Free Gift

Saat Bunga KPR Turun, Pilih Beli atau Sewa Rumah? Ini Suara Anak Muda

JAKARTA, Sabo – Kepemilikan hunian atas nama pribadi menjadi impian banyak orang. Termasuk Nailla (24), seorang pekerja freelance, yang mengatakan bahwa membeli rumah pertama ada dalam mimpinya.

Hanya, ada beberapa faktor yang membuat Nailla masih berpikir ulang untuk membeli rumah dalam waktu dekat, salah satunya adalah suku bunga yang naik turun akibat kondisi global.

“Ada beberapa faktor yang memengaruhi saya untuk berpikir ulang apakah pos dana darurat yang saya tabung untuk sekarang itu tetap akan saya alihkan untuk beli rumah impian itu,” kata Nailla kepada Sabo, Selasa (21/10/2025).

Berdasarkan laporan Bank Indonesia, Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 16-17 September 2025 memutuskan untuk menurunkan BI-Rate sebesar 25 bps menjadi 4,75 persen, suku bunga Deposit Facility sebesar 50 bps menjadi 3,75 persen, dan suku bunga Lending Facility sebesar 25 bps menjadi 5,50 persen.

Suku bunga memiliki pengaruh langsung terhadap bunga Kredit Pemilikan Rumah (KPR) karena kenaikan suku bunga acuan Bank Indonesia cenderung menyebabkan kenaikan suku bunga KPR.

Kondisi juga belaku sebaliknya, di mana penurunan suku bunga acuan dapat membuat suku bunga KPR turun.

Pihak yang akan menerima dampak langsungnya adalah pembeli KPR non-subsidi dengan skema bunga mengambang atau floating rate, di mana cicilan per bulan akan naik jika suku bunga naik dan turun jika suku bunga turun.

Hal tersebut akan berdampak kepada perubahan pada besar cicilan bulanan, total biaya pinjaman, dan daya beli calon pembeli rumah.

Untuk saat ini, Nailla masih memilih untuk menyewa hunian. Bahkan, apabila ia sudah menikah, kemungkinan Nailla dan suami masih akan tetap menyewa hunian pada tahun-tahun pertama pernikahan.

“Selain belum ada dana, melihat kondisi ekonomi global dan Indonesia yang nampaknya belum stabil, jadi lebih baik saya harus mengalokasikan untuk dana darurat lebih banyak daripada beli rumah di kondisi sekarang,” ujarnya.

Meskipun demikian, Nailla tetap memilih rumah tapak sebagai jenis hunian impiannya. Pasalnya, membeli rumah tapak sekaligus tanah di bawahnya seperti bukti kepemilkan seseorang terhadap suatu aset. Beda halnya dengan rumah vertikal seperti apartemen.

Ia juga mempertimbangkan rumah subsidi untuk pilihan, namun tidak untuknya hidup berkeluarga sampai hari tua. Belum lagi rumah subsidi yang umumnya berada jauh dari pusat kota.

“Karena nantinya kalau sudah menikah nampaknya rumah subsidi kurang begitu besar untuk menampung saya, suami, maupun anak ke depannya,” kata Nailla.

Optimistis

Beda cerita dengan Rizqi (26), karyawan kantoran, yang menyambut baik penurunan suku bunga Bank Indonesia tersebut, meskipun ia juga belum mengambil KPR.

Insya Allah saya bisa optimistis karena cicilan KPR bisa tetap stabil, terutama untuk rumah non-subsidi,” ucapnya kepada Sabo.

Ia juga berpendapat bahwa membeli rumah di tengah kondisi ekonomi yang tidak stabil saat ini masih sepadan, namun tetap harus memiliki rencana jangka panjang dan perencanaan keuangan yang baik.

Harga properti yang terus melambung juga bisa dinilai sebagai langkah investasi jangka panjang.

Meskipun demikian, mengambil sewa hunian juga dinilainya sebagai langkah lebih realistis bagi masyarakat dengan penghasilan belum stabil.

Sama seperti Nailla, Rizqi menganggap rumah tapak adalah hunian impiannya karena memiliki hak untuk melakukan renovasi, memiliki hak atas tanah, hingga harga jual stabil untuk jangka panjang.

“Saya ingin rumah yang masih terjangkau tapi punya akses transportasi yang mudah, misalnya dekat stasiun KRL, halte bus, atau jalan tol,” katanya.

Sementara rumah subsidi juga masuk dalam pilihannya, karena suku bunga flat hingga masa tenor berakhir serta cicilannya yang ringan.

“Tapi kadang lokasinya jauh dari pusat kota. Jadi kalau bisa menemukan rumah subsidi yang masih terjangkau tapi aksesnya bagus, saya pasti tertarik,” ujarnya.

Want a free donation?

Click Here

Related Post

Tinggalkan komentar