Free Gift

Riba dan Ilusi Kebebasan Finansial di Dunia Modern

Di dunia modern yang serba cepat, hampir seluruh aktivitas manusia berputar di atas uang. 

Kita bekerja untuk uang, menjalani kehidupan dengan uang, bahkan membayangkan masa depan pun sering kali bermuara pada seberapa banyak uang yang bisa kita miliki. 

Namun di balik perputaran ekonomi yang tampak dinamis ini, ada ironi yang sulit diabaikan: semakin banyak orang yang mengejar uang, justru semakin banyak pula yang hidupnya terasa sempit. 

Banyak yang terjebak dalam lilitan utang, penghasilan yang terasa tidak pernah cukup, dan pikiran yang tak kunjung tenang.

Salah satu akar dari fenomena ini bukan semata pada penghasilan yang kurang atau gaya hidup yang berlebihan, tetapi pada cara kita memperlakukan uang itu sendiri—yakni melalui sistem yang dikenal sebagai riba. 

Bagi sebagian orang, istilah ini terdengar kuno dan hanya relevan dalam konteks agama. 

Namun jika ditelaah lebih dalam, riba bukan hanya perkara moral atau keagamaan, melainkan sebuah mekanisme ekonomi yang secara struktural memang dapat menjerat banyak orang dalam kemiskinan, baik secara finansial maupun psikologis.

Riba bekerja seperti racun yang perlahan merusak keseimbangan hidup. Ia tidak membunuh secara tiba-tiba, tetapi menggerogoti ketenangan, waktu, dan tenaga seseorang sedikit demi sedikit. 

Awalnya tampak menguntungkan karena memberi akses pada uang cepat atau barang yang bisa dimiliki sekarang juga, namun pada akhirnya riba justru menciptakan ketergantungan dan kehilangan kendali atas keuangan maupun kebebasan diri.

Normalisasi Utang dalam Kehidupan Modern

Kita hidup di era ketika hampir semua hal dapat diperoleh melalui utang. Dari rumah, kendaraan, hingga barang-barang konsumtif seperti gawai dan perawatan kulit, semua bisa dicicil dengan slogan yang terdengar manis: “beli sekarang, bayar nanti.” 

Sekilas, sistem ini terlihat mempermudah hidup. Namun bila ditelusuri lebih dalam, justru sistem semacam ini perlahan menguras energi banyak orang tanpa disadari.

Riba, dalam bentuk bunga pinjaman atau sistem kredit berbunga, pada dasarnya menciptakan struktur ekonomi yang tidak adil. 

Misalnya, ketika seseorang meminjam uang Rp10 juta dengan bunga 10 persen per tahun, ia harus mengembalikan Rp11 juta. Tambahan satu juta itu bukan hasil kerja, tetapi harga dari waktu yang diklaim oleh pemilik modal. 

Di sinilah ketimpangan itu muncul—mereka yang memiliki uang bisa memperoleh keuntungan tanpa melakukan pekerjaan produktif, sementara mereka yang membutuhkan uang justru harus bekerja lebih keras untuk melunasinya.

Dampak dari ketimpangan ini bersifat sistemik. Uang secara perlahan berpindah ke tangan mereka yang sudah memiliki modal, sementara masyarakat kelas bawah terus membayar bunga dari hasil kerja mereka. 

Akibatnya, jarak antara kaya dan miskin semakin melebar. Kita dapat melihatnya di banyak negara berkembang, termasuk Indonesia, di mana sebagian besar masyarakat hidup dalam siklus kredit tanpa ujung. 

Gaji yang naik setiap tahun tak pernah terasa cukup karena sebagian besar sudah terserap untuk membayar cicilan, sementara bunga terus berjalan tanpa henti.

Ekonomi yang Tumbuh di Atas Utang

Dari perspektif makroekonomi, sistem berbasis riba juga menciptakan fondasi yang rapuh. 

Banyak perekonomian dunia saat ini tampak “tumbuh”, padahal pertumbuhannya bertumpu pada utang yang harus dibayar dengan utang baru. 

Dalam kondisi seperti ini, uang yang beredar bukan lagi hasil dari aktivitas produktif, melainkan hasil dari transaksi keuangan yang berlapis-lapis dan bersifat spekulatif. 

Ketika gelembung utang ini pecah, seperti yang terjadi pada krisis keuangan global tahun 2008, yang paling dulu terkena dampak bukanlah para pemilik modal besar, melainkan masyarakat kecil yang kehilangan pekerjaan dan daya beli.

Maka, ketika ajaran agama melarang praktik riba, sejatinya larangan itu tidak hanya berlandaskan aspek moral. Larangan tersebut lahir dari kesadaran bahwa riba merusak keseimbangan sistem ekonomi. 

Ia menciptakan struktur yang secara halus menindas dari bawah ke atas—di mana mereka yang memiliki uang bisa terus hidup nyaman, sementara mereka yang tidak punya justru bekerja lebih keras untuk mempertahankan hidup.

Dampak Psikologis: Hidup dalam Ketakutan yang Terselubung

Dampak riba tidak berhenti pada aspek ekonomi. Ia juga menjalar ke ranah psikologis dan sosial. 

Di era digital, utang bahkan tidak lagi dianggap sebagai sesuatu yang perlu dihindari. Aplikasi pinjaman online, kartu kredit, dan sistem “pay later” membuat berutang terasa normal, bahkan glamor. 

Banyak orang menggunakan utang bukan untuk kebutuhan mendesak, melainkan untuk menjaga citra sosial atau mengejar gaya hidup yang sebenarnya di luar kemampuan mereka.

