
Politik Amerika Serikat sedang menyaksikan fenomena baru. Demonstrasi besar-besaran yang melanda beberapa negara bagian bukan sekadar gelombang protes anti-Trump yang biasa kita lihat. Ini adalah penanda zaman, sebuah “guncangan” yang dipimpin oleh Generasi Z (Gen Z), yang membawa bahasa dan simbolisme yang sama sekali baru ke panggung politik negara adidaya tersebut.
Narasi protes “No King” (Tidak Ada Raja) yang diusung jutaan demonstran adalah pesan komunikasi politik yang tajam dan mengakar kuat dalam DNA Amerika. Slogan “No Kings Since 1776” secara langsung menuduh pemerintahan Donald Trump telah bertindak melampaui batas konstitusional, mengadopsi gaya otoriter yang mirip seorang monark.
Ini adalah pembingkaian (framing) yang cerdas: alih-alih terjebak dalam perdebatan partisan “Demokrat vs. Republik” yang melelahkan, para pengunjuk rasa mengangkat isu ini ke level fundamental—pelanggaran terhadap nilai dasar pendirian bangsa Amerika.
Ini adalah perlawanan terhadap figur, tetapi yang membuatnya berbeda adalah senjatanya. Guncangan sesungguhnya datang bukan hanya dari slogan, melainkan dari simbol yang mereka kibarkan di samping bendera nasional: Jolly Roger, bendera bajak laut.
Simbolisme “Bajak Laut” dalam Perang Generasi

Sekilas, penggunaan bendera bajak laut dalam protes politik di Washington atau di Portland, Oregon, tampak aneh. Namun, ini adalah inti dari strategi komunikasi politik Gen Z yang “glocal” (global sekaligus lokal). Bendera itu bukanlah sembarang bendera tengkorak; itu adalah simbol yang dipinjam langsung dari manga dan anime fenomenal, yaitu One Piece.
Dalam One Piece, protagonisnya adalah bajak laut yang berlayar mencari kebebasan mutlak, menentang “Pemerintah Dunia” (World Government)—sebuah entitas global yang digambarkan absolut, korup, dan menindas. Bagi Gen Z di seluruh dunia, dari Indonesia, Peru, hingga Nepal, bendera One Piece telah menjadi simbol universal perlawanan terhadap otoritas yang sewenang-wenang.
Ketika Gen Z Amerika mengadopsi simbol ini dalam protes “No King”, mereka sedang melakukan dua hal secara bersamaan.
Pertama, menyatakan perang budaya. Mereka menunjukkan bahwa leksikon politik mereka tidak lagi dibentuk oleh pidato politisi atau buku teks sejarah, tetapi oleh budaya pop global yang mereka konsumsi bersama. Mereka berbicara dalam bahasa yang sama dengan rekan-rekan mereka di Jakarta atau Paris.

Kedua, mempertegas narasi “No King”. Pesan “No King” selaras sempurna dengan etos One Piece. Ini adalah deklarasi “No King, No Master” (Tidak Ada Raja, Tidak Ada Tuan). Ini adalah penolakan total terhadap figur otoriter yang mereka anggap sebagai “Pemerintah Dunia” dalam versi lokal mereka.
Penting untuk dicatat, Amerika bukanlah pelopor; mereka adalah pengadopsi. Guncangan ini sebenarnya diimpor dari Asia di mana revolusi Gen Z telah lebih dulu meletus dan terbukti efektif.
Di Indonesia, pengibaran bendera Jolly Roger—untuk menyampaikan aspirasi publik terkait isu ketidakpekaan parlemen—berujung ricuh. Bahkan, menewaskan seorang pengemudi ojek daring, Affan Kurniawan, yang dilindas kendaraan taktis Brimob di kawasan Pejompongan, Jakarta Pusat.
Di Nepal, simbol yang sama—diadopsi langsung dari protes di Jakarta—menyatukan kaum muda melawan korupsi elite politik dan ‘nepo kids’, yang pada akhirnya berhasil menjatuhkan pemerintahan Perdana Menteri.

Asia telah menjadi laboratorium pembuktian bahwa bahasa perlawanan baru ini—perpaduan budaya pop, aktivisme digital, dan keberanian turun ke jalan—bukan sekadar tren, melainkan sebuah mesin revolusioner yang mampu mengoreksi arah kebijakan dan menantang status quo.
Guncangan yang Tak Terhindarkan
Inilah guncangan yang sebenarnya bagi Amerika: lanskap politik tradisional sedang dibajak oleh generasi yang memiliki kesadaran kolektif global. Mereka tidak terikat pada metode protes orang tua mereka. Mereka melihat protes “No King” bukan hanya sebagai isu domestik AS, melainkan sebagai bagian dari perjuangan global melawan korupsi dan otokrasi yang mereka lihat di mana-mana.
Fenomena “No King” yang bersenjatakan Jolly Roger adalah studi kasus sempurna tentang bagaimana Gen Z akan mengubah politik. Mereka gesit, terdesentralisasi, dan dipersenjatai dengan meme serta simbol budaya pop yang lebih kuat dari retorika politik mana pun.
Para elite politik di Washington—baik Republik maupun Demokrat—harus menyadari bahwa buku pedoman lama tidak lagi berlaku. Guncangan ini baru permulaan. Gen Z telah tiba di panggung politik Amerika dan mereka datang bukan untuk bernegosiasi—mereka datang untuk mengambil alih narasi dengan bendera bajak laut di tangan mereka.






