropologi kontemporer menyebut fenomena ini sebagai ‘self-curation’, suatu proses seleksi diri agar tampak sesuai dengan norma publik yang tak kasatmata.
Maka, panoptikon digital bukan lagi menindas, tetapi merayu; bukan memaksa, tetapi mengajak; bukan mengurung, tetapi mengundang. Dan di sinilah bahaya terbesarnya: subjek yang merasa bebas padahal justru sedang tunduk pada logika pengawasan yang lebih halus.
Ulil dengan tajam menyinggung bahwa pesantren dulu merupakan “subkultur” tertutup yang relatif terlindung dari tatapan publik. Dalam perspektif antropologi struktural, penutupan ruang sosial ini bukan semata-mata bentuk isolasi, tetapi mekanisme pemeliharaan kesakralan. Victor Turner menyebut pesantren sebagai ‘liminal space’, ruang peralihan tempat individu melepaskan identitas profan dan membentuk identitas spiritual. Ruang ini hanya mungkin berfungsi bila ada batas simbolik antara yang sakral dan yang profan.
Ketika media sosial menembus batas ini, fungsi liminal pesantren terganggu. Ritual-ritual yang dulu bermakna spiritual kini berisiko direduksi menjadi tontonan publik. Dari sudut pandang eksistensialisme filosofis, kondisi ini menciptakan disonansi antara ‘being’ (menjadi) dan ‘appearing’ (menampakkan diri). Pesantren yang semula menjadi ruang ‘becoming’ kini terancam menjadi panggung ‘performing’.
Transformasi ini mengingatkan kita pada analisis Hannah Arendt dalam ‘The Human Condition’, bahwa hilangnya batas antara ruang privat dan publik menyebabkan lenyapnya “ruang tindakan” yang otentik. Dalam dunia digital, setiap tindakan publik adalah representasi, bukan kehadiran.
Dalam konteks pesantren, tindakan religius yang semula bersifat batiniah kini terekspos sebagai penampilan luar. Maka saya sepakat bahwa “the private is public”. Namun, Ulil belum mengulas sisi paling radikal dari hal ini, bahwa keterbukaan total justru menciptakan paradoks baru: terbuka sekaligus menutup.
Dalam banjir informasi dan pengawasan tanpa henti, muncul kejenuhan kognitif dan moral. Publik yang “melihat segalanya” justru kehilangan kemampuan membedakan mana yang bermakna dan mana yang sekadar viral. Ini adalah bentuk baru kebutaan epistemik: ‘the blindness of transparency’.
Ulil memandang situasi panoptikon ini secara optimistik sebagai peluang bagi pesantren untuk berbenah. Pandangan ini patut diapresiasi, namun perlu dikritisi. Optimisme semacam ini berpotensi jatuh pada apa yang disebut Herbert Marcuse sebagai “represi halus”, keyakinan bahwa keterbukaan otomatis melahirkan kemajuan. Padahal, keterbukaan tanpa kerangka epistemik yang jelas bisa menimbulkan disorientasi moral.
Kritik publik yang datang dari luar pesantren tidak selalu berlandaskan pengetahuan yang memadai tentang dunia internal pesantren. Dalam antropologi moral, ini disebut ‘value dissonance’, ketika sistem nilai luar menilai praktik dalam dengan standar moral yang tak kompatibel. Dalam konteks ini, pesantren memang harus mendengar kritik publik, tetapi juga harus memiliki kemampuan hermeneutis untuk menafsir dan memilahnya.
Peringatan Ulil agar pesantren tidak tunduk pada opini publik merupakan poin yang sangat penting secara epistemologis. Dalam masyarakat digital, opini sering kali tampil dengan kekuatan emosional yang melebihi argumentasi rasional. Kant suatu hari mengingatkan bahwa otonomi moral berarti ketaatan terhadap hukum yang ditentukan oleh rasio moral sendiri, bukan oleh tekanan eksternal.
Pesantren, dengan tradisi epistemiknya yang berakar pada adab dan akhlak, justru memiliki keunggulan epistemik untuk menilai kebenaran moral bukan berdasarkan popularitas, melainkan kebijaksanaan. Namun, untuk mempertahankan otonomi ini, pesantren perlu membangun kemampuan membaca, memilah, dan merespons opini publik tanpa kehilangan ketenangan dan orientasi moral.
Perdebatan yang dibuka Ulil mengenai tradisi mencium tangan kiai merupakan studi kasus antropologis yang menarik tentang konflik nilai. Praktik tersebut, dalam kacamata simbolik pesantren, adalah ekspresi penghormatan terhadap ilmu dan adab. Dalam kacamata luar, ia tampak sebagai simbol feodalisme atau subordinasi.
Perspektif hermeneutika Gadamer menegaskan bahwa pemahaman lintas tradisi memerlukan ‘fusion of horizons’, peleburan cakrawala makna. Tanpa itu, yang muncul hanyalah kesalahpahaman. Kalangan egalitarian-sekuler dan salafi, seperti dikritik Ulil, sama-sama jatuh pada kekeliruan hermeneutis ini: mereka menilai tradisi pesantren tanpa memahami horizon moral yang melahirkannya.