Inilah cara paling halus dari sistem riba bekerja: ia tidak langsung membuat seseorang miskin secara materi, tetapi menanamkan perasaan miskin secara mental. 

Riba menciptakan ilusi bahwa hidup kita selalu kurang—bahwa kebahagiaan hanya bisa dicapai dengan memiliki lebih banyak barang, lebih banyak pengalaman, dan lebih banyak simbol kesuksesan. 

Ketika penghasilan tidak mencukupi untuk mengejar semua itu, utang pun menjadi solusi instan. Namun, setiap cicilan yang dibayar menjadi rantai baru yang membatasi kebebasan.

Banyak orang akhirnya bekerja bukan untuk mengembangkan diri, melainkan semata-mata untuk menutup cicilan. 

Mereka hidup dalam rutinitas yang melelahkan—bangun pagi, bekerja keras, membayar tagihan, dan mengulang siklus yang sama. Lama-kelamaan, mereka mulai percaya bahwa hidup seperti itu adalah hal yang wajar. 

Padahal, yang sedang terjadi adalah bentuk penyerahan kendali hidup kepada sistem ekonomi yang dirancang untuk terus menuntut.

Secara psikologis, tekanan dari utang dapat menimbulkan stres kronis. Rasa takut terhadap tagihan, ancaman gagal bayar, atau rasa malu sosial karena tidak mampu menyesuaikan diri dengan standar gaya hidup tertentu, perlahan mengikis kesehatan mental. 

Nilai diri seseorang pun bergeser—bukan lagi diukur dari kedamaian atau keseimbangan hidup, melainkan dari seberapa banyak hal yang bisa ia beli.

Pergeseran Nilai Sosial: Ketika Liabilitas Dianggap Aset

Salah satu dampak paling berbahaya dari normalisasi riba adalah pergeseran nilai sosial. Dulu, berutang dianggap sesuatu yang perlu dihindari. Kini, utang justru sering dianggap sebagai tanda kemajuan. 

Padahal yang sejatinya diakui bukanlah kesuksesan seseorang, melainkan kemampuannya untuk menjadi bagian dari sistem bunga.

Masyarakat modern hidup di tengah budaya konsumtif yang menganggap gaya hidup sebagai ukuran harga diri. 

Liabilitas sering kali disamakan dengan aset, dan kepemilikan barang-barang mewah menjadi simbol kesuksesan. Akibatnya, banyak orang kehilangan kemampuan untuk menahan diri dan menghargai proses. 

Semuanya ingin dicapai dengan cepat, tanpa menunggu dan tanpa menabung. Dalam jangka panjang, hal ini membentuk generasi yang kehilangan makna dari kata berproses.

Lebih dari itu, riba secara perlahan menghapus rasa syukur. Hidup dalam utang membuat seseorang selalu merasa kekurangan, bahkan ketika sebenarnya ia telah cukup. 

Ketika rasa cukup itu hilang, seseorang akan terus mengejar sesuatu yang tidak pernah bisa ia capai. Inilah bentuk kemiskinan batin yang lahir dari sistem yang tampak modern dan efisien, namun sejatinya menindas dari dalam.

Riba dan Kehilangan Kebebasan

Pada akhirnya, larangan terhadap riba bukanlah bentuk pembatasan terhadap manusia untuk menjadi kaya. 

Sebaliknya, itu adalah bentuk perlindungan—agar manusia tidak kehilangan jati dirinya sebagai makhluk bebas. 

Sebab riba bukan hanya membuat seseorang kehilangan uang, tetapi juga kendali atas waktu, tenaga, dan pikiran. Banyak potensi manusia yang tak pernah berkembang karena seluruh hidupnya tersita untuk melunasi masa lalu.

Hidup dalam sistem berbasis riba membuat kita percaya bahwa kebahagiaan bisa dibeli dengan cicilan. Padahal yang diberikan hanyalah rasa lega sementara, sebelum tagihan datang di bulan berikutnya. 

Ketika hal ini terjadi terus-menerus, seseorang bekerja bukan untuk kebebasan, tetapi untuk menjaga agar sistem yang menjeratnya tetap berjalan.

Riba, dalam bentuk paling halusnya, menjauhkan manusia dari makna hidup yang sejati. Ia membuat kita merasa merdeka karena bisa membeli apa saja, padahal secara diam-diam kita kehilangan kebebasan untuk hidup tenang. 

Oleh karena itu, melawan riba bukan hanya tentang menghindari dosa atau mencari keberkahan, tetapi juga tentang merebut kembali kendali atas hidup kita sendiri.

Penutup: Refleksi atas Makna Kemerdekaan Finansial

Pada akhirnya, kesejahteraan sejati tidak datang dari kemampuan membeli apa pun, melainkan dari kebebasan untuk hidup tanpa beban utang. 

Hidup sesuai kemampuan bukan berarti hidup kekurangan, tetapi hidup dengan kesadaran penuh bahwa kita tidak dikuasai oleh keinginan untuk memiliki segalanya.

Karena sesungguhnya, kemiskinan tidak selalu berarti kekurangan uang. Kadang, kemiskinan yang paling menyakitkan adalah ketika seseorang kehilangan arah hidupnya karena uang. 

Maka, mungkin pertanyaan yang perlu kita renungkan bukan lagi “berapa banyak uang yang kita punya,” melainkan “apakah kita benar-benar hidup merdeka dari uang itu sendiri.” 

Want a free donation?

Click Here

Related Post

Tinggalkan komentar