Free Gift

Publik yang Mudah Jatuh Cinta

Oleh: Mustamin Raga

Penulis buku SUARA DARI PELUKAN KABUT

SaboPublik Indonesia memiliki satu sifat yang sulit dibantah: mudah jatuh cinta. Ia seperti remaja yang baru pertama kali mengenal kata “terpikat” lalu cepat kagum, cepat memuja, lalu cepat lupa. 

Saat ini, nama Purbaya, Menteri Keuangan yang baru dua bulan menjabat, sedang menjadi primadona baru. Wajahnya berseliweran di media sosial, pernyataannya dikutip di banyak kanal berita, dan setiap langkahnya dianggap pertanda harapan baru bagi ekonomi bangsa. Publik sedang berada di puncak kasmaran terhadap sosok ini. Padahal, dua bulan bukan waktu yang cukup untuk mengubah arah kapal besar bernama Indonesia. Belum cukup untuk menilai kualitas kebijakan, apalagi dampak sistemik dari langkah-langkahnya. Namun, seperti biasa, publik kita lebih cepat mencintai daripada memahami. 

Dalam dua bulan, Purbaya sudah diangkat ke panggung harapan; seolah ia datang membawa tongkat ajaib yang bisa menyeimbangkan utang, menurunkan harga, dan menghidupkan kembali daya beli rakyat. Fenomena ini bukan hal baru. Beberapa bulan lalu, publik juga sempat jatuh cinta kepada Kang Dedy Mulyadi. Hampir setiap unggahan videonya tentang kemanusiaan dan kebudayaan lokal disambut pujian dan doa panjang. Ia dielu-elukan sebagai tokoh yang bersih, berani, dan dekat dengan rakyat kecil. Banyak yang menjulukinya “abdi rakyat sejati”, dan segala geraknya menjadi tontonan yang meneduhkan. Tapi seperti bunga flamboyan yang mekar cepat dan gugur cepat, pesona itu perlahan memudar.

Kini, menariknya, sebagian publik justru berada di persimpangan cinta. Mereka yang dulu memuja Kang Dedy kini juga sedang memuja Purbaya. Namun cinta yang berlapis itu mendadak goyah ketika keduanya berselisih paham di ruang publik.

Pemicunya bukan hal sepele: anggaran sebesar 4,3 triliun rupiah APBD Jawa Barat yang disebut-sebut mengendap di rekening bank, bahkan ada yang didepositokan. Uang yang mestinya menggerakkan perekonomian daerah itu, menurut Purbaya, seolah “menganggur”. Ia mengkritik keras, mengingatkan agar dana publik tidak dibiarkan membeku. Di sisi lain, Kang Dedy—yang masih lekat dengan citra Jawa Barat dan punya penggemar fanatik di sana—merasa tersentil. Maka terjadilah adu argumen terbuka, saling bantah, saling menegaskan versi kebenaran masing-masing. Dan publik? Mereka mendadak kebingungan. Mereka yang mencintai Purbaya merasa harus tetap setia pada “idola baru yang berani dan tegas”. Tapi mereka yang masih setia pada Kang Dedy tak rela tokoh kesayangannya disudutkan. Jadilah persimpangan cinta, di mana logika dan perasaan saling tarik menarik. Sebagian publik tak lagi membahas substansi ekonomi, tapi sibuk membela sosok yang mereka cintai—seolah debat tentang APBD berubah menjadi drama percintaan di dunia politik.

Fenomena ini memperlihatkan satu hal penting: publik Indonesia cenderung emosional dalam mencintai figur. Kita mencintai bukan karena tahu, tapi karena terpesona. Kita lebih mudah terpikat oleh gaya bicara, ekspresi wajah, atau kesederhanaan yang tampak, ketimbang gagasan, rekam jejak, dan kemampuan mengelola sistem.

Sosiolog Max Weber pernah menyebut fenomena semacam ini sebagai bentuk “ charismatic authority ”—otoritas yang muncul bukan dari sistem hukum atau kinerja rasional, tetapi dari daya tarik pribadi seseorang. Dalam masyarakat yang belum matang secara politik, karisma sering kali lebih menentukan daripada kapasitas. Orang tak menilai berdasarkan kerja, melainkan berdasarkan aura. Max Weber menulis bahwa karisma mampu “membius” rasionalitas publik. Dan memang demikianlah yang sering kita lihat. Figur karismatik dianggap mampu menyelesaikan segalanya, seakan satu pribadi bisa menebus dosa sistem yang korup dan birokrasi yang lamban. Padahal, karisma itu seperti cahaya lilin di tengah ruangan gelap—ia menerangi sejenak, tapi tak memberi jawaban atas gelap yang lebih luas.

Selain faktor karisma, ada pula penjelasan dari teori “ parasocial relationship ” dalam studi media. Teori ini menggambarkan hubungan semu antara publik dan figur publik: hubungan satu arah yang membuat seseorang merasa dekat, akrab, bahkan terikat secara emosional dengan tokoh yang sama sekali tidak mengenalnya. Di era media sosial, hubungan semu ini berkembang pesat. Kita melihat video seseorang menolong warga, lalu merasa mengenalnya. Kita mendengar nada suara yang lembut, lalu merasa ia tulus. Kita membaca satu kutipan inspiratif, lalu menobatkannya sebagai panutan. Semuanya terjadi dalam ruang maya yang memburamkan batas antara realitas dan citra. Maka, cinta publik pun sering kali bukan hasil dari pengenalan mendalam, melainkan dari reka citra yang menawan.

