Free Gift

Riset Terbaru! 84 Persen Pekerja Antusias dengan AI, Tetapi Banyak yang Takut Kehilangan Pekerjaan

Sabo Perusahaan di seluruh dunia kini semakin cepat mengadopsi kecerdasan buatan (AI) untuk meningkatkan produktivitas. Namun, survei terbaru menunjukkan adanya kesenjangan besar antara antusiasme pekerja terhadap teknologi ini dan kesiapan manajemen dalam mendukung mereka. Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran tentang masa depan pekerjaan di era AI.

Pekerja Antusias, Tapi Takut Kehilangan Pekerjaan

Laporan dari Ernst & Young (EY) mengungkap paradoks menarik. Sebanyak 84 persen karyawan menyambut positif penggunaan agen AI dalam pekerjaan mereka, tetapi 56 persen di antaranya justru khawatir akan kehilangan pekerjaan akibat teknologi ini. Survei terhadap lebih dari 1.100 pekerja di perusahaan berskala miliaran dolar itu menunjukkan bagaimana transisi menuju kerja hibrida manusia-AI masih menyisakan banyak ketidakpastian.

Kekhawatiran paling besar muncul di kalangan non-manajemen. Sekitar 65 persen dari mereka merasa cemas terhadap keamanan kerja mereka, dibandingkan 48 persen di level manajer. Meski begitu, 86 persen pekerja mengakui bahwa penggunaan AI telah meningkatkan produktivitas tim mereka.

Dan Diasio, Global Consulting AI Leader di EY, mengatakan masa depan dunia kerja dengan kehadiran AI masih penuh ketidakpastian. “Masa depan kita dengan AI penuh ketidakpastian, dengan investasi besar dari perusahaan teknologi terkemuka yang sedang dipertaruhkan,” ujarnya, sebagaimana dilansir Sabodari Forbes. Menurut hasil survei, 63 persen pekerja non-manajemen enggan naik jabatan menjadi manajer karena tidak yakin mampu mengelola tim yang terdiri dari manusia dan AI sekaligus.

Celah Besar dalam Pelatihan dan Komunikasi

Survei EY juga menemukan bahwa 85 persen pekerja mempelajari cara kerja AI secara mandiri di luar jam kerja. Sebagian besar, yakni 83 persen, mengatakan pengetahuan mereka berasal dari pembelajaran mandiri karena minimnya pelatihan resmi dari perusahaan. Padahal, hanya 52 persen pimpinan senior yang menyatakan perusahaannya telah menerapkan program pelatihan AI secara menyeluruh.

Riset serupa dari The Adecco Group terhadap 37.500 pekerja di 31 negara memperkuat temuan ini. Sebanyak 71 persen pekerja menyatakan tidak ada lagi hambatan untuk menggunakan AI, naik drastis dari hanya 19 persen pada tahun sebelumnya. Meski begitu, antusiasme ini belum diimbangi dengan dukungan sistem pelatihan yang memadai di tempat kerja.

“Rasa ingin tahu sering kali disambut dengan keheningan, peluang pelatihan yang terbatas, dan jalur yang tidak jelas ke depan,” tulis tim peneliti EY dalam laporannya. Mereka memperingatkan bahwa tanpa arah dan komunikasi yang jelas, semangat pekerja bisa berubah menjadi resistensi terhadap AI.

Ketakutan dan Dampak Nyata di Dunia Kerja

Kekhawatiran pekerja juga meningkat karena beberapa perusahaan besar melakukan pengurangan tenaga kerja akibat otomatisasi berbasis AI. Salesforce memutuskan 4.000 karyawan di bagian layanan pelanggan pada September lalu, dengan alasan AI mampu menangani setengah dari beban kerja tersebut. Accenture juga melakukan restrukturisasi besar untuk mempercepat adaptasi tenaga kerja terhadap AI, sementara Lufthansa menargetkan pengurangan 4.000 posisi hingga tahun 2030.

Namun, sejumlah pengamat menilai langkah-langkah ini tidak sepenuhnya karena AI. Menurut pakar karier Jasmine Escalera, banyak perusahaan menggunakan teknologi sebagai alasan untuk melakukan efisiensi lebih luas. “Karyawan sudah cemas karena perusahaan tidak transparan tentang bagaimana mereka menerapkan AI,” katanya kepada CNBC.

Studi lain menunjukkan bahwa hanya kurang dari 5 persen pekerja yang benar-benar berpindah pekerjaan sejak kehadiran ChatGPT, berbeda dengan ketakutan publik soal gelombang PHK massal akibat AI.

Komunikasi Jadi Kunci Transisi

EY menekankan pentingnya komunikasi yang transparan dalam keberhasilan adopsi AI. Perusahaan yang secara terbuka menjelaskan strategi penggunaan AI terbukti memiliki tingkat kepuasan karyawan lebih tinggi. Sebanyak 92 persen pekerja di perusahaan dengan komunikasi jelas melaporkan peningkatan produktivitas berkat AI, dibandingkan hanya 62 persen di perusahaan yang tidak menjelaskan strateginya.

Meski demikian, 23 persen karyawan di bawah level wakil presiden (VP) mengaku belum pernah mendapatkan penjelasan yang jelas dari atasan tentang arah dan tujuan penggunaan AI di perusahaannya.

Menurut Diasio, AI seharusnya tidak dianggap sebagai ancaman, melainkan alat yang memperkuat kemampuan manusia. “AI harus dilihat sebagai rekan berpikir yang mempertajam penilaian manusia dan memperluas kemampuan, bukan sebagai tombol mudah yang menukar kekuatan berpikir dengan produktivitas jangka pendek,” jelasnya.

EY menyarankan tiga langkah utama agar penerapan AI bisa berjalan lebih efektif: memperbanyak komunikasi terbuka mengenai rencana AI perusahaan, memperkuat program pelatihan, serta mengubah narasi ketakutan menjadi peluang pertumbuhan bersama.***

Want a free donation?

Click Here

Related Post

Tinggalkan komentar