Free Gift

Pro Kontra Pemain Naturalisasi Timnas Indonesia Main di Super League! Erick Thohir: Kalau Saya Sangat Terbuka

Sabo— Ketua Umum PSSI Erick Thohir memberikan lampu hijau terkait gelombang pemain naturalisasi Timnas Indonesia yang kini merumput di Super League 2025/2026. Ia menegaskan tidak mempermasalahkan jika para pemain keturunan dan naturalisasi memperkuat klub-klub Super League.

Menurut Erick, kualitas Super League saat ini sudah jauh lebih baik dibandingkan sebelumnya meski masih butuh banyak perbaikan.

Bahkan ia menyebut keterbukaan ini sebagai bagian dari proses pembenahan sepak bola nasional agar kompetisi semakin kompetitif.

“Kalau saya sangat terbuka, kan memang Liga 1 kita sudah lebih baik,” ucap Erick Thohir.

Namun ia tetap mengingatkan kualitas liga harus terus ditingkatkan karena saat ini Super League hanya berada di peringkat ke-25 Asia dengan 18,7 poin.

“Makanya nanti kan di Kongres kita akan dorong lagi perbaikan-perbaikan yang lain. Tergantung pemainnya,” jelasnya.

Posisi tersebut bahkan kalah dari Cambodian Premier League yang menyalip Liga Indonesia di level Asia Tenggara.

Erick memastikan PSSI akan mendorong perbaikan melalui Kongres agar kompetisi tertinggi Tanah Air tidak semakin tertinggal.

Gelombang pemain naturalisasi di Super League 2025/2026 memang menjadi perhatian besar.

Hampir semua klub papan atas kini mengandalkan jasa pemain naturalisasi untuk memperkuat skuad menghadapi persaingan domestik dan Asia.

Persib Bandung jadi sorotan setelah resmi mendatangkan Thom Haye, gelandang Timnas Indonesia yang sebelumnya tampil di Eredivisie Belanda.

Haye akan berduet dengan Marc Klok yang sudah menjadi otak permainan Maung Bandung dalam beberapa musim terakhir.

Dewa United juga tampil percaya diri dengan mengandalkan kombinasi Stefano Lilipaly dan Rafael Struick.

Sementara Persija Jakarta memperkokoh lini belakang dengan kedatangan Jordi Amat, bek berpengalaman yang sebelumnya bermain di Malaysia.

Bhayangkara Presisi Lampung FC masih berharap pada ketajaman Ilija Spasojevic di lini depan.

Persik Kediri mempercayakan sektor serang pada Ezra Walian, sementara Borneo FC tetap bertumpu pada Diego Michiels di lini belakang.

Bali United bahkan berani mengandalkan Jens Raven yang baru berusia 19 tahun sebagai investasi jangka panjang. Fenomena ini membuat hampir semua klub besar mengisi komposisi inti dengan pemain naturalisasi Timnas Indonesia.

Pengamat sepak bola nasional Tommy Desky menilai fenomena ini perlu dilihat dari dua sisi. Menurutnya, wajar jika klub profesional merekrut pemain naturalisasi karena itu bagian dari strategi modern untuk memperkuat tim.

“Kalau soal banyaknya pemain naturalisasi yang main di Super League, menurut saya perlu dilihat dari dua sisi,”ujar Tommy Desky kepada Sabocom, Rabu (27/8/2025).

“Pertama, klub profesional seperti Persib, Dewa dll tentu punya hak penuh untuk merekrut siapa pun, mau sekaliber Messi, Ronaldo termasuk pemain diaspora/naturalisasi, selama sesuai kebutuhan tim. Itu hal yang wajar di sepak bola modern.”

Namun ia mengingatkan tujuan awal naturalisasi seharusnya untuk mendongkrak kualitas Timnas Indonesia. Jika banyak pemain naturalisasi justru kembali ke Liga Indonesia, ada risiko intensitas permainan mereka menurun.

“Tapi di sisi lain, kalau kita tarik ke asbabun nuzul kenapa PSSI dulu mencari pemain diaspora, alasannya karena mereka terbiasa tampil di level kompetisi yang lebih tinggi di Eropa,” jelas Tommy.

“Intensitas minggu ke minggu di sana jelas lebih tinggi dibanding di Liga Indonesia yang diharapkan mampu mendongkrak Timnas. Nah, kalau banyak dari mereka justru balik ke Liga Indonesia, otomatis ada risiko kualitas intensitas yang mereka miliki ikut turun.”

Tommy menekankan pentingnya keseimbangan antara kebutuhan klub dan strategi federasi.

PSSI menurutnya harus merancang regulasi yang memastikan kualitas Timnas tidak terganggu meski banyak pemain naturalisasi tampil di Super League.