Sementara dalam konteks budaya Indonesia, ada satu faktor lagi yang memperkuat yakni budaya  paternalistik.

Kita tumbuh dalam budaya yang menempatkan pemimpin sebagai “bapak” — sosok pelindung yang diharap menuntun, menegur, dan menyelamatkan. Dalam struktur sosial seperti ini, masyarakat cenderung menggantungkan harapan besar pada figur tunggal. Maka setiap kali muncul sosok baru yang tampak berbeda, sederhana, atau berani, publik seperti menemukan kembali “ayah” yang lama dirindukan.

Masalahnya, cinta yang lahir dari kerinduan semacam itu sering kali rapuh. Ia mudah berubah jadi amarah ketika harapan tak terpenuhi. Sejarah politik Indonesia sudah membuktikan: publik yang dulu mengagungkan bisa dengan cepat menjatuhkan.

Kita masih ingat Joko Widodo di masa awal kemunculannya. Ia dielu-elukan sebagai sosok “rakyat biasa” yang menembus tembok tebal kekuasaan. Orang berebut berfoto, mengutip ucapannya, dan membela setiap langkahnya. Tapi waktu berjalan. Harapan besar bertemu kenyataan birokrasi dan politik yang keras. Perlahan, cinta publik pun memudar—bukan karena Jokowi berubah sepenuhnya, tapi karena harapan yang terlalu tinggi tak sebanding dengan kenyataan yang bisa ia hasilkan.

Itulah wajah cinta publik Indonesia: penuh gairah, tapi minim kedewasaan. Kita ingin pemimpin yang seperti dewa, lalu kecewa saat tahu ia ternyata hanya manusia biasa. Kita ingin perubahan secepat mungkin, tapi tak mau repot memahami bahwa perubahan sejati butuh perbaikan sistem, bukan sekadar sosok.

Kita pun berulang kali terseret dalam siklus yang sama: terpesona,  mengagumi,  memuja,  kecewa, mencari idola baru.

Cinta publik kita seperti bunga flamboyan yang mekar di pinggir jalan: mencuri perhatian, tapi cepat gugur sebelum musim berganti.

Padahal, bangsa besar tidak dibangun oleh figur yang karismatik, melainkan oleh sistem yang kuat, transparansi yang nyata, dan publik yang kritis. Kita memerlukan lebih banyak rakyat yang paham bagaimana anggaran daerah dikelola, bukan hanya rakyat yang tahu siapa yang paling pandai berpidato.

Maka dalam konteks “persimpangan cinta” antara Purbaya dan Kang Dedy, kita perlu menahan diri. Tak perlu memilih siapa yang paling benar berdasarkan perasaan. Mari belajar melihat duduk persoalan dengan jernih: bagaimana dana publik seharusnya dikelola, siapa yang bertanggung jawab, dan apa dampaknya bagi rakyat kecil. Mengagumi boleh, tapi jangan menuhankan.

Mendukung boleh, tapi tetap dengan nalar. Kritik bukan tanda benci, dan pujian bukan tanda setia.

Bangsa ini sudah terlalu sering “kasmaran politik” hingga lupa membangun logika publik yang sehat. Setiap kali muncul sosok baru yang tampak menjanjikan, kita menaruh seluruh harapan padanya — seakan negeri ini hanya bisa diselamatkan oleh satu orang, bukan oleh kerja kolektif yang disiplin dan terukur. Padahal, jika kita mau jujur, cinta publik yang terlalu cepat sering kali justru menjadi beban bagi sang idola. Publik menuntut terlalu banyak dalam waktu terlalu singkat. Begitu ia tersandung sedikit saja, mereka berbalik menyerang dengan kemarahan yang sama besar dengan cinta yang dulu diberikan.

Mungkin, inilah saatnya kita belajar mencintai dengan cara yang lebih matang. Cinta yang tak buta oleh pesona, tapi terbuka pada data.

Cinta yang tidak hanya melihat wajah, tapi menilai kinerja.

Cinta yang bukan pada figur, tapi pada gagasan dan integritas. Cinta publik yang sehat adalah cinta yang menuntut sistem bekerja, bukan hanya pemimpinnya bicara. Cinta yang tidak berubah arah hanya karena musim politik berganti. Sebab yang dibutuhkan negeri ini bukan sekadar sosok untuk dikagumi, melainkan publik yang cerdas dan sadar bahwa cinta yang dewasa adalah cinta yang kritis. Dan semoga, dalam setiap pergantian idola yang akan datang — entah siapa pun nanti yang menjadi primadona baru — kita tak lagi jatuh cinta karena silau pesona, tetapi karena percaya pada kerja nyata. Karena cinta yang sejati bagi negeri ini bukanlah cinta kepada sosok orang, melainkan cinta kepada kebenaran dan kemajuan bersama.

Gerhana Alauddin, tanggal tua Oktober, 2025

Want a free donation?

Click Here

Related Post

Tinggalkan komentar