Dalam antropologi moral, posisi keduanya disebut ‘ethnocentric moralism’, yaitu pemaksaan nilai tunggal atas praktik kebudayaan lain yang memiliki rasionalitas internal berbeda. Kritik Ulil terhadap dua bentuk egalitarianisme, baik itu puritan-salafi dan sekuler-progresif, layak diperluas ke ranah filsafat moral. Alasdair MacIntyre, dalam ‘After Virtue’, telah menunjukkan bahwa masyarakat modern kehilangan telos moral karena terputus dari tradisi kebajikan.
Pesantren, dengan sistem nilai yang menekankan ‘fadha’il al-akhlaq’ (keutamaan moral), justru beroperasi dalam logika kebajikan Aristotelian: moralitas bukan soal hak atau kesetaraan, tetapi pembentukan karakter dan kebijaksanaan praktis (phronesis). Dalam perspektif ini, hirarki di pesantren bukan bentuk dominasi, melainkan mekanisme pedagogis.
Ia menciptakan jarak simbolik yang memungkinkan proses penyerapan nilai secara bertahap. Antropologi pendidikan telah lama mengenal fenomena ini sebagai ‘pedagogical hierarchy’, struktur relasi yang menghasilkan transformasi moral, bukan ketundukan sosial.
Namun demikian, Ulil seolah mengidealisasi hirarki pesantren tanpa cukup mengakui potensi distorsi kekuasaan di dalamnya. Setiap sistem hirarkis berisiko mengalami degenerasi ketika prinsip spiritualnya bergeser menjadi prinsip duniawi. Pierre Bourdieu menyebutnya sebagai ‘transubstantiation of symbolic capital’, kondisi ketika kekuasaan simbolik spiritual berubah menjadi kekuasaan sosial-ekonomi.
Pada poin ini, kritik eksternal terhadap pesantren tidak boleh seluruhnya ditolak, karena ia dapat berfungsi sebagai mekanisme ‘self-correction’ terhadap kemungkinan penyimpangan otoritas. Polemik publik, dengan demikian, tidak selalu destruktif; ia bisa menjadi dialektika yang berdaya guna bagi kemajuan pesantren.
Di sisi lain, ketika Ulil menuding bahwa kaum egalitarian-sekuler cenderung memaksakan nilai mereka sebagai satu-satunya standar moral, kita perlu mengingat kembali pentingnya perspektif pluralisme nilai. Tidak ada satu sistem nilai yang sepenuhnya benar atau salah; yang ada adalah benturan antara nilai-nilai yang sama-sama sah tetapi tak bisa dibandingkan.
Maka, solusi yang dapat diajukan bagi pesantren bukanlah menolak atau tunduk, melainkan menegosiasi. Dalam kerangka antropologi interpretatif, pesantren dapat menjadi “zona translasional” tempat berbagai sistem nilai berdialog. Dunia pesantren dapat meminjam bahasa modern tanpa kehilangan ruh tradisionalnya. Inilah bentuk modernitas alternatif yang berbasis spiritualitas, semangat modernitas yang tidak tercerabut dari akar moralnya.
Pada bagian lain, Ulil menyatakan bahwa Salafisme “tidak akan memenangkan kompetisi” menyiratkan keyakinan historis pada daya tahan pesantren. Pernyataan ini dapat dibaca sebagai pembelaan terhadap rasionalitas tradisional yang bersifat ‘embodied’, bukan tekstual. Dalam antropologi agama, keberlangsungan pesantren justru karena ia mampu menginkorporasi teks ke dalam praktik sosial, bukan membekukannya dalam dogma.
Namun, klaim bahwa Salafisme “tidak akan menang” sebaiknya dibaca bukan sebagai kemenangan pesantren, melainkan sebagai peringatan bahwa setiap tradisi keagamaan yang menolak dialog dengan realitas sosial akan kehilangan daya hidupnya. Pesantren bisa bertahan sejauh ia terus memperbarui diri tanpa mengkhianati sumber moralnya.
Refleksi Ulil dalam “Pesantren dan Panoptikon” ini membuka perdebatan penting tentang relasi antara tradisi, kekuasaan, dan teknologi dalam Islam kontemporer. Ia mengingatkan bahwa pengawasan bukan lagi monopoli negara atau institusi, tetapi menjadi bagian dari kesadaran kolektif digital. Tantangan bagi pesantren bukan sekadar bertahan dari sorotan publik, tetapi menafsir ulang posisinya sebagai penjaga spiritualitas dalam masyarakat yang menuhankan keterbukaan.
Dalam era panoptikon ini, pesantren hanya akan tetap relevan jika mampu menampilkan wajah spiritual yang reflektif, bukan reaktif; otonom, bukan defensif; dan terbuka tanpa kehilangan arah moralnya. Dengan kata lain, di tengah “mata yang melihat segalanya”, pesantren harus belajar menjadi subjek yang melihat dirinya sendiri dengan jernih. Wallahu a‘lam bishawab.***
Abdul Hakim
Pengajar Perbandingan Politik
STISNU Kota Tangerang