“Solusinya ya harus balance. Klub tetap jalan dengan kebutuhan profesionalnya, tapi federasi juga perlu membuat strategi atau regulasi agar tujuan awal naturalisasi meningkatkan kualitas Timnas tetap terjaga,” jelas Tommy.

Ia juga menyoroti tantangan regulasi di Eropa bagi pemain non-Uni Eropa. Dengan paspor Indonesia, mereka otomatis masuk kuota pemain asing sehingga klub lebih selektif dalam merekrut.

“Kalau bicara soal pemain pegang paspor Indonesia main di Eropa, memang ada tantangan regulasi. Di banyak liga, khususnya Eropa Barat, ada kuota ketat untuk pemain non-Uni Eropa,”tukas Tommy.

“Klub biasanya lebih selektif, karena slot itu terbatas. Jadi otomatis, pemain dengan paspor non-EU harus benar-benar dianggap bisa memberi nilai tambah.”

Menurutnya, hal ini membuat karier di Eropa lebih sulit bagi pemain naturalisasi Indonesia. Meski begitu, bukan berarti mustahil karena kualitas dan konsistensi tetap menjadi faktor utama agar dipercaya klub.

“Tapi bukan berarti mustahil. Banyak pemain Asia juga bisa tembus karena performa dan konsistensi,” pungkas Tommy.

“Jadi buat pemain naturalisasi Indonesia yang sudah terbiasa di Eropa, tantangannya bukan cuma soal paspor, tapi lebih ke bagaimana meyakinkan klub bahwa kualitasnya layak menempati slot non-EU yang berharga.”

Irawan Dwi Ismunanto juga memahami fenomena ini dari sisi kebutuhan pemain. Ia menilai Liga Indonesia bisa menjadi solusi bagi pemain diaspora yang kesulitan mendapat kesempatan di Eropa atau Asia.

“Wajar kalau kita berharap pemain diaspora yang bela timnas Indonesia untuk terus tampil di kompetisi elite di Eropa. Ada kebanggaan dan optimisme di situ. Tapi, ada beberapa hal yang perlu kita maklumi,”ujar Irawan Dwi Ismunanto.

Menurutnya, yang terpenting adalah konsistensi penampilan sehingga mereka tetap bisa berkontribusi positif bagi Timnas.

“Ketika ada pemain yang sulit dapat kesempatan lagi di kompetisi elite Eropa atau Asia, kenapa Liga Indonesia tidak bisa jadi solusi? Mereka butuh Waktu bermain, butuh liga yang kompetitif, butuh karier dan penghasilan. Liga Indonesia menawarkan itu semua,” jelas Irawan.

Liga Indonesia juga dianggap mampu memberi menit bermain sekaligus kepastian karier bagi para pemain naturalisasi.

“Selama bisa tampil konsisten dan menjaga level permainan yang berdampak positif ke penampilan di timnas, tidak ada alasan untuk mengecilkan kehadiran mereka di Liga Indonesia,” ungkap Irawan.

Beberapa pemain memang memiliki pengecualian status di liga luar negeri seperti Jay Idzes di Italia, Justin Hubner dan Elkan Baggott di Inggris, serta Kevin Diks di Jerman.

AA1L0BsD

Namun secara umum, paspor Indonesia tetap menjadi tantangan besar karena masuk kategori non-Uni Eropa.

“Umumnya pasti ada kesulitan. Tapi kan ada pengecualian untuk beberapa pemain diaspora Indonesia di Eropa. Misal Jay Idzes, yang sudah bermain di Italia sejak paspornya masih Belanda,” pungkas Irawan.

“Ada aturan khusus di Italia soal itu meski sekarang status Idzes sudah jadi WNI. Justin Hubner dan Elkan Baggott punya status homegrown player di Liga Inggris, jadi nggak akan sulit soal administrasi ketika keduanya masih main di sana. Kevin Diks bisa ke Bundesliga karena aturan pemain asing non-Uni Eropa di sana cukup longgar.”

Pengamat lain dari Bonek Writer Forum, Cak Beted, melihat fenomena ini sebagai pilihan realistis bagi pemain profesional.

Menurutnya, banyak pemain diaspora yang memilih pulang karena status free agent dan membutuhkan menit bermain untuk menjaga performa.

“Mungkin harus dilihat bahwa apa yang dilakukan para pemain diaspora tersebut (yang pindah ke liga Indonesia) adalah mereka yang membutuhkan menit bermain karena mereka free agent,”ujar Cak Beted.

“Tentu, itu keputusan yang benar kalau dilihat dari kacamata sebagai pemain profesional yang harus menjaga kebugarannya, sekaligus menjaga ‘dapur Rumah Tangga’ mereka tetap ngebul.”

