Sabo -Ah, Cinta. Hal indah yang membuat seseorang bisa tergila-gila hanya dengan melihat dan mendengar suara dari yang dicintai.
Cinta bisa jadi hal yang indah, sekaligus jahat. Hal yang menjadikan cinta penuh akan perasaan frustasi adalah ketika mencintai seseorang yang tidak mungkin dimiliki.
Mungkin Anda yang membaca ini sedang mencintai seseorang yang tak terjangkau dan sedang merasa galau akan hal tersebut.
Tapi mengapa ini terjadi? Kenapa seseorang memiliki kecenderungan untuk tertarik pada seseorang yang hampir tidak bisa dijangkau?
Ternyata hal ini menjadi topik yang sering dibicarakan di dunia psikologi. Melalui pertanyaan ini lahir sejumlah teori dari para pakar.
Ingin mengetahui alasan fenomena ini menurut para pakar psikologi? Simak beberapa teori berikut ini!
1. Teori ‘Buah Terlarang’
Pernahkah Anda mendengar kisah Hawa yang memakan buah terlarang? Kisah ini dapat menjadi analogi yang tepat untuk situasi ini.
Hal ini dibuktikan oleh Israeli & Stewart pada 2001 bahwa sering kali larangan, baik yang berasal dari diri sendiri maupun dari orang lain justru semakin meningkatkan keinginan kita terhadap hal tersebut.
2. Teori Kelangkaan
Mungkin Anda pernah mendengar teori ini dalam sebuah seminar tentang wirausaha atau bisnis. Meskipun begitu, teori ini dapat diaplikasikan pada tindakan manusia dan cinta.
Dilansir dari Psychology Today Manusia memiliki pola pikir sama halnya seperti teori kelangkaan dalam ekonomi bahwa semakin tinggi nilai dari sesuatu atau seseorang semakin sedikit jumlahnya dalam kuantitas.
Hal ini membuat bahkan sedikit saja perhatian yang diberikan oleh orang tersebut, baik atau buruk akan bernilai tinggi di mata Anda.
3. Teori Dopamin dan Reward System
Dilansir dari Tarra Bates-Duford, Ph.D di laman PsychCentral ada beberapa teori lain yang mendukung fenomena ini.
Saat mengejar seseorang yang tidak bisa dimiliki, otak terus mencari strategi agar tujuan tercapai.
Tanpa disadari, hal ini menimbulkan perasaan gembira dalam upaya mengejar dan mencari cara untuk mendapatkan perhatian.
Pada akhirnya, saat tujuan tercapai – baik dalam bentuk perhatian atau sapaan – hal ini akan memberikan semacam imbalan yang membuat gembira.
Zat bahagia yang dinamakan dopamin ini membuat seseorang semakin teradiksi.
Akibatnya, individu terjebak dalam siklus berulang yang sama, tanpa mencapai hasil yang berarti, sembari terus memupuk ego dan mencari validasi lagi dan lagi.
Akhir Kata
“Hmm bukankah daripada mendapatkan seseorang, hal ini lebih kepada mencari kepuasan diri sendiri?” adalah pertanyaan yang mungkin muncul di kepala Anda setelah membaca artikel ini.
Menyadari pola ini adalah langkah pertama untuk keluar dari lingkaran yang melelahkan.
Bukan berarti perasaan tertarik itu salah, namun penting untuk memahami apakah yang sebenarnya kita kejar adalah orangnya, atau sekadar kepuasan diri yang lahir dari rasa “berhasil menaklukkan.”
Dengan memahami motif di baliknya, kita bisa belajar membangun hubungan yang lebih sehat, tulus, dan bermakna serta bukan sekadar permainan ego yang tak pernah selesai.