Ia menilai wajar jika mereka memilih Liga Indonesia karena ada klub yang mampu memberi gaji dan kesempatan tampil reguler. Dengan begitu, karier mereka tetap terjaga dan pintu untuk membela Timnas Indonesia tetap terbuka.

“Ini pilihan wajar, sebab ada beberapa klub di Indonesia yang mampu membayar gaji mereka serta sanggup memberikan kesempatan dan menit bermain yang mumpuni pada mereka.”

“Bahkan bukan tidak mungkin, mereka boleh jadi tulang punggung tim tersebut nantinya. Oleh sebab itulah, karena performa mereka yang terjaga di liga yang berkelanjutan, mungkin juga menjaga asa mereka untuk tetap dipakai di Timnas Indonesia nantinya.”

“Sudah pasti kita pahami, bahwa akan kecil sekali kemungkinannya Patrick Kluivert memanggil pemain yang ‘nganggur’.”

Namun, Cak Beted juga tidak menutup mata terhadap pro dan kontra. Menurutnya, masih ada pertanyaan apakah kedatangan pemain naturalisasi benar-benar meningkatkan kualitas liga atau sekadar pemanis semata.

“Pro kontra pasti ada, apakah nantinya penampilan mereka tetap ciamik? Ataukah justru malah flop karena liga kita yang tidak sebaik liga-liga Eropa? Pun, pro kontra pasti juga terjadi dengan pertanyaan apakah datangnya mereka akan meningkatkan mutu liga secara keseluruhan? Ataukah hanya sebagai pemanis belaka?,” papar Cak Beted.

“Pertanyaan2 ini tentu sangatlah wajar sebagai dinamika pemikiran. Dan dapat dipahami karena segala sesuatu yang terjadi pasti akan ada perbedaan komentar-komentar yang beredar di masyarakat.”

Ia berharap kehadiran pemain naturalisasi bisa menular ke pemain lokal terutama generasi muda. Bukan hanya semangat, tetapi juga teknik bermain agar sepak bola Indonesia semakin berkembang.

“Namun tentu saja, sebagai warga dan suporter Indonesia, kita semua berharap bahwa hadirnya para pemain diaspora ini, menjadi pertanda untuk para pengampu sepakbola kita berbenah agar menjadikan sepakbola lokal semakin baik dan bagus kualitasnya tidak hanya meriah semata,” jelas Cak Beted.

“Dan semoga juga, datangnya mereka juga bisa menularkan selain semangat, juga teknik yang bagus pada para pemain lokal, khususnya para pemain muda. Ini harapan kita semua.”

Dilema terbesar bagi pemain naturalisasi memang terletak pada pilihan karier. Mereka harus rela meninggalkan peluang di Eropa demi loyalitas kepada Timnas Indonesia dan bermain di Super League.

“Ya, betul sekali, mas. Tentu, pemain yang punya paspor Indonesia akan dianggap “non-EU” (di luar Uni Eropa). Artinya, mereka masuk kuota pemain asing yang dibatasi. Banyak klub Eropa lebih memilih mengisi kuota itu dengan pemain Amerika Latin atau Afrika, yang jelas lebih disukai klub Eropa karena skill dan kualitas yang baik,” jelas Cak Beted.

Pilihan tersebut bukanlah hal mudah karena menyangkut masa depan dan kesempatan tampil di level kompetisi yang lebih tinggi.

Namun keputusan itu tetap menjadi bagian dari dinamika sepak bola modern yang penuh dengan pro dan kontra.

“Dulu, sebelum punya paspor Indonesia, mereka masih pakai paspor Eropa, Jadi statusnya tidak terhitung Asing. Mereka mungkin bisa dengan mudah setidaknya untuk main di liga-liga Eropa walaupun bukan kancah teratas kerana status mereka sebagai pemain Uni Eropa,” pungkas Cak Beted.

“Namun begitu mereka berpaspor Indonesia dan tidak lagi memegang paspor Eropa (karena aturan kewarganegaraan kita tidak memperbolehkan ganda), otomatis jalur karier di Eropa makin sempit.”

“Inilah dilema besar pemain naturalisasi: memilih karier di Eropa yang semakin terbatas pilihannya atau loyal ke Timnas Indonesia dan bermain di klub Indonesia demi menjaga penampilan. Pilihan yang sulit.”

Fenomena gelombang pemain naturalisasi di Super League 2025/2026 akan terus menjadi sorotan. Erick Thohir membuka pintu lebar, sementara pengamat menekankan pentingnya strategi agar kualitas Timnas Indonesia tidak tergerus.

Want a free donation?

Click